Kamis, 12 Maret 2015

Menjaga Stabiltas Rupiah

Menjaga Stabiltas Rupiah

FX Sugiyanto  ;  Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro; Ekonom Kepala Bank Jateng
SUARA MERDEKA, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

PENEGASAN Presiden Jokowi benar bahwa masyarakat tidak perlu panik atas kemelemahan rupiah. Namun, sesungguhnya fakta tersebut sangat serius justru karena faktor utamanya dari eksternal. Rupiah memang bukan satu-satunya mengingat beberapa mata uang dunia seperti euro, yuan, dan pound  juga melemah terhadap dolar AS. Sejak November 2014, rupiah terus menurun rata-rata 1,45% per bulan, dan akhir pekan lalu rupiah ditutup pada posisi Rp 12.983 per dolar AS.

Tentu ini situasi serius kendati faktor terpenting bukan pada tingkat berapa seharusnya nilai tukar rupiah melainkan pada bagaimana menjaga stabilitas rupiah. Upaya itu sangat penting guna menghindari situasi spekulatif, sementara pengaruh kemelemahan rupiah tidak signifikan terhadap peningkatan ekspor. Setidak-tidaknya hal ini dapat dilihat dari ekspor nonmigas yang hanya naik 1,5% pada kuartal 4 tahun 2014.

Faktor eksternal penyebab kemelemahan rupiah dan beberapa mata uang dunia adalah kecenderungan kemenguatan ekonomi Amerika Serikat (AS). Situasi ini diperkirakan berlangsung hingga kuartal 2 tahun 2015. Sejak kuartal 3 tahun 2014, ekonomi AS memang melaju pesat bersamaan dengan menurunnya tingkat pengangguran di AS. Kuartal 3 dan 4 tahun 2014, ekonomi AS tumbuh 5,0% dan 2,2%.

Adapun tingkat pengangguran terus menurun sejak 2010 sebesar 9,9% menjadi  5,6% akhir 2014. Hebatnya, membaiknya  sektor riil ini justru bersamaan dengan inflasi yang cenderung menurun, bahkan Januari AS justru deflasi 0,1%. Inflasi rendah ini didorong tingkat harga minyak dunia yang relatif rendah, dan salah satu sebabnya produksi minyak AS rata-rata 6 juta barel per hari dan diperkirakan mencapai 9,2 juta barel per hari pada pertengahan 2015.

Dengan tingkat inflasi rendah ini, bank sentral AS juga memainkan peran penting atas kemenguatan dolar. Suku bunga acuan Fed hanya 0,25% sejak 2008, tetapi secara efektif; hingga akhir Januari 2015 Fed rate hanya 0,11%. Suku bunga rendah ini menjadi mesin kenaikan permintaan tanpa harus khawatir inflasi akan meningkat.

Dari sisi rupiah, persoalan kita sesungguhnya lebih pada upaya menstabilkannya dalam jangka pendek. Pasalnya, secara jangka panjang  rupiah masih lebih kuat dari kurs paritasnya. Jika posisi rupiah akhir pekan lalu tidak lebih dari Rp 13.000 per dolar AS, ini karena peran intervensi otoritas moneter. Posisi jangka panjang ini sangat bergantung pada kebijakan pengendalian inflasi, baik oleh otoritas moneter maupun pemerintah.

Dari sisi pemerintah, kebijakan harga BBM yang cenderung mengikuti harga pasar cukup berhasil karena seharusnya harga BBM tidak lagi sebagai penyebab terjadinya kekagetan harga. Pada jalur yang sudah benar ini, pemerintahan Jokowi-JK harus mengakselerasinya dengan bekerja keras agar kepercayaan terhadap pemerintah tidak runtuh, terutama akibat ketidakpastian hukum sebagaimana dikeluhkan para investor.

Dua Langkah

Situasi dilematis memang terjadi untuk menjaga  stabilitas rupiah dalam jangka pendek, dan hal ini bergantung pada pasar keuangan. Dalam konteks itulah situasi dilematis terjadi. Di satu pihak, untuk menjaga stabilitas rupiah dan juga supaya tidak makin terpuruk akibat pengalihan portofolio, suku bunga tinggi saat ini harus dipertahankan. Tapi di sisi lain situasi ini tidak menguntungkan bagi iklim investasi karena biaya dana masih akan tetap tinggi.

Karena itu, saat ini otoritas moneter sebaiknya melakukan dua langkah sekaligus. Sambil tetap untuk sementara tidak menurunkan suku bunga acuan, otoritas moneter perlu berperan aktif menjaga nilai tukar rupiah pada kisaran Rp 13.000 per dolar AS. Posisi cadangan devisa 115,53 miliar dolar AS, cukup untuk aktif menjaga rupiah pada kisaran tersebut.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah lewat kebijakan fiskalnya dalam situasi dilematis tersebut?  Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus mampu memberi sinyal kuat bahwa kebijakan fiskalnya mampu menyediakan eksternalitas positif yang dapat meningkatkan efisiensi perekonomian, melalui efisiensi anggaran dan efektivitas sasaran.

Sinyal ini dapat dibangun melalui politik anggaran yang tepat sasaran, punya fokus dan efisien. Efisiensi fiskal, selain akan mendorong stabilitas, juga akan mengakselerasasi stabilitas ekternal, khususnya nilai tukar mata uang. Di samping itu, bagi para investor, fokus anggaran  mempunyai makna penting, terutama berkait pembangunan infrastruktur.

Dalam konteks ini, konflik antara Pemrov DKI Jakarta dan DPRD bukan hanya menjadi ujian bagi daerah itu melainkan juga bagi pemerintah pusat. Pasalnya konflik tersebut berawal dari kemauan politik kebijakan yang bertujuan mengefektifkan dan mengefisienkan anggaran versus kemauan politik kebijakan yang masih ingin mempertahankan status quo yang cenderung koruptif. Kita pun meyakini potret anggaran sebagaimana di DKI juga terjadi di pemda lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar