Selasa, 10 Maret 2015

Revisi UU tentang Sumber Daya Air

Revisi UU tentang Sumber Daya Air

Aunur Rofiq  ;  Sekjen DPP PPP
KORAN SINDO, 09 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan seluruh isi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) patut kita simak, terutama terkait penguasaan sumber daya air dan swastanisasi.

Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dianggap telah membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pengelolaan air yang merugikan rakyat. Masalah pengelolaan air telah diatur dalam konstitusi yakni UUD 1945 pada Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Kata ”dikuasai” memberi makna penafsiran bahwa negara berhak melakukan penguasaan yang mencakup kekuasaan untuk mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menerbitkan buku berjudul The Right To Water menempatkan tugas pemerintah setiap negara untuk hak atas air. Ada tiga tugas utama pemerintah setiap negara mengenai hak atas air yakni duty to respect, duty to protect, dan duty to fulfill.

Seiring bertambah penduduk dan eskalasi pembangunan ekonomi, fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air, sementara permintaan terus meningkat. Melihat kekhawatiran inilah, sumber daya air kemudian tidak lagi diperlukan sebagai barang publik murni (pure public good) sehingga pemanfaatannya pun kemudian diatur dalam berbagai bentuk aturan main.

Didorong pemahaman air bakal menjadi komoditas langka pada masa datang, kini berkembang pola pembangunan berkelanjutan yang memperhitungkan dampaknya pada ”keberlanjutan air” pada masa depan. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), membuka peluang untuk penguasaan swasta atas air melalui hak guna usaha.

Artinya, hak guna usaha air dapat diberikan kepada perorangan atau badan usaha guna tujuan komersial dan atau untuk memenuhi kebutuhan usahanya berdasarkan izin dari pejabat yang berwenang. Komersialisasi inilah yang dikhawatirkan akan mendorong pihak-pihak swasta atau investor menguasai sumber daya air. Sementara air adalah sumber daya yang semakin langka.

Ketahanan sumber daya air jika kita maknai sebagai produksi, distribusi, dan aksesibilitas, termasuk ketersediaan, sesungguhnya ketahanan air di wilayah Indonesia sudah minim. Untuk penyediaan air bersih, khusus Jakarta sudah dalam kategori rawan karena bergantung 97% sumber air bakunya dari luar Jakarta.

Tidak mengherankan jika Indonesia juga diperkirakan akan menderita krisis air pada tahuntahun mendatang. Ramalan ini didasarkan laju pertambahan penduduk yang mendorong kenaikan permintaan air tawar untuk pertanian, industri, hotel, dan perumahan di satu pihak yang berhadapan dengan merosotnya kemampuan lingkungan menyerap dan menahan air hujan di pihak lain.

Karena itu, pola pembangunan perlu memasyarakatkan penggunaan air secara efisien dan bebas polusi. Para ahli memprediksi air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21. Bocoran laporan dari Pentagon yang pernah dikutip harian The Observer menyebutkan bahwa akan terjadi catastrophic shortage (kekurangan air yang dahsyat) terhadap air pada masa mendatang yang akan mengarah pada menyebarnya perang di sekitar 2020.

Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi secara selaras. Kontribusi air terhadap pembangunan ekonomi dan sosial sangat vital.

Awal peradaban manusia dan lahirnya pusatpusat pertumbuhan ekonomi dimulai dari sumber-sumber air seperti sungai dan mata air. Namun, kini kontribusi ekonomi dari sumber daya air semakin menurun akibat produktivitas air yang menurun, pemanfaatan yang tidak efisien, pengelolaan yang buruk, dan tingginya biaya eksternalitas akibat degradasi lingkungan.

Berdasarkan pengalaman Bank Dunia, manajemen air yang dilakukan di Indonesia selama ini memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan tersebut di antaranya, pertama, bersifat fragmented baik dalam program investasi maupun dalam manajemen sektor. Kedua, terlalu berlebihan menggantungkan diri pada institusi-institusi pemerintah. Ketiga , investasi dan regulasi publik masih mengabaikan kualitas air, kesehatan, dan masalah lingkungan.

Bank Dunia menilai institusi tersebut mengabaikan pentingnya penetapan harga ekonomis, akuntabilitas finansial, partisipasi pengguna, dan belum menyediakan pelayanan yang memadai bagi kaum miskin. Keputusan Mahkamah Konstitusi(MK) yangmembatalkan seluruh isi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) memberi peluang untuk melakukan revisi kerangka kebijakan secara komprehensif dan perlakuan air sebagai barang yang ”dikuasai negara”.

Untuk itu, pemerintah perlu segera mengajukan revisi UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) ke DPR untuk menjadi program legislasi nasional. Pencabutan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) pada satu sisi memberikan ketidakpastian bagi investor dalam pengelolaan sumber daya air. Pada sisi lain, mengharuskan air sebagai barang yang ”dikuasai negara”.

Dengan demikian, memberikan ruang yang lebih besar kepada pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menjalankan amanat konstitusi. Sesuai dengan amanat konstitusi, mengharuskan PDAM diposisikan sebagai unit operasional negara dalam merealisasikan air sebagai barang yang ”dikuasai negara”.

PDAM juga bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan secara ekonomis, tetapi harus memperhatikan fungsi sosial dan keadilan. Komersialisasi air memerlukan persyaratan pengusahaan sumber daya air yang harus diatur ketat yakni perlunya keterbukaan informasi dan konsultasi publik atas rencana pengusahaan sumber daya air.

Keterbukaan informasi diperlukan dalam pengelolaan sumber daya air karena selama ini ada kesan bahwa pelayanan PDAM di berbagai daerah sangat buruk. Praktis masyarakat tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya operasional PDAM sehingga harga yang dijual bukanlah untuk kepentingan komersial tetapi juga ada tujuan sosial dan keadilan.

Ini sesuai amanat Pasal 26 ayat 7, UU tentang SDA yang berbunyi, ”Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air dan dengan melibatkan peran masyarakat”.

Di sisi lain, perlu ada sebuah kelembagaan yang kuat dalam mengelola sumber daya air. Terjadinya kegagalan pengelolaan sumber daya air di beberapa negara adalah akibat terabaikannya aspek kelembagaan.

Pengelolaan sumber daya air dalam konteks ekonomi kelembagaan harus mempertimbangkan aspek keseimbangan (stability), ketahanan (resiliency), dan kesetaraan (equity).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar