Kamis, 04 Februari 2016

Ancaman Teroris Generasi Baru

Ancaman Teroris Generasi Baru

Adjie Suradji  ;   Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan
                                                     KOMPAS, 03 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang pria, Bachrumsyah alias Abu Muhammad Al Indonesiy, mengunggah video berjudul Join the Ranks. Dalam video di Youtube itu, dia mengajak warga Indonesia mendukung perjuangan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) jadi khilafah dunia.

Video berdurasi 8 menit yang diunggah pada 22 Juli 2014 itu memancing perhatian dunia. Lalu, pada 24 Desember 2014 giliran Salim Mubarok at Tamimi atau dikenal dengan Salim Penceng melakukan hal sama. Dalam video yang berdurasi 4 menit 01 detik itu, Salim Mubarok—alias Abu Jandal al Yamani al Indonesia—menebar ancaman kepada kepolisian, TNI, dan ormas kepemudaan GP Ansor.

Kemudian dalam pengembangan penyelidikan serangan teroris di Jalan MH Thamrin (14/1), muncul nama Bahrun Naim yang disebut sebagai otak di balik insiden itu. Muhammad Bahrun Naim alias Anggih Tamtomo alias Abu Rayan makin jadi perhatian ketika NIIS lewat media propagandanya, Amaq News Agency, mengklaim bertanggung jawab atas insiden itu.

Generasi baru

Bachrumsyah, Salim Mubarok at Tamimi, dan Muhammad Bahrun Naim, adalah tiga warga Indonesia yang diduga tak hanya sekadar bergabung, namun telah dipercaya menjadi petinggi di dalam organisasi NIIS di Suriah.

Dengan demikian, jika ada anggapan bahwa Indonesia berpotensi besar melahirkan teroris generasi baru, itu tidak salah. Apalagi ketika melihat hasil survei The Pew Research Center (2015) bahwa 4 persen dari jumlah penduduk—atau 10 juta warga Indonesia adalah pendukung NIIS, maka sangat masuk akal jika Indonesia dijadikan tempat persemaian atau perekrutan teroris generasi baru sekaligus sebagai tempat persembunyian yang nyaman.

Bagaimanapun, negara Islam telah menjadi impian dan obsesi bagi sekelompok orang—setidaknya bagi 10 juta warga Indonesia. Lahirnya pejihad untuk sebuah kekhalifahan berbasiskan doktrin agama, telah melahirkan perang yang tak pernah berakhir. Mungkinkah impian penyatuan semua negara yang berpenduduk mayoritas Muslim—Mesir, Pakistan, Maroko, dan Indonesia di bawah kekhalifahan baru—seperti survei The Pew Research Center tahun 2006 akan menjadi kenyataan?

Harus diakui bahwa hingga sekarang Indonesia belum punya strategi andal menangkal kelompok radikal, terutama yang berafiliasi dengan NIIS. Program deradikalisasi yang pengoperasiannya melibatkan tiga institusi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, dan Kemenkumham, dianggap tak efektif dan malah berbau korupsi.

Sementara itu, teroris generasi baru dengan para martir pejihadnya semakin tumbuh dan berkembang. Terlebih dengan adanya perubahan strategi teror NIIS—seperti diserukan juru bicara NIIS Abu Muhammad al-Adnani untuk menyerang musuh-musuh Islam di seluruh dunia di mana pun berada. Ancaman teroris generasi baru tak boleh dipandang sebelah mata.

Doktrin eksklusivitas agama menjadi kambing hitam, pemicu lahirnya teroris. Memang ada kesan ambiguitas. Di satu sisi Indonesia mengecam kebiadaban, kebrutalan, dan kesadisan NIIS, hingga menasbihkan bahwa NIIS sebagai gerakan sesat dan menyesatkan, bertentangan dengan Islam, tidak Islami, dan telah menghina Islam. Namun, pada sisi lain, tak sekalipun ada penekanan secara tegas bahwa NIIS tidak menghormati prinsip ajaran Islam.

Eksklusivitas, ditambah dengan penyampaian ajaran yang menyimpang dari kebenaran, memungkinkan terjadinya pemahaman agama yang salah. Akibatnya tempat-tempat ibadah di Indonesia tak lagi berfungsi sebagai tempat mendekatkan diri pada Tuhan, tetapi telah jadi tempat kompetisi simbol konversi keagamaan.

Sekarang sel-sel teroris dengan ideologi pembentukan kekhalifahan berbasiskan doktrin agama telah bermetamorfosa dan menyebar di segala lini. Seperti yang diprediksi Paul Wilkinson dari Institute for the Study of Terrorism and Political Violence di Universitas St Andrews, Amerika Serikat, bahwa teroris telah meninggalkan taktik klasik mereka. Metode baru yang digunakan lebih efektif, seperti pola rekrutmen anggota—pada umumnya usia muda—lewat media sosial (internet).

Api dalam sekam

Ibarat api dalam sekam, kita tinggal menunggu alur letupan. Aksi teroris bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menyerang target atau sasaran apa saja. Jika masa lalu aksi teroris cenderung rigid dan statis, maka ke depan aksi teroris generasi baru tidak hanya lebih efektif, namun sangat variatif dan mematikan.

Salah satu penyebabnya adalah bahwa segala kebutuhan teroris, seperti taktik dan strategi, cara memperoleh senjata atau merakit bom, cara meracik racun hingga menciptakan bioteror, seperti wabah penyakit, semuanya bisa didapat dari internet.

Hanya diperlukan inovasi dan keberanian, seperti yang pernah dipertontonkan oleh Charlos Marighela (Jackal), dan George Habash dari Popular Front for the Liberation of Palestine. Paduan antara inovasi, pengalaman, dan latar belakang pendidikan akan menjadikan eksistensi teroris cepat menjadi besar dan menakutkan. Lihatlah strategi, kualitas, dan frekuensi aksi teror yang diotaki Azahari (alm).

Setidaknya sejak Mei 2000-Oktober 2005 tercatat 28 kali insiden peledakan bom di Indonesia. Sejak itu hingga Juli 2009, hanya terjadi satu kali aksi (Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton).

Jadi, seperti dikutip sebelumnya, ancaman teroris generasi baru akan lebih efektif, mengerikan, dan mematikan. Teroris generasi baru bukan hanya berhenti pada sosok Bachrumsyah, Salim Mubarok at Tamimi, dan Muhammad Bahrun Naim, semata.

Banyak orang muda usia di Indonesia telah di-bai’at atau dicuci otak dengan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Dengan memanfaatkan media sosial, mereka bisa memperoleh pengetahuan dan teknologi serta kemampuan menyerang target atau sasaran, dan itu bisa dilakukan secara mandiri.

Dengan demikian, tak ada cara lain bagi BNPT dan kepolisian untuk mengambil langkah antisipatif. Hanya saja, perlu diingat bahwa perang melawan teroris tidak akan pernah dapat dimenangkan jika tanpa dukungan aktif dari masyarakat.

Rencana merevisi UU tentang terorisme adalah langkah defensif-strategis yang harus segera direalisasikan. Ini sangat penting karena dengan UU tersebut, ada penambahan wewenang yang akan memudahkan aparat keamanan (polisi) untuk menindak setelah ada indikasi bahwa seseorang atau sekelompok orang diduga berencana melakukan aksi teror.

Terlepas dari ancaman teroris generasi baru, ideologi agama realitasnya telah menjadi alat untuk membajak jihad yang digunakan menjustifikasi tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan elan jihad itu sendiri. Dan, Islam bukan agama monolit, gampang terbelah oleh gerakan-gerakan ideologis.

Barangkali betul kata Abdurrahman Wahid (Gus Dur-almarhum) bahwa agama harus dipisahkan dengan ideologi karena ideologi bisa digunakan sebagai senjata politik untuk mendiskreditkan dan menyerang siapa pun yang pandangan politik dan pemahaman keagamaannya berbeda dari mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar