Selasa, 10 Maret 2015

KPK dan Korupsi Struktual Cakrabyuha

KPK dan Korupsi Struktual Cakrabyuha

Anwar Hudijono  ;  Jurnalis dan Media Consultant
JAWA POS, 09 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

ABIMANYU tidak gentar. Dia menembus gelar Perang Cakrabyuha yang dipasang Kurawa. Betapapun sangat hebat, Abimanyu harus membentur kenyataan bahwa musuh adalah sebuah rezim atau komplotan yang bangkotan. Mereka sudah terikat dalam sebuah jaringan kezaliman yang saling menguntungkan. Mereka itu, antara lain, Raja Duryudana, Sengkuni, Resi Drona, Aswatama, Dursasana, Karna, dan Jayadrata.

Momentumnya juga tidak menguntungkan Abimanyu. Pada hari itu, Jayadrata tidak akan bisa dikalahkan siapa pun. Untuk itu, Jayadrata bertugas mencegah Bima, Yudistira, Nakula, dan Sadewa masuk gelanggang membantu Abimanyu.

Terjadilah pertarungan yang tidak sepadan. Abimanyu dikeroyok. Dengan jiwa yang kuat dan tabah, Abimanyu tetap melawan sambil tersenyum biarpun menyandang luka arang-kranjang (sangat parah di sekujur tubuh). Setelah dadanya ditusuk oleh Karna dengan menggunakan pisau komando, Abimanyu tewas dengan tersenyum. Senyum yang ikhlas bahwa ketika memutuskan perang hanya ada duna pilihan: hidup mulia atau mati syahid. Dan dia mendapati yang kedua.

Ratusan karyawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat berdemo, Senin (2/3), berteriak bahwa mereka sudah siapa mati ketika masuk KPK. Mereka sadar bahwa eksistensi KPK itu memerangi komplotan koruptor yang bangkotan. Mereka sudah membuat jaring yang sangat kuat dan saling menguntungkan. Setiap unsur itu saling mendukung, menguatkan, atau bahkan ’’menyandera’’. Unsur-unsur itu bersebar di lembaga eksekutif, aparat penegak hukum, legislatif, bisnis, mafia kriminal, media, dan sebagainya. Korupsi struktural.

Dalam perang selama ini, KPK perlahan tapi pasti meraih kemenangan demi kemenangan. Rakyat menumpukan harapan kepada mereka dalam pembasmian korupsi. Reputasi mereka di mata dunia sangat bagus; merupakan salah satu di antara tiga terbaik lembaga antikorupsi di Asia bersama ICAC Hongkong dan CPIB Singapura.

Meski dengan aparat yang sangat terbatas dan anggaran pas-pasan, KPK dinilai berani dan cepat menangkap koruptor kelas kakap, baik jenderal polisi, DPR, menteri, maupun konglongmerat. Hasilnya, semua yang dijaring KPK menjadi terpidana. ’’KPK menempati tiga besar lembaga antikorupsi terbaik se-Asia,’’ ujar mantan komisioner Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong Tony Kwok.

Namun, kali ini KPK harus membentur kenyataan bahwa gelar ’’Perang Cakrabyuha’’ koruptor benar-benar hebat seolah sebuah putaran gir roda yang bergigi tajam sehingga begitu lawan masuk akan digiling, digilas sampai remuk redam. Lihat saja, Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto juga dijadikan tersangka setelah ditangkap di tengah jalan layaknya copet. Dua pimpinan KPK yang lain, Adnan Pandupraja dan Zulkarnaen, juga sedang berada di ambang pintu tersangka. KPK dikalahkan di praperadilan melawan Komjen Pol Budi Gunawan. Sekitar 20 penyidik KPK juga terancam menjadi tersangka dalam kasus izin penggunaan senjata api.

Presiden Menonton

Dalam kondisi demikian, hanya dua kekuatan yang bisa membantu KPK, yaitu presiden dan masyarakat. Hal itu berdasar atas pengalaman negara lain maupun Indonesia sendiri. Di Hongkong, misalnya. Pada 1977, polisi mengepung ICAC atau KPK-nya Hongkong karena mereka menyidiki sejumlah perwira polisi yang diduga terlibat kasus korupsi. ICAC nyaris lumpuh. Tetapi, Gubernur Hongkong Murray MacLehose segera turun tangan. Dia memberikan amnesti untuk kasus-kasus korupsi kategori minor yang dilakukan perwira polisi sebelum 1977. Langkah tersebut diambil sebagai jalan damai. Namun, pemutihan serupa tidak akan diberikan lagi untuk masa-masa berikutnya. Babak berikutnya, ICAC memanfaatkan dukungan dari gubernur untuk menyapu para polisi korup. Implikasinya, kepolisian Hongkong lantas mereformasi diri dan lebih transparan.

Sebenarnya Indonesia juga sudah berpengalaman dua kali menghadapi konflik KPK-Polri yang dikenal dengan kasus Cicak-Buaya 1 dan Cicak-Buaya 2. Pada dua kasus tersebut, KPK mendapat dukungan Presiden SBY sehingga KPK berhasil selamat.

Untuk kasus Cicak-Buaya 3 saat ini, peran Presiden Jokowi dalam mendukung KPK sama sekali tidak kelihatan. Presiden berdalih membiarkan proses hukum berjalan, tidak peduli proses hukum yang sarat dengan rekayasa dan tipu daya. Seperti layaknya penonton pertarungan Abimanyu melawan Kurawa dengan dalih biarlah perang terjadi. Toh, dua pihak sudah memutuskan untuk saling berperang.

Saat ini KPK juga tidak bisa berharap banyak dukungan dari masyarakat. Soliditas masyarakat madani atau civil society masih rapuh sebagai dampak dari pemilu presiden lalu. Gerakan Save KPK, tampaknya, belum cukup menghapus polarisasi, luka ’’nyinyirisme’’ dan ’’bully-isme’’ di masyarakat.

Selain itu, masyarakat terlalu mumet dengan kejutan-kejutan langkah pemerintah dan kondisi sosial ekonomi. Misalnya, kenaikan harga BBM, kenaikan tarif kereta api, nilai tukar rupiah yang terus melorot, harga beras yang mencekik, dan kenaikan iuran BPJS. Kenaikan pelbagai harga dan iuran dalam tempo yang hampir bersamaan benar-benar seperti upper cut yang membuat kepala kliyeng-kliyeng alias mumet.

Rupanya, komplotan koruptor juga sudah mengantisipasi gerakan masyarakat Save KPK. Di antaranya, memberikan stigma bahwa masyarakat pendukung KPK adalah masyarakat yang tidak jelas. Arah stigma itu bahwa gerakan Save KPK adalah sejenis OTB (organisasi tanpa bentuk). Selain itu, dibentuk kelompok-kelompok masyarakat untuk melawan gerakan Save KPK sehingga terpantik kerusuhan horizontal. Jika terjadi kerusuhan, muncul kesempatan untuk menghabisi basis dukungan KPK, yaitu masyarakat.

Dengan begitu, nasib KPK akan benar-benar sesuai dengan skenario komplotan koruptor: la yamutu fiha wa la yahya (tidak mati, tetapi juga tidak hidup).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar