KPK
dan Korupsi Struktual Cakrabyuha
Anwar Hudijono ; Jurnalis dan
Media Consultant
|
JAWA
POS, 09 Maret 2015
ABIMANYU tidak gentar. Dia menembus gelar Perang
Cakrabyuha yang dipasang Kurawa. Betapapun sangat hebat, Abimanyu harus
membentur kenyataan bahwa musuh adalah sebuah rezim atau komplotan yang
bangkotan. Mereka sudah terikat dalam sebuah jaringan kezaliman yang saling
menguntungkan. Mereka itu, antara lain, Raja Duryudana, Sengkuni, Resi Drona,
Aswatama, Dursasana, Karna, dan Jayadrata.
Momentumnya juga tidak menguntungkan Abimanyu. Pada hari
itu, Jayadrata tidak akan bisa dikalahkan siapa pun. Untuk itu, Jayadrata
bertugas mencegah Bima, Yudistira, Nakula, dan Sadewa masuk gelanggang
membantu Abimanyu.
Terjadilah pertarungan yang tidak sepadan. Abimanyu
dikeroyok. Dengan jiwa yang kuat dan tabah, Abimanyu tetap melawan sambil
tersenyum biarpun menyandang luka arang-kranjang
(sangat parah di sekujur tubuh). Setelah dadanya ditusuk oleh Karna dengan
menggunakan pisau komando, Abimanyu tewas dengan tersenyum. Senyum yang
ikhlas bahwa ketika memutuskan perang hanya ada duna pilihan: hidup mulia atau mati syahid. Dan dia
mendapati yang kedua.
Ratusan karyawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat
berdemo, Senin (2/3), berteriak bahwa mereka sudah siapa mati ketika masuk
KPK. Mereka sadar bahwa eksistensi KPK itu memerangi komplotan koruptor yang
bangkotan. Mereka sudah membuat jaring yang sangat kuat dan saling
menguntungkan. Setiap unsur itu saling mendukung, menguatkan, atau bahkan ’’menyandera’’.
Unsur-unsur itu bersebar di lembaga eksekutif, aparat penegak hukum,
legislatif, bisnis, mafia kriminal, media, dan sebagainya. Korupsi
struktural.
Dalam perang selama ini, KPK perlahan tapi pasti meraih
kemenangan demi kemenangan. Rakyat menumpukan harapan kepada mereka dalam
pembasmian korupsi. Reputasi mereka di mata dunia sangat bagus; merupakan
salah satu di antara tiga terbaik lembaga antikorupsi di Asia bersama ICAC
Hongkong dan CPIB Singapura.
Meski dengan aparat yang sangat terbatas dan anggaran
pas-pasan, KPK dinilai berani dan cepat menangkap koruptor kelas kakap, baik
jenderal polisi, DPR, menteri, maupun konglongmerat. Hasilnya, semua yang
dijaring KPK menjadi terpidana. ’’KPK menempati tiga besar lembaga
antikorupsi terbaik se-Asia,’’ ujar mantan komisioner Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong Tony
Kwok.
Namun, kali ini KPK harus membentur kenyataan bahwa gelar
’’Perang Cakrabyuha’’ koruptor benar-benar hebat seolah sebuah putaran gir
roda yang bergigi tajam sehingga begitu lawan masuk akan digiling, digilas
sampai remuk redam. Lihat saja, Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto juga dijadikan tersangka setelah ditangkap
di tengah jalan layaknya copet. Dua pimpinan KPK yang lain, Adnan Pandupraja
dan Zulkarnaen, juga sedang berada di ambang pintu tersangka. KPK dikalahkan
di praperadilan melawan Komjen Pol Budi Gunawan. Sekitar 20 penyidik KPK juga
terancam menjadi tersangka dalam kasus izin penggunaan senjata api.
Presiden Menonton
Dalam kondisi demikian, hanya dua kekuatan yang bisa
membantu KPK, yaitu presiden dan masyarakat. Hal itu berdasar atas pengalaman
negara lain maupun Indonesia sendiri. Di Hongkong, misalnya. Pada 1977, polisi
mengepung ICAC atau KPK-nya Hongkong karena mereka menyidiki sejumlah perwira
polisi yang diduga terlibat kasus korupsi. ICAC nyaris lumpuh. Tetapi,
Gubernur Hongkong Murray MacLehose segera turun tangan. Dia memberikan
amnesti untuk kasus-kasus korupsi kategori minor yang dilakukan perwira
polisi sebelum 1977. Langkah tersebut diambil sebagai jalan damai. Namun,
pemutihan serupa tidak akan diberikan lagi untuk masa-masa berikutnya. Babak
berikutnya, ICAC memanfaatkan dukungan dari gubernur untuk menyapu para
polisi korup. Implikasinya, kepolisian Hongkong lantas mereformasi diri dan
lebih transparan.
Sebenarnya Indonesia juga sudah berpengalaman dua kali
menghadapi konflik KPK-Polri yang dikenal dengan kasus Cicak-Buaya 1 dan
Cicak-Buaya 2. Pada dua kasus tersebut, KPK mendapat dukungan Presiden SBY
sehingga KPK berhasil selamat.
Untuk kasus Cicak-Buaya 3 saat ini, peran Presiden Jokowi
dalam mendukung KPK sama sekali tidak kelihatan. Presiden berdalih membiarkan
proses hukum berjalan, tidak peduli proses hukum yang sarat dengan rekayasa
dan tipu daya. Seperti layaknya penonton pertarungan Abimanyu melawan Kurawa
dengan dalih biarlah perang terjadi. Toh, dua pihak sudah memutuskan untuk
saling berperang.
Saat ini KPK juga tidak bisa berharap banyak dukungan dari
masyarakat. Soliditas masyarakat madani atau civil society masih rapuh sebagai dampak dari pemilu presiden
lalu. Gerakan Save KPK, tampaknya, belum cukup menghapus polarisasi, luka
’’nyinyirisme’’ dan ’’bully-isme’’ di masyarakat.
Selain itu, masyarakat terlalu mumet dengan kejutan-kejutan
langkah pemerintah dan kondisi sosial ekonomi. Misalnya, kenaikan harga BBM,
kenaikan tarif kereta api, nilai tukar rupiah yang terus melorot, harga beras
yang mencekik, dan kenaikan iuran BPJS. Kenaikan pelbagai harga dan iuran
dalam tempo yang hampir bersamaan benar-benar seperti upper cut yang membuat
kepala kliyeng-kliyeng alias mumet.
Rupanya, komplotan koruptor juga sudah mengantisipasi
gerakan masyarakat Save KPK. Di antaranya, memberikan stigma bahwa masyarakat
pendukung KPK adalah masyarakat yang tidak jelas. Arah stigma itu bahwa
gerakan Save KPK adalah sejenis OTB
(organisasi tanpa bentuk). Selain itu, dibentuk kelompok-kelompok masyarakat
untuk melawan gerakan Save KPK
sehingga terpantik kerusuhan horizontal. Jika terjadi kerusuhan, muncul
kesempatan untuk menghabisi basis dukungan KPK, yaitu masyarakat.
Dengan begitu, nasib KPK akan benar-benar sesuai dengan
skenario komplotan koruptor: la yamutu
fiha wa la yahya (tidak mati,
tetapi juga tidak hidup). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar