Menghentikan
Prasangka
Rumadi ; Dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti Senior
the WAHID Institute
|
SATU
HARAPAN, 05 Maret 2015
Penembakan tiga mahasiswa muslim di North Carolina AS
(12/2/2015) menambah deretan panjang catatan hitam kekerasan berbasis agama.
Penembakan brutal yang kabarnya dilakukan seorang ateis dengan motif
kebencian agama ini menyadarkan kita betapa kehidupan ini semakin tidak aman.
Kebencian terhadap satu kelompok masyarakat yang berasal dari ras dan
keyakinan tertentu diekspresikan dengan cara-cara yang brutal.
Sebelumnya, awal tahun 2015, dunia dunia juga digemparkan
dengan aksi brutal tiga orang bersenjata masuk ke dalam ruang redaksi Majalah
Charlie Hebdo di Paris. Satu persatu redaktur majalah satire yang sedang
rapat diberondong dengan timah panas. Tanpa ampun! Dua belas orang meradang
nyawa, termasuk kartunis-kartunis handal Charlie Hebdo yang sering membuat
karikatur nyinyir. Seoarang polisi yang sudah terjatuh di trotoar dekat
kantor Majalah Charlie Hebdo dan sudah mengangkat dua tangan minta ampun, tak
luput dari kebrutalan itu. Dor! Polisi itu tak bergerak lagi.
Peristiwa itu meningkatkan ketegangan hampir di seluruh
Eropa. Gerakan anti imigran dan anti Islam meningkat. Bahkan di Jerman muncul
gerakan warga Eropa patriotik anti Islamsiasi di Barat (PEGIDA). Mereka turun
ke jalan meneriakkan ketidaksukaan mereka pada imigran di Jerman.
Imigran-imigran itu sebagian besar muslim, sehingga anti imigran berimpit
dengan anti Islam. Gerakan ini jelas menjadi ancaman serius multikulturalisme
Eropa.
Situasi itu kembali diperkeruh dengan aksi sejumlah
suporter klub sepakbola Inggris, Chelsea, yang melontarkan teriakan rasialis
di stasiun kereta bawah tanah Paris menjelang pertandingan 16 besar Liga
Champion antara Paris St Germain (PSG) melawan Chelsea (17/2/2015). Sejumlah suporter itu bahkan menghalangi seorang laki-laki
berkulit hitam untuk masuk ke dalam kereta. Aksi ini segera mendapat kecaman
keras dari komunitas sepakbola internasional.
Menjelang akhir tahun 2014, Australia juga dikejutkan
dengan penyanderaan beberapa orang di sebuah kafe di Sydney (16/12/2014) yang
diduga dilakukan kelompok militant-teroris. Aksi penyanderaan yang menewaskan
dua orang tersebut menjadi persoalan baru di Australia yang selama ini
dianggap cukup sukses mengelola multikulturalisme. Akibat dari persoalan
tersebut, ada seorang perempuan Australia yang ketakutan mengenakan jilbab di
tempat umum. Untungnya, masyarakat Australia cukup dewasa dan tidak
terprovokasi dengan tindakan penyanderaan tersebut.
Di belahan yang lain, Timur Tengah, muncul gerakan politik
brutal ISIS atas nama agama yang tidak segan-segan memenggal kepala manusia,
bahkan membakar manusia hidup-hidup masih belum bisa sepenuhnya ditumpas.
Gerakan yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi ini masih menebar ancaman serius.
Terakhir, setelah memenggal kepala 2 orang wartwan Jepang dan membakar 21
orang Kriten Koptik Libya. Mereka kini menebar ancaman bukan hanya di Irak,
Syuriah, Libya dan beberapa wilayah Timur Tengah, tapi juga ke seluruh
penjuru dunia, terutama Eropa.
Di kawasan Afrika, ada gerakan Boko Haram di Nigeria yang
juga mengusung ideologi kekerasan berbasis agama. Mereka tidak segan menculik
anak-anak sekolah dan membunuh. Hal yang menyedihkan mereka membalut diri
dengan Islam. Nama Boko Haram sendiri dalam Bahasa Arab adalah Jama’atu
Ahlissunna li Da’wati wal Jihad (Kelompok yang teguh berpegang pada Sunnah
Rasulullah untuk Dakwah dan Jihad).
Di berbagai tempat seperti Yaman, dan juga Indonesia juga ada gerakan-gerakan militan, baik yang
bersifat lokal maupun yang menjadi jaringan gerakan militan internasional
seperti al-Qaeda. Indonesia sendiri belum bisa sepenuhnya melepaskan diri
dari ancaman kelompok teroris yang bisa menebar ancaman setiap saat.
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan situasi keamanan
dunia yang semakin mengkhawatirkan. Iklim kecurigaan dan kebencian baik yang
bersifat rasial, anti-semitisme maupun islamophobia seperti virus yang terus
menyebar. Pertanyaan besarnya, mengapa situasi ini terjadi, dan bagaimana
menghentikannya? Tentu ini bukan pertanyaan sederhana yang mudah dijawab.
Menghentikan Prasangka
Bila ditelusuri lebih mendalam, pangkal dari seluruh
persoalan tersebut adalah adanya prasangka (stereotype) yang menghinggapi kelompok-kelompok yang bertikai.
Prasangka itu berujung pada perasaan saling terancam. Norman Daniel dalam
karya klasiknya, Islam and the West:
The Making of an Image (1960) mengungkapkan pembentukan mispersepsi dan
antipati Barat-Kristen terhadap Islam dalam berbagai seginya: al-Qur’an,
kehidupan Muhammad, doktrin jihad,
peran kaum perempuan dan harem, moralitas Islam, sikap terhadap agama lain
dan pengikutnya sendiri.
Menurut Daniel, semuanya itu terutama terbentuk pada masa
berlangsungnya Perang Salib (Crusade), dan tidak banyak mengalami perubahan
sejak itu. Ia menyatakan, reaksi-reaksi Kristen yang paling awal terhadap
Islam sama saja dengan apa yang berlangsung sekarang. Tradisinya terus berlangsung dan tetap hidup dewasa ini.
Seorang ilmuwan Perancis Maxime Rodinson, sebagaimana
dikutip Fawaz A. Gerges (1999) juga mengatakan, Umat Kristen di Barat pada
umumnya mempersepsi dunia muslim sebagai bahaya, jauh sebelum Islam Islam
dilihat sebagai masalah nyata. Pandangan yang kurang lebih sama dikemukakan
sejarawan Inggris Albert Hourani (1991). Dia mengemukakan, Islam sejak awal
kemunculannya merupakan masalah bagi Eropa yang Kristen. Dalam pandangan Hourani,
Eropa memandang Islam campuran antara ketakutan dan ketidakmengertian. Bangsa
Kristen tidak bisa menerima kenabian Nabi Muhammad.
Hal yang paling umum diyakini umat Kristen, kata Albert
Hourani, adalah bahwa Islam agama palsu yang disebarkan dengan pedang dan
darah. Prasangka ini terus berlanjut dalam interaksi berabad-abad yang telah
menorehkan sejarah pahit antara dunia Islam dan Barat yang Kristen. Mereka
berlomba untuk saling menguasai dan menundukkan, baik secara politik, ekonomi
maupun kebudayaan.
Memang sejarah tidak berjalan linier. Pada kurun waktu
tertentu bandung hubungan Barat-Muslim berayun diantara rivalitas/konfrontasi
dan kolaborasi/akomodasi. Namun, prasangka-prasangka tersebut tidak
sepenuhnya hilang. Dalam situasi politik tertentu prasangka bisa menguat
kembali. Itulah yang kita saksikan dengan berbagai tindakan sekelompok orang
di Eropa yang merendahkan Islam. Hal ini dilakukan atas nama kebebasan
berpikir dan berekspresi, seperti kartun yang merendahkan Nabi Muhammad, film
Fitna, ide pembakaran al-Quran oleh Pendeta Terry Jones, majalah satire
Charlie Hebdo dan sebagainya. Inilah yang kemudian berkembang menjadi
islamophobia.
Di pihak lain, kelompok Islam juga mempunyai prasangka
buruk terhadap Barat-Kristen. Barat misalnya dianggap sebagai kekuatan yang
ingin menghancurkan Islam, kolonialis, memaksakan peradaban mereka pada dunia
Islam dan sebagainya.
Bila prasangka tersebut tidak dihentikan, bukan tidak
mungkin situasi akan semakin buruk. Namun itu pun tidak cukup. Kekuatan-kekuatan
brutal seperti ISIS tidak bisa dibiarkan berkembang dan meracuni pikiran
kita. Barat juga mestinya lebih dewasa tidak terus menerus memprovokasi
amarah orang Islam yang memang gampang terpancing. Pikiran-pikiran dewasa di
kedua belah pihak, Islam dan Barat, yang akan mampu menjembatani ketegangan
keduanya. Dengan satu syarat: hilangkan prasangka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar