Pertaruhan
Politik Partai Beringin
Ali Rif’an ; Research
Associate Poltracking;
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 11 Maret 2015
Konflik internal di tubuh partai beringin diperkirakan
berumur panjang pascaputusan Mahkamah Partai yang memenangkan kepengurusan
Agung Laksono, Munas Golkar versi Ancol, Jakarta (Sinar Harapan, 5/3).
Terdapat dua poin penting dalam sidang Mahkamah Partai
Golkar yang berlangsung menegangkan itu. Poin pertama adalah memutuskan untuk
mengabulkan permohonan kepengurusan Golkar Munas Ancol serta meminta Agung
Laksono mengakomodasi kader-kader Munas Bali untuk masuk ke kepengurusan.
Poin kedua, Mahkamah Partai Golkar meminta kubu Agung
Laksono segera melakukan konsolidasi, mulai kepengurusan paling bawah hingga
pengurus wilayah. Agung juga diminta mengadakan munas lagi selambat-lambatnya
pada Oktober 2016.
Tentu saja, keputusan tersebut ditentang Ketua Umum Golkar
Munas Bali, Aburizal Bakrie, yang tidak hadir dalam sidang Mahkamah Partai
Golkar itu. Kubu Aburizal kembali melakukan perlawanan dengan mengajukan
gugatan kepada Agung Laksono dkk ke Pengadilan Negeri Jakarta pada Kamis
(5/3). Gugatan didaftarkan selang dua hari setelah putusan Mahkamah Partai
Golkar.
Apalagi, menurut kubu Aburizal—sebagaimana diungkapkan
Fadel Muhammad yang hadir dalam sidang tersebut—belum ada keputusan yang
menang dan kalah. Hasilnya masih seri lantaran hanya dua hakim yang
memenangkan Agung. Sidang itu dihadiri empat anggota majelis Mahkamah Partai Golkar,
yakni Muladi, HAS Natabaya, Andi Mattalatta, dan Djasri Marin. Dari keempat
anggota majelis tersebut, hanya Djasri dan Andi Mattalatta yang memenangkan
kubu Agung, sedangkan Muladi dan HAS Natabaya tidak memenangkan mereka.
Itulah drama konflik politik Partai Golkar yang hingga
kini belum ketemu ujung dan pangkalnya. Drama tersebut bahkan telah menyedot
perhatian publik selama hampir enam bulan. Sebuah konflik internal partai
yang cukup melelahkan.
Konsekuensi Politik
Tentu bila konflik internal Golkar tak segera mereda dan
terus berlarut-larut, akan ada konsekuensi politik yang dapat mengancam masa
depan partai. Pertama, berpindahnya kader Golkar ke partai lain. Itu karena
di tengah semakin dekatnya jadwal pilkada yang mulai digelar Desember 2015,
konflik Golkar tentu mendatangkan kegundahan bagi sejumlah kader, baik di
puat maupun di daerah. Bila mereka tidak kuat menghadapi badai konflik
internal yang berkepanjangan, kuat kemungkinan akan ada yang bermigrasi ke
partai lain.
Kedua, bagi kader yang akan bertarung dalam pilkada,
rentang waktu Maret-Desember 2015 merupakan waktu yang pendek. Bila konflik
terus menyembul, energi para kader Golkar akan habis untuk mengurusi konflik,
bukan memikirkan bagaimana membuat strategi pemenangan dalam menghadapi
pilkada. Padahal, pilkada serentak yang dihelat tahun ini membutuhkan energi
ekstra karena akan berlangsung hanya satu putaran.
Ketiga, kemenangan salah satu kubu—apalagi kubu Agung
Laksono—tentu akan mendatangkan ekses pada berubahnya konstelasi “kue”
Senayan. Tidak menuntut kemungkinan kubu Agung akan merombak sekaligus
menyingkirkan orang-orang Aburizal di parleman. Bila itu terjadi, pertikaian
di internal Golkar dapat berimbas ke lembaga legislatif, baik di daerah
maupun di pusat.
Keempat, tidak menuntut kemungkinan bagi kubu yang kalah
akan membuat partai sempalan, seperti pernah dilakukan Prabowo Subianto
dengan mendirikan Partai Gerindra dan Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem.
Potensi itu sangat kuat mengingat di antara kedua kubu memiliki pendukung
sama kuatnya.
Kedewasaan Politik
Karena itu, sebagai partai yang telah malang melintang
dalam jagat politik, memiliki kader-kader berkualitas dan telah lama
berkuasa, elite Golkar seharusnya menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik.
Itu disebabkan Golkar selama ini dianggap sebagai partai yang tangguh serta
mampu menghadapi berbagai turbulensi politik.
Bahkan meski telah menghadapi bencana mahadahsyat karena
tokoh utama partai beringin itu lengser dari kursi keprabona, suara Golkar
tetap stabil. Hal itu terlihat setelah Soeharto lengser, Golkar dalam Pemilu
1999 masih tetap berkibar dengan memenangkan perolehan suara nomor dua di
bawah PDI Perjuangan. Kenyataan itu membuktikan elite Golkar memiliki
kematangan di dalam berpolitik. Golkar bukan partai sembarangan dalam
gelanggang politik Indonesia.
Namun sayang, seiring berjalannya waktu, kehebatan Golkar
tersebut tidak terawat sehingga menuai berbagai problem akut. Problem
tersebut seperti tidak adanya tokoh Golkar yang memiliki karisma tinggi serta
semakin lunturnya ideologi Golkar. Tak pelak, dalam perjalanan politiknya
pasca-Reformasi, kebesaran dan kejayaan Golkar mulai meredup. Fakta tersebut
dapat dilihat dari tidak mampunya Golkar memunculkan figur kuat. Bahkan pada
Pilpres 2014 Golkar tidak mampu menyorongkan capres ataupun cawapres. Ini
sebuah anomali di dalam partai politik sebesar Golkar.
Karena itu, sangat disayangkan partai besar seperti Golkar
saat ini harus karam gara-gara konflik internal. Justru sebagai partai senior
di negeri ini, Golkar harus memberikan keteladanan politik. Tak pelak,
situasi konflik ini harus segera diakhiri jika Golkar ingin bangkit dan besar
seperti dulu. Elite Golkar harus menurunkan ego masing-masing demi
menyelamatkan partai agar tidak terseok-seok dalam badai konflik
berkepanjangan.
Paling tidak ada dua cara untuk mengakhiri konflik
tersebut. Pertama, kubu Aburizal Bakrie bersikap legowo dengan menerima hasil
putusan Mahkamah Partai Golkar yang memenangkan kepengurusan Agung Laksono.
Kedua, kubu Agung Laksono segera menggelar munas sebagaimana diamanatkan
Mahkamah Partai Golkar yang meminta mengadakan munas lagi selambat-lambatnya
pada Oktober 2016.
Munas itu dapat disebut sebagai “munas rekonsiliasi” yang
mengakomodasi dua kubu yang saling berseteru agar dapat duduk bersama,
memikirkan masa depan Golkar supaya bangkit dan mampu menjadi partai dengan
prestasi gemilang seperti yang pernah diukir dalam pemilu-pemilu di era Orde
Baru. Akhirnya, masa depan Golkar kini dipertaruhkan. Apakah akan menjadi
beringin besar yang semakin kuat akarnya ataukah justru akan tumbang karena
diterjang badai konflik internal berkepanjangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar