Selasa, 10 Maret 2015

Nggutuk Lor Kena Kidul

Nggutuk Lor Kena Kidul

Karyudi Sutajah Putra  ;  Praktisi Pers, Tinggal di Jakarta
SUARA MERDEKA, 09 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

NGGUTHUK lor kena kidul. Itulah yang dilakukan Ketua Umum Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Fauzan Rachman dengan melaporkan Tempo ke Bareskrim Polri, 22 Januari lalu, terkait pemberitaan edisi 19-25 Januari 2015 berjudul “Rekening Gendut Perwira Polisi”, yang berisi data rekening mencurigakan para perwira polisi.

Salah satu perwira polisi yang disebut adalah Komjen Budi Gunawan, mantan calon Kapolri. GMBI menjerat Tempo dengan Pasal 47 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tempo dianggap membocorkan rahasia data bank berupa aliran dana BG.

Menurut Sekjen GMBI Bembie Juliansyah, pihaknya tidak menuding majalah itu secara langsung dalam laporan ke Bareskrim, yang kemudian dilimpahkan ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Polda Metro Jaya, tapi membidik orang yang memberi informasi kepada majalah itu. GMBI pun melaporkan mantan ketua PPATK Yunus Husein serta dua komisioner nonaktif KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Keberanian Tempo menghadapi polisi, bahkan preman sekalipun, tak diragukan lagi. Tapi beranikah Tempo melindungi narasumber dengan risiko dipidana? Tempo hanya sasaran antara, sasaran sesungguhnya adalah narasumbernya, apakah itu YH, AS, BW atau para penyidik KPK dan pihak lain.

Menurut Plt Kapolri Komjen Badrodin Haiti, Senin (2/3/15), Polri bisa saja menetapkan wartawan Tempo menjadi tersangka, namun itu baru dilakukan setelah Polri menerima putusan Dewan Pers. Hal ini sesuai Surat Edaran MA Nomor 13 Tahun 2008, yakni meminta keterangan saksi ahli Dewan Pers terkait delik pers.

Pemred Arif Zulkifli berdalih hasil investigasi kasus rekening gendut adalah kebenaran yang telah dikonfirmasikan, dan dipastikan tak melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan sesuai kode etik jurnalistik. Arif menolak pemberitaan itu dikaitkan UU Nomor 10 Tahun 1998 dan UU Nomor 8 Tahun 2010. Bahkan pelaporan GMBI dinilainya pengakuan bahwa dugaan rekening gendut itu benar adanya.

Tempo boleh saja menolak Polri menggunakan UU Perbankan, dan UU TPPU, yang untuk kali pertama menjerat pers, dan minta Polri menggunakan UU Pers yang merupakan lex specialis. Tapi biasanya Polri punya ìseleraî sendiri, seperti ’’seleranya’’ memeriksa AS, BW, Novel Baswedan dan Denny Indrayana meski publik menentangnya. Bahkan ketika Presiden Joko Widodo memerintahkan penghentian kriminalisasi itu.

Kalangan pers juga boleh berpendapat pemberitaan dugaan rekening gendut BG tak menerabas aturan kerahasiaan bank. Informasi itu bisa dipublikasikan karena kekayaan pejabat publik boleh diketahui khalayak. Apalagi sistem hukum Indonesia mengklasifikasikan informasi tentang harta kekayaan penyelenggara negara sebagai informasi publik. Tapi bisa saja Polri punya ìseleraî sendiri dan berpendapat seperti hakim Sarpin Rizaldi bahwa BG sewaktu menjabat Kabiro Pembinaan Karier Deputi SDM Polri bukan pejabat publik.

Kita juga boleh minta Polri tak mengabaikan amanat Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional warga negara memperoleh informasi, serta Pasal 310 Ayat (3) KUHP bahwa perbuatan demi kepentingan umum tidak masuk kategori pencemaran, dan Pasal 50 KUHP bahwa barang siapa melaksanakan ketentuan UU maka tidak dipidana.

Pun, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo boleh berpendapat bahwa Tempo tak bisa dipidana memgingat hasil investigasi soal rekening BG adalah induk jurnalistik yang dilindungi demi kepentingan publik. Bahkan ada keistimewaan bahwa media boleh melanggar kode etik jurnalistik dalam proses investigasi, asalkan demi kepentingan publik. Terlebih Stanley, panggilan akrab Adi pun minta Polri menyerahkan kasus ini ke Dewan Pers yang akan membentuk sidang etik.  Tapi, lagi-lagi, Polri biasanya punya ìseleraî sendiri.

Senjata Pamungkas

Bila kasus ini akhirnya sampai ke pengadilan, Tempo sebenarnya masih punya senjata pamungkas demi melindungi narasumber, yakni hak tolak sebagaimana dijamin Pasal 4 Ayat (4) UU Pers yang menyatakan, ’’Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak”. Sebagaimana disebut Pasal 1 Ayat (10) UU Pers, hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan/atau identitas lain dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

Sayang, hakim juga bisa menggugurkan ‘hak tolak’ itu. Namun wartawan tetap bisa menolak mengungkapkan identitas narasumber dengan konsekuensi pidana. Akankah Tempo membiarkan wartawannya dipidana? Dilematis, memang.

Tapi bila majalah itu mengungkap siapa narasumbernya, akan menjadi malapetaka bagi narasumber karena mereka bisa dipidana, dan lebih jauh dari itu akan runtuhlah kepercayaan publik kepada media. Narasumber yang punya informasi penting akan berpikir beribu kali bila hendak menginformasikannya kepada media. Padahal, selama ini Tempo banyak mendapat informasi ‘A1’ dari narasumber.

Bila nanti majalah itu mengungkapkan narasumber dalam investigasi berita BG, jangan berharap majalah ini akan banyak mendapat informasi ‘A1’ lagi. Mengapa pelapor dan Polri tak langsung saja mengusut siapa pemberi informasi rahasia kepada Tempo yang mereka persoalkan? Mengapa harus ngguthuk lor kena kidul ala karambol?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar