Kamis, 12 Maret 2015

Pertaruhan Politik Partai Beringin

Pertaruhan Politik Partai Beringin

Ali Rif’an  ;  Research Associate Poltracking;
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Konflik internal di tubuh partai beringin diperkirakan berumur panjang pascaputusan Mahkamah Partai yang memenangkan kepengurusan Agung Laksono, Munas Golkar versi Ancol, Jakarta (Sinar Harapan, 5/3).

Terdapat dua poin penting dalam sidang Mahkamah Partai Golkar yang berlangsung menegangkan itu. Poin pertama adalah memutuskan untuk mengabulkan permohonan kepengurusan Golkar Munas Ancol serta meminta Agung Laksono mengakomodasi kader-kader Munas Bali untuk masuk ke kepengurusan.

Poin kedua, Mahkamah Partai Golkar meminta kubu Agung Laksono segera melakukan konsolidasi, mulai kepengurusan paling bawah hingga pengurus wilayah. Agung juga diminta mengadakan munas lagi selambat-lambatnya pada Oktober 2016.

Tentu saja, keputusan tersebut ditentang Ketua Umum Golkar Munas Bali, Aburizal Bakrie, yang tidak hadir dalam sidang Mahkamah Partai Golkar itu. Kubu Aburizal kembali melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan kepada Agung Laksono dkk ke Pengadilan Negeri Jakarta pada Kamis (5/3). Gugatan didaftarkan selang dua hari setelah putusan Mahkamah Partai Golkar.

Apalagi, menurut kubu Aburizal—sebagaimana diungkapkan Fadel Muhammad yang hadir dalam sidang tersebut—belum ada keputusan yang menang dan kalah. Hasilnya masih seri lantaran hanya dua hakim yang memenangkan Agung. Sidang itu dihadiri empat anggota majelis Mahkamah Partai Golkar, yakni Muladi, HAS Natabaya, Andi Mattalatta, dan Djasri Marin. Dari keempat anggota majelis tersebut, hanya Djasri dan Andi Mattalatta yang memenangkan kubu Agung, sedangkan Muladi dan HAS Natabaya tidak memenangkan mereka.

Itulah drama konflik politik Partai Golkar yang hingga kini belum ketemu ujung dan pangkalnya. Drama tersebut bahkan telah menyedot perhatian publik selama hampir enam bulan. Sebuah konflik internal partai yang cukup melelahkan.

Konsekuensi Politik

Tentu bila konflik internal Golkar tak segera mereda dan terus berlarut-larut, akan ada konsekuensi politik yang dapat mengancam masa depan partai. Pertama, berpindahnya kader Golkar ke partai lain. Itu karena di tengah semakin dekatnya jadwal pilkada yang mulai digelar Desember 2015, konflik Golkar tentu mendatangkan kegundahan bagi sejumlah kader, baik di puat maupun di daerah. Bila mereka tidak kuat menghadapi badai konflik internal yang berkepanjangan, kuat kemungkinan akan ada yang bermigrasi ke partai lain.

Kedua, bagi kader yang akan bertarung dalam pilkada, rentang waktu Maret-Desember 2015 merupakan waktu yang pendek. Bila konflik terus menyembul, energi para kader Golkar akan habis untuk mengurusi konflik, bukan memikirkan bagaimana membuat strategi pemenangan dalam menghadapi pilkada. Padahal, pilkada serentak yang dihelat tahun ini membutuhkan energi ekstra karena akan berlangsung hanya satu putaran.

Ketiga, kemenangan salah satu kubu—apalagi kubu Agung Laksono—tentu akan mendatangkan ekses pada berubahnya konstelasi “kue” Senayan. Tidak menuntut kemungkinan kubu Agung akan merombak sekaligus menyingkirkan orang-orang Aburizal di parleman. Bila itu terjadi, pertikaian di internal Golkar dapat berimbas ke lembaga legislatif, baik di daerah maupun di pusat.

Keempat, tidak menuntut kemungkinan bagi kubu yang kalah akan membuat partai sempalan, seperti pernah dilakukan Prabowo Subianto dengan mendirikan Partai Gerindra dan Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem. Potensi itu sangat kuat mengingat di antara kedua kubu memiliki pendukung sama kuatnya.

Kedewasaan Politik

Karena itu, sebagai partai yang telah malang melintang dalam jagat politik, memiliki kader-kader berkualitas dan telah lama berkuasa, elite Golkar seharusnya menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik. Itu disebabkan Golkar selama ini dianggap sebagai partai yang tangguh serta mampu menghadapi berbagai turbulensi politik.

Bahkan meski telah menghadapi bencana mahadahsyat karena tokoh utama partai beringin itu lengser dari kursi keprabona, suara Golkar tetap stabil. Hal itu terlihat setelah Soeharto lengser, Golkar dalam Pemilu 1999 masih tetap berkibar dengan memenangkan perolehan suara nomor dua di bawah PDI Perjuangan. Kenyataan itu membuktikan elite Golkar memiliki kematangan di dalam berpolitik. Golkar bukan partai sembarangan dalam gelanggang politik Indonesia.

Namun sayang, seiring berjalannya waktu, kehebatan Golkar tersebut tidak terawat sehingga menuai berbagai problem akut. Problem tersebut seperti tidak adanya tokoh Golkar yang memiliki karisma tinggi serta semakin lunturnya ideologi Golkar. Tak pelak, dalam perjalanan politiknya pasca-Reformasi, kebesaran dan kejayaan Golkar mulai meredup. Fakta tersebut dapat dilihat dari tidak mampunya Golkar memunculkan figur kuat. Bahkan pada Pilpres 2014 Golkar tidak mampu menyorongkan capres ataupun cawapres. Ini sebuah anomali di dalam partai politik sebesar Golkar.

Karena itu, sangat disayangkan partai besar seperti Golkar saat ini harus karam gara-gara konflik internal. Justru sebagai partai senior di negeri ini, Golkar harus memberikan keteladanan politik. Tak pelak, situasi konflik ini harus segera diakhiri jika Golkar ingin bangkit dan besar seperti dulu. Elite Golkar harus menurunkan ego masing-masing demi menyelamatkan partai agar tidak terseok-seok dalam badai konflik berkepanjangan.

Paling tidak ada dua cara untuk mengakhiri konflik tersebut. Pertama, kubu Aburizal Bakrie bersikap legowo dengan menerima hasil putusan Mahkamah Partai Golkar yang memenangkan kepengurusan Agung Laksono. Kedua, kubu Agung Laksono segera menggelar munas sebagaimana diamanatkan Mahkamah Partai Golkar yang meminta mengadakan munas lagi selambat-lambatnya pada Oktober 2016.

Munas itu dapat disebut sebagai “munas rekonsiliasi” yang mengakomodasi dua kubu yang saling berseteru agar dapat duduk bersama, memikirkan masa depan Golkar supaya bangkit dan mampu menjadi partai dengan prestasi gemilang seperti yang pernah diukir dalam pemilu-pemilu di era Orde Baru. Akhirnya, masa depan Golkar kini dipertaruhkan. Apakah akan menjadi beringin besar yang semakin kuat akarnya ataukah justru akan tumbang karena diterjang badai konflik internal berkepanjangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar