Menjaga
Stabiltas Rupiah
FX Sugiyanto ; Guru Besar
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro; Ekonom Kepala Bank
Jateng
|
SUARA
MERDEKA, 11 Maret 2015
PENEGASAN Presiden Jokowi benar bahwa masyarakat tidak
perlu panik atas kemelemahan rupiah. Namun, sesungguhnya fakta tersebut
sangat serius justru karena faktor utamanya dari eksternal. Rupiah memang
bukan satu-satunya mengingat beberapa mata uang dunia seperti euro, yuan, dan
pound juga melemah terhadap dolar AS.
Sejak November 2014, rupiah terus menurun rata-rata 1,45% per bulan, dan
akhir pekan lalu rupiah ditutup pada posisi Rp 12.983 per dolar AS.
Tentu ini situasi serius kendati faktor terpenting bukan
pada tingkat berapa seharusnya nilai tukar rupiah melainkan pada bagaimana
menjaga stabilitas rupiah. Upaya itu sangat penting guna menghindari situasi
spekulatif, sementara pengaruh kemelemahan rupiah tidak signifikan terhadap
peningkatan ekspor. Setidak-tidaknya hal ini dapat dilihat dari ekspor
nonmigas yang hanya naik 1,5% pada kuartal 4 tahun 2014.
Faktor eksternal penyebab kemelemahan rupiah dan beberapa
mata uang dunia adalah kecenderungan kemenguatan ekonomi Amerika Serikat
(AS). Situasi ini diperkirakan berlangsung hingga kuartal 2 tahun 2015. Sejak
kuartal 3 tahun 2014, ekonomi AS memang melaju pesat bersamaan dengan
menurunnya tingkat pengangguran di AS. Kuartal 3 dan 4 tahun 2014, ekonomi AS
tumbuh 5,0% dan 2,2%.
Adapun tingkat pengangguran terus menurun sejak 2010
sebesar 9,9% menjadi 5,6% akhir 2014.
Hebatnya, membaiknya sektor riil ini
justru bersamaan dengan inflasi yang cenderung menurun, bahkan Januari AS
justru deflasi 0,1%. Inflasi rendah ini didorong tingkat harga minyak dunia
yang relatif rendah, dan salah satu sebabnya produksi minyak AS rata-rata 6
juta barel per hari dan diperkirakan mencapai 9,2 juta barel per hari pada
pertengahan 2015.
Dengan tingkat inflasi rendah ini, bank sentral AS juga
memainkan peran penting atas kemenguatan dolar. Suku bunga acuan Fed hanya
0,25% sejak 2008, tetapi secara efektif; hingga akhir Januari 2015 Fed rate
hanya 0,11%. Suku bunga rendah ini menjadi mesin kenaikan permintaan tanpa
harus khawatir inflasi akan meningkat.
Dari sisi rupiah, persoalan kita sesungguhnya lebih pada
upaya menstabilkannya dalam jangka pendek. Pasalnya, secara jangka
panjang rupiah masih lebih kuat dari
kurs paritasnya. Jika posisi rupiah akhir pekan lalu tidak lebih dari Rp
13.000 per dolar AS, ini karena peran intervensi otoritas moneter. Posisi
jangka panjang ini sangat bergantung pada kebijakan pengendalian inflasi,
baik oleh otoritas moneter maupun pemerintah.
Dari sisi pemerintah, kebijakan harga BBM yang cenderung
mengikuti harga pasar cukup berhasil karena seharusnya harga BBM tidak lagi
sebagai penyebab terjadinya kekagetan harga. Pada jalur yang sudah benar ini,
pemerintahan Jokowi-JK harus mengakselerasinya dengan bekerja keras agar
kepercayaan terhadap pemerintah tidak runtuh, terutama akibat ketidakpastian
hukum sebagaimana dikeluhkan para investor.
Dua Langkah
Situasi dilematis memang terjadi untuk menjaga stabilitas rupiah dalam jangka pendek, dan
hal ini bergantung pada pasar keuangan. Dalam konteks itulah situasi
dilematis terjadi. Di satu pihak, untuk menjaga stabilitas rupiah dan juga
supaya tidak makin terpuruk akibat pengalihan portofolio, suku bunga tinggi
saat ini harus dipertahankan. Tapi di sisi lain situasi ini tidak
menguntungkan bagi iklim investasi karena biaya dana masih akan tetap tinggi.
Karena itu, saat ini otoritas moneter sebaiknya melakukan
dua langkah sekaligus. Sambil tetap untuk sementara tidak menurunkan suku
bunga acuan, otoritas moneter perlu berperan aktif menjaga nilai tukar rupiah
pada kisaran Rp 13.000 per dolar AS. Posisi cadangan devisa 115,53 miliar
dolar AS, cukup untuk aktif menjaga rupiah pada kisaran tersebut.
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah lewat
kebijakan fiskalnya dalam situasi dilematis tersebut? Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus
mampu memberi sinyal kuat bahwa kebijakan fiskalnya mampu menyediakan
eksternalitas positif yang dapat meningkatkan efisiensi perekonomian, melalui
efisiensi anggaran dan efektivitas sasaran.
Sinyal ini dapat dibangun melalui politik anggaran yang
tepat sasaran, punya fokus dan efisien. Efisiensi fiskal, selain akan
mendorong stabilitas, juga akan mengakselerasasi stabilitas ekternal,
khususnya nilai tukar mata uang. Di samping itu, bagi para investor, fokus
anggaran mempunyai makna penting,
terutama berkait pembangunan infrastruktur.
Dalam konteks ini, konflik antara Pemrov DKI Jakarta dan
DPRD bukan hanya menjadi ujian bagi daerah itu melainkan juga bagi pemerintah
pusat. Pasalnya konflik tersebut berawal dari kemauan politik kebijakan yang
bertujuan mengefektifkan dan mengefisienkan anggaran versus kemauan politik
kebijakan yang masih ingin mempertahankan status quo yang cenderung koruptif.
Kita pun meyakini potret anggaran sebagaimana di DKI juga terjadi di pemda
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar