Revisi
UU tentang Sumber Daya Air
Aunur Rofiq ; Sekjen DPP
PPP
|
KORAN
SINDO, 09 Maret 2015
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan
seluruh isi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(SDA) patut kita simak, terutama terkait penguasaan sumber daya air dan
swastanisasi.
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (SDA) dianggap telah membuka peluang privatisasi dan komersialisasi
pengelolaan air yang merugikan rakyat. Masalah pengelolaan air telah diatur
dalam konstitusi yakni UUD 1945 pada Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat”.
Kata ”dikuasai” memberi makna penafsiran bahwa negara
berhak melakukan penguasaan yang mencakup kekuasaan untuk mengatur, mengurus,
mengelola, dan mengawasi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menerbitkan buku
berjudul The Right To Water menempatkan
tugas pemerintah setiap negara untuk hak atas air. Ada tiga tugas utama
pemerintah setiap negara mengenai hak atas air yakni duty to respect, duty to protect, dan duty to fulfill.
Seiring bertambah penduduk dan eskalasi pembangunan
ekonomi, fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena semakin
kritisnya suplai air, sementara permintaan terus meningkat. Melihat
kekhawatiran inilah, sumber daya air kemudian tidak lagi diperlukan sebagai
barang publik murni (pure public good)
sehingga pemanfaatannya pun kemudian diatur dalam berbagai bentuk aturan
main.
Didorong pemahaman air bakal menjadi komoditas langka pada
masa datang, kini berkembang pola pembangunan berkelanjutan yang
memperhitungkan dampaknya pada ”keberlanjutan air” pada masa depan. Dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), membuka
peluang untuk penguasaan swasta atas air melalui hak guna usaha.
Artinya, hak guna usaha air dapat diberikan kepada
perorangan atau badan usaha guna tujuan komersial dan atau untuk memenuhi
kebutuhan usahanya berdasarkan izin dari pejabat yang berwenang.
Komersialisasi inilah yang dikhawatirkan akan mendorong pihak-pihak swasta
atau investor menguasai sumber daya air. Sementara air adalah sumber daya
yang semakin langka.
Ketahanan sumber daya air jika kita maknai sebagai
produksi, distribusi, dan aksesibilitas, termasuk ketersediaan, sesungguhnya
ketahanan air di wilayah Indonesia sudah minim. Untuk penyediaan air bersih,
khusus Jakarta sudah dalam kategori rawan karena bergantung 97% sumber air
bakunya dari luar Jakarta.
Tidak mengherankan jika Indonesia juga diperkirakan akan
menderita krisis air pada tahuntahun mendatang. Ramalan ini didasarkan laju
pertambahan penduduk yang mendorong kenaikan permintaan air tawar untuk
pertanian, industri, hotel, dan perumahan di satu pihak yang berhadapan
dengan merosotnya kemampuan lingkungan menyerap dan menahan air hujan di
pihak lain.
Karena itu, pola pembangunan perlu memasyarakatkan
penggunaan air secara efisien dan bebas polusi. Para ahli memprediksi air
akan menjadi sumber konflik di abad ke-21. Bocoran laporan dari Pentagon yang
pernah dikutip harian The Observer menyebutkan bahwa akan terjadi catastrophic shortage (kekurangan air
yang dahsyat) terhadap air pada masa mendatang yang akan mengarah pada
menyebarnya perang di sekitar 2020.
Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air
yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya
air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan
ekonomi secara selaras. Kontribusi air terhadap pembangunan ekonomi dan
sosial sangat vital.
Awal peradaban manusia dan lahirnya pusatpusat pertumbuhan
ekonomi dimulai dari sumber-sumber air seperti sungai dan mata air. Namun,
kini kontribusi ekonomi dari sumber daya air semakin menurun akibat
produktivitas air yang menurun, pemanfaatan yang tidak efisien, pengelolaan
yang buruk, dan tingginya biaya eksternalitas akibat degradasi lingkungan.
Berdasarkan pengalaman Bank Dunia, manajemen air yang
dilakukan di Indonesia selama ini memiliki beberapa kelemahan. Adapun
kelemahan tersebut di antaranya, pertama, bersifat fragmented baik dalam program
investasi maupun dalam manajemen sektor. Kedua, terlalu berlebihan
menggantungkan diri pada institusi-institusi pemerintah. Ketiga , investasi
dan regulasi publik masih mengabaikan kualitas air, kesehatan, dan masalah
lingkungan.
Bank Dunia menilai institusi tersebut mengabaikan
pentingnya penetapan harga ekonomis, akuntabilitas finansial, partisipasi
pengguna, dan belum menyediakan pelayanan yang memadai bagi kaum miskin.
Keputusan Mahkamah Konstitusi(MK) yangmembatalkan seluruh isi Undang-Undang
(UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) memberi peluang untuk
melakukan revisi kerangka kebijakan secara komprehensif dan perlakuan air
sebagai barang yang ”dikuasai negara”.
Untuk itu, pemerintah perlu segera mengajukan revisi UU
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) ke DPR untuk menjadi program
legislasi nasional. Pencabutan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air (SDA) pada satu sisi memberikan ketidakpastian bagi investor
dalam pengelolaan sumber daya air. Pada sisi lain, mengharuskan air sebagai
barang yang ”dikuasai negara”.
Dengan demikian, memberikan ruang yang lebih besar kepada
pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menjalankan amanat konstitusi.
Sesuai dengan amanat konstitusi, mengharuskan PDAM diposisikan sebagai unit
operasional negara dalam merealisasikan air sebagai barang yang ”dikuasai
negara”.
PDAM juga bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada
keuntungan secara ekonomis, tetapi harus memperhatikan fungsi sosial dan
keadilan. Komersialisasi air memerlukan persyaratan pengusahaan sumber daya
air yang harus diatur ketat yakni perlunya keterbukaan informasi dan
konsultasi publik atas rencana pengusahaan sumber daya air.
Keterbukaan informasi diperlukan dalam pengelolaan sumber
daya air karena selama ini ada kesan bahwa pelayanan PDAM di berbagai daerah
sangat buruk. Praktis masyarakat tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya
operasional PDAM sehingga harga yang dijual bukanlah untuk kepentingan
komersial tetapi juga ada tujuan sosial dan keadilan.
Ini sesuai amanat Pasal 26 ayat 7, UU tentang SDA yang
berbunyi, ”Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi
sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat air
membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air dan dengan melibatkan peran
masyarakat”.
Di sisi lain, perlu ada sebuah kelembagaan yang kuat dalam
mengelola sumber daya air. Terjadinya kegagalan pengelolaan sumber daya air
di beberapa negara adalah akibat terabaikannya aspek kelembagaan.
Pengelolaan sumber daya air dalam konteks ekonomi
kelembagaan harus mempertimbangkan aspek keseimbangan (stability), ketahanan (resiliency),
dan kesetaraan (equity). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar