Nggutuk
Lor Kena Kidul
Karyudi Sutajah Putra ; Praktisi
Pers, Tinggal di Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 09 Maret 2015
NGGUTHUK lor kena kidul. Itulah yang dilakukan Ketua Umum
Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Fauzan Rachman dengan melaporkan Tempo
ke Bareskrim Polri, 22 Januari lalu, terkait pemberitaan edisi 19-25 Januari
2015 berjudul “Rekening Gendut Perwira Polisi”, yang berisi data rekening
mencurigakan para perwira polisi.
Salah satu perwira polisi yang disebut adalah Komjen Budi
Gunawan, mantan calon Kapolri. GMBI menjerat Tempo dengan Pasal 47 Ayat (1)
UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tempo
dianggap membocorkan rahasia data bank berupa aliran dana BG.
Menurut Sekjen GMBI Bembie Juliansyah, pihaknya tidak
menuding majalah itu secara langsung dalam laporan ke Bareskrim, yang
kemudian dilimpahkan ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Polda
Metro Jaya, tapi membidik orang yang memberi informasi kepada majalah itu.
GMBI pun melaporkan mantan ketua PPATK Yunus Husein serta dua komisioner
nonaktif KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Keberanian Tempo menghadapi polisi, bahkan preman
sekalipun, tak diragukan lagi. Tapi beranikah Tempo melindungi narasumber
dengan risiko dipidana? Tempo hanya sasaran antara, sasaran sesungguhnya
adalah narasumbernya, apakah itu YH, AS, BW atau para penyidik KPK dan pihak
lain.
Menurut Plt Kapolri Komjen Badrodin Haiti, Senin (2/3/15),
Polri bisa saja menetapkan wartawan Tempo menjadi tersangka, namun itu baru
dilakukan setelah Polri menerima putusan Dewan Pers. Hal ini sesuai Surat
Edaran MA Nomor 13 Tahun 2008, yakni meminta keterangan saksi ahli Dewan Pers
terkait delik pers.
Pemred Arif Zulkifli berdalih hasil investigasi kasus
rekening gendut adalah kebenaran yang telah dikonfirmasikan, dan dipastikan
tak melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan sesuai kode etik
jurnalistik. Arif menolak pemberitaan itu dikaitkan UU Nomor 10 Tahun 1998
dan UU Nomor 8 Tahun 2010. Bahkan pelaporan GMBI dinilainya pengakuan bahwa
dugaan rekening gendut itu benar adanya.
Tempo boleh saja menolak Polri menggunakan UU Perbankan,
dan UU TPPU, yang untuk kali pertama menjerat pers, dan minta Polri menggunakan
UU Pers yang merupakan lex specialis.
Tapi biasanya Polri punya ìseleraî sendiri, seperti ’’seleranya’’ memeriksa
AS, BW, Novel Baswedan dan Denny Indrayana meski publik menentangnya. Bahkan
ketika Presiden Joko Widodo memerintahkan penghentian kriminalisasi itu.
Kalangan pers juga boleh berpendapat pemberitaan dugaan
rekening gendut BG tak menerabas aturan kerahasiaan bank. Informasi itu bisa
dipublikasikan karena kekayaan pejabat publik boleh diketahui khalayak.
Apalagi sistem hukum Indonesia mengklasifikasikan informasi tentang harta
kekayaan penyelenggara negara sebagai informasi publik. Tapi bisa saja Polri
punya ìseleraî sendiri dan berpendapat seperti hakim Sarpin Rizaldi bahwa BG
sewaktu menjabat Kabiro Pembinaan Karier Deputi SDM Polri bukan pejabat
publik.
Kita juga boleh minta Polri tak mengabaikan amanat Pasal
28F UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional warga negara memperoleh
informasi, serta Pasal 310 Ayat (3) KUHP bahwa perbuatan demi kepentingan
umum tidak masuk kategori pencemaran, dan Pasal 50 KUHP bahwa barang siapa
melaksanakan ketentuan UU maka tidak dipidana.
Pun, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo
boleh berpendapat bahwa Tempo tak bisa dipidana memgingat hasil investigasi
soal rekening BG adalah induk jurnalistik yang dilindungi demi kepentingan
publik. Bahkan ada keistimewaan bahwa media boleh melanggar kode etik
jurnalistik dalam proses investigasi, asalkan demi kepentingan publik.
Terlebih Stanley, panggilan akrab Adi pun minta Polri menyerahkan kasus ini ke
Dewan Pers yang akan membentuk sidang etik.
Tapi, lagi-lagi, Polri biasanya punya ìseleraî sendiri.
Senjata Pamungkas
Bila kasus ini akhirnya sampai ke pengadilan, Tempo
sebenarnya masih punya senjata pamungkas demi melindungi narasumber, yakni
hak tolak sebagaimana dijamin Pasal 4 Ayat (4) UU Pers yang menyatakan, ’’Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan
di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak”. Sebagaimana disebut Pasal
1 Ayat (10) UU Pers, hak tolak adalah
hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan/atau
identitas lain dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
Sayang, hakim juga bisa menggugurkan ‘hak tolak’ itu.
Namun wartawan tetap bisa menolak mengungkapkan identitas narasumber dengan
konsekuensi pidana. Akankah Tempo membiarkan wartawannya dipidana? Dilematis,
memang.
Tapi bila majalah itu mengungkap siapa narasumbernya, akan
menjadi malapetaka bagi narasumber karena mereka bisa dipidana, dan lebih
jauh dari itu akan runtuhlah kepercayaan publik kepada media. Narasumber yang
punya informasi penting akan berpikir beribu kali bila hendak
menginformasikannya kepada media. Padahal, selama ini Tempo banyak mendapat
informasi ‘A1’ dari narasumber.
Bila nanti majalah itu mengungkapkan narasumber dalam
investigasi berita BG, jangan berharap majalah ini akan banyak mendapat
informasi ‘A1’ lagi. Mengapa pelapor dan Polri tak langsung saja mengusut
siapa pemberi informasi rahasia kepada Tempo yang mereka persoalkan? Mengapa
harus ngguthuk lor kena kidul ala
karambol? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar