Ancaman Teroris Generasi Baru
Adjie Suradji ; Alumnus Fakultas Sains, Universitas
Karachi, Pakistan
|
KOMPAS, 03
Februari 2016
Seorang pria,
Bachrumsyah alias Abu Muhammad Al Indonesiy, mengunggah video berjudul Join the Ranks. Dalam video di Youtube
itu, dia mengajak warga Indonesia mendukung perjuangan Negara Islam di Irak
dan Suriah (NIIS) jadi khilafah dunia.
Video berdurasi 8
menit yang diunggah pada 22 Juli 2014 itu memancing perhatian dunia. Lalu,
pada 24 Desember 2014 giliran Salim Mubarok at Tamimi atau dikenal dengan
Salim Penceng melakukan hal sama. Dalam video yang berdurasi 4 menit 01 detik
itu, Salim Mubarok—alias Abu Jandal al Yamani al Indonesia—menebar ancaman
kepada kepolisian, TNI, dan ormas kepemudaan GP Ansor.
Kemudian dalam
pengembangan penyelidikan serangan teroris di Jalan MH Thamrin (14/1), muncul
nama Bahrun Naim yang disebut sebagai otak di balik insiden itu. Muhammad
Bahrun Naim alias Anggih Tamtomo alias Abu Rayan makin jadi perhatian ketika
NIIS lewat media propagandanya, Amaq
News Agency, mengklaim bertanggung jawab atas insiden itu.
Generasi baru
Bachrumsyah, Salim
Mubarok at Tamimi, dan Muhammad Bahrun Naim, adalah tiga warga Indonesia yang
diduga tak hanya sekadar bergabung, namun telah dipercaya menjadi petinggi di
dalam organisasi NIIS di Suriah.
Dengan demikian, jika
ada anggapan bahwa Indonesia berpotensi besar melahirkan teroris generasi
baru, itu tidak salah. Apalagi ketika melihat hasil survei The Pew Research Center (2015) bahwa 4
persen dari jumlah penduduk—atau 10 juta warga Indonesia adalah pendukung
NIIS, maka sangat masuk akal jika Indonesia dijadikan tempat persemaian atau
perekrutan teroris generasi baru sekaligus sebagai tempat persembunyian yang
nyaman.
Bagaimanapun, negara
Islam telah menjadi impian dan obsesi bagi sekelompok orang—setidaknya bagi
10 juta warga Indonesia. Lahirnya pejihad untuk sebuah kekhalifahan
berbasiskan doktrin agama, telah melahirkan perang yang tak pernah berakhir. Mungkinkah impian penyatuan semua negara yang berpenduduk
mayoritas Muslim—Mesir, Pakistan, Maroko, dan Indonesia di bawah kekhalifahan
baru—seperti survei The Pew Research
Center tahun 2006 akan menjadi kenyataan?
Harus diakui bahwa
hingga sekarang Indonesia belum punya strategi andal menangkal kelompok radikal,
terutama yang berafiliasi dengan NIIS. Program deradikalisasi yang
pengoperasiannya melibatkan tiga institusi, Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT), Polri, dan Kemenkumham, dianggap tak efektif dan malah
berbau korupsi.
Sementara itu, teroris
generasi baru dengan para martir pejihadnya semakin tumbuh dan berkembang.
Terlebih dengan adanya perubahan strategi teror NIIS—seperti diserukan juru
bicara NIIS Abu Muhammad al-Adnani untuk menyerang musuh-musuh Islam di
seluruh dunia di mana pun berada. Ancaman teroris generasi baru tak boleh
dipandang sebelah mata.
Doktrin eksklusivitas
agama menjadi kambing hitam, pemicu lahirnya teroris. Memang ada kesan
ambiguitas. Di satu sisi Indonesia mengecam kebiadaban, kebrutalan, dan
kesadisan NIIS, hingga menasbihkan bahwa NIIS sebagai gerakan sesat dan
menyesatkan, bertentangan dengan Islam, tidak Islami, dan telah menghina
Islam. Namun, pada sisi lain, tak sekalipun ada penekanan secara tegas bahwa
NIIS tidak menghormati prinsip ajaran Islam.
Eksklusivitas,
ditambah dengan penyampaian ajaran yang menyimpang dari kebenaran,
memungkinkan terjadinya pemahaman agama yang salah. Akibatnya tempat-tempat
ibadah di Indonesia tak lagi berfungsi sebagai tempat mendekatkan diri pada
Tuhan, tetapi telah jadi tempat kompetisi simbol konversi keagamaan.
Sekarang sel-sel
teroris dengan ideologi pembentukan kekhalifahan berbasiskan doktrin agama
telah bermetamorfosa dan menyebar di segala lini. Seperti yang diprediksi
Paul Wilkinson dari Institute for the
Study of Terrorism and Political Violence di Universitas St Andrews,
Amerika Serikat, bahwa teroris telah meninggalkan taktik klasik mereka.
Metode baru yang digunakan lebih efektif, seperti pola rekrutmen anggota—pada
umumnya usia muda—lewat media sosial (internet).
Api dalam sekam
Ibarat api dalam
sekam, kita tinggal menunggu alur letupan. Aksi teroris bisa terjadi kapan
saja, di mana saja, dan menyerang target atau sasaran apa saja. Jika masa
lalu aksi teroris cenderung rigid dan statis, maka ke depan aksi teroris
generasi baru tidak hanya lebih efektif, namun sangat variatif dan mematikan.
Salah satu penyebabnya
adalah bahwa segala kebutuhan teroris, seperti taktik dan strategi, cara
memperoleh senjata atau merakit bom, cara meracik racun hingga menciptakan
bioteror, seperti wabah penyakit, semuanya bisa didapat dari internet.
Hanya diperlukan
inovasi dan keberanian, seperti yang pernah dipertontonkan oleh Charlos
Marighela (Jackal), dan George Habash dari Popular Front for the Liberation of Palestine. Paduan antara
inovasi, pengalaman, dan latar belakang pendidikan akan menjadikan eksistensi
teroris cepat menjadi besar dan menakutkan. Lihatlah strategi, kualitas, dan
frekuensi aksi teror yang diotaki Azahari (alm).
Setidaknya sejak Mei
2000-Oktober 2005 tercatat 28 kali insiden peledakan bom di Indonesia. Sejak
itu hingga Juli 2009, hanya terjadi satu kali aksi (Hotel JW Marriott dan
Ritz Carlton).
Jadi, seperti dikutip
sebelumnya, ancaman teroris generasi baru akan lebih efektif, mengerikan, dan
mematikan. Teroris generasi baru bukan hanya berhenti pada sosok Bachrumsyah,
Salim Mubarok at Tamimi, dan Muhammad Bahrun Naim, semata.
Banyak orang muda usia
di Indonesia telah di-bai’at atau dicuci otak dengan ideologi yang
bertentangan dengan Pancasila. Dengan memanfaatkan media sosial, mereka bisa
memperoleh pengetahuan dan teknologi serta kemampuan menyerang target atau
sasaran, dan itu bisa dilakukan secara mandiri.
Dengan demikian, tak
ada cara lain bagi BNPT dan kepolisian untuk mengambil langkah antisipatif.
Hanya saja, perlu diingat bahwa perang melawan teroris tidak akan pernah
dapat dimenangkan jika tanpa dukungan aktif dari masyarakat.
Rencana merevisi UU
tentang terorisme adalah langkah defensif-strategis yang harus segera
direalisasikan. Ini sangat penting karena dengan UU tersebut, ada penambahan
wewenang yang akan memudahkan aparat keamanan (polisi) untuk menindak setelah
ada indikasi bahwa seseorang atau sekelompok orang diduga berencana melakukan
aksi teror.
Terlepas dari ancaman
teroris generasi baru, ideologi agama realitasnya telah menjadi alat untuk
membajak jihad yang digunakan menjustifikasi tindakan yang sebenarnya
bertentangan dengan elan jihad itu sendiri. Dan, Islam bukan agama monolit,
gampang terbelah oleh gerakan-gerakan ideologis.
Barangkali betul kata
Abdurrahman Wahid (Gus Dur-almarhum) bahwa agama harus dipisahkan dengan
ideologi karena ideologi bisa digunakan sebagai senjata politik untuk
mendiskreditkan dan menyerang siapa pun yang pandangan politik dan pemahaman
keagamaannya berbeda dari mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar