Kriminalisasi
Dwi Hananta ; Hakim
Pengadilan Negeri Karanganyar
|
KORAN
TEMPO, 07 Maret 2015
"Kriminalisasi terhadap KPK dan pendukungnya terus
berlanjut," demikian tajuk beberapa surat kabar. Melihat konteks
rentetan peristiwa yang terjadi belakangan ini, secara umum kata
kriminalisasi dalam kalimat tersebut dipahami sebagai proses membuat
pimpinan, penyidik, dan/atau pendukung KPK disalahkan atas suatu perbuatan
kriminal yang sebenarnya tidak mereka lakukan.
Secara tekstual, kata kriminalisasi berasal dari kata
dasar kriminal yang mendapat imbuhan -isasi. Baik kata dasar maupun imbuhan
tersebut merupakan kata serapan. Kata kriminal berasal dari kata criminal
dalam bahasa Inggris, atau crimineel dalam bahasa Belanda. Dalam terminologi
hukum sendiri, kriminal diartikan sebagai orang yang melakukan kejahatan,
atau perbuatan yang memiliki sifat jahat dalam arti perbuatan yang diatur dan
diancam pidana berdasarkan suatu aturan. Dilekatkannya imbuhan -isasi pada
kata kriminal itu berfungsi membentuk kata benda yang memiliki makna
bersangkutan dengan proses (pengkriminalan).
Dalam hukum sendiri, kriminalisasi adalah suatu proses
dari suatu perbuatan yang semula tidak dianggap sebagai kejahatan, setelah
dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang melarang perbuatan tersebut,
menjadi perbuatan jahat yang dapat dipidana. Contohnya adalah tindak pidana
gratifikasi yang diatur dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebelumnya bukanlah tindak pidana.
Antonim dari kriminalisasi adalah dekriminalisasi, yaitu
proses di mana suatu perbuatan yang sebelumnya merupakan kejahatan dalam
peraturan pidana, dicabut atau diubah sehingga perbuatan tersebut tidak lagi
menjadi kejahatan yang dapat dipidana. Contohnya adalah pecandu narkotik. UU
RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menganut paradigma baru yang
memandang penyalahguna narkotik tidak lagi sebagai pelaku kejahatan,
melainkan sebagai korban, sehingga pecandu tidak lagi diancam dengan pidana,
tapi wajib menjalani rehabilitasi.
Tempo edisi 2–8 Maret 2015 mengaitkan kriminalisasi dengan
"mengada-adakan yang tiada". Dalam hal ini sebaiknya kata
kriminalisasi ditulis dalam tanda petik yang menandai bahwa kata
kriminalisasi tersebut bukanlah makna sebenarnya. Jika memang yang dimaksud
sebenarnya tidak ada tindak pidana tapi diada-adakan, sebagai alternatif
dapat juga digunakan kata rekayasa, yang berarti rencana jahat atau
persekongkolan untuk merugikan orang lain, yang penggunaannya dicontohkan
dalam KBBI: "Ia menjadi terdakwa karena rekayasa yang dilakukan oleh
tetangganya".
Penulis sendiri berharap dapat segera membaca berita yang
menuliskan kata kriminalisasi dalam makna sebenarnya dalam kalimat:
"Untuk menunjukkan keseriusannya dalam pemberantasan korupsi, Presiden
Joko Widodo memberlakukan undang-undang yang memuat kriminalisasi terhadap
pemerkayaan diri secara tidak sah (illicit
enrichment), sebagaimana termuat dalam Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang
telah diratifikasi Indonesia sejak 2006." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar