Dosen
Hukum Jadi Malu
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 07 Maret 2015
Akhir pekan lalu, saat menunggu penerbangan ke Yogya, saya
bertemu dengan Wakil Rektor V yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM) Paripurna Sugarda.
Pertemuan di Bandara Soekarno-Hatta
Cengkareng itu memberi kami kesempatan untuk bertukar pikiran tentang keadaan
hukum di Indonesia. Kami sama-sama galau melihat perkembangan hukum yang
dalam praktik sering dijadikan semacam pencak silat untuk mencari kemenangan,
bukan alat untuk menegakkan yang benar.
Sebagai pengajar bidang hukum Pak Paripurna mengaku malu
melihat perkembangan hukum di Indonesia dewasa ini. Bagaimana tidak? Hukum
tidak mampu menunjukkan fungsi dan perannya untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran. Indonesia diserang wabah korupsi; pemberantasan korupsi bukannya
menguat, tetapi justru semakin melemah.
Para lulusan fakultas hukum yang bersebaran di berbagai
lembaga penegak hukum bukan hanya tidak mampu menjadikan hukum sebagai
panglima dalam perang melawan korupsi, melainkan banyak di antara mereka yang
selain terlibat korupsi juga memperkuat budaya korupsi. Lihat saja, betapa
banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan sarjana hukum yang dijebloskan ke
penjara karena korupsi.
Pertengkaran terbuka antara sesama ahli dan penegak hukum
karena yang satu membela koruptor, sedangkan yang lain memperjuangkan
penghukuman terhadap koruptor sering kali menghina akal sehat publik.
Anehnya, dalam kasus korupsi yang lain mereka bisa bertukar posisi, yang
semula berdiri sebagai pembela perjuangan antikorupsi, dalam kasus yang
berbeda bisa menjadi pembela koruptor dengan dalil yang tadinya dipakai
lawan. Yang semula membela koruptor kini tampil gagah membela lawan koruptor.
Logika bisa ditukar-tukar, tergantung pada order. Dalil
bisa dipilih sesuai dengan posisinya. Hati nurani dan akal sehat publik
menjadi tak penting karena yang penting menang atau bisa manggung. ”Saya
malu, Pak, melihat keadaan ini. Saking gundahnya, kalau membimbing mahasiswa,
saya sering tidak terlalu masuk pada substansi tesis atau disertasi. Saya
sering lebih banyak mengetuk hati dan meminta janji agar setelah lulus dari
fakultas hukum nanti tidak ikut-ikutan korupsi,” kata Pak Paripurna.
”Saya bukan hanya malu, tetapi juga takut. Saya takut
untuk memberi pendapat hukum dalam kasus-kasus konkret karena pendapat yang
rasanya benar nanti di pengadilan bisa dibalik begitu saja oleh hakim, jaksa,
atau pengacara sehingga kebenaran itu menjadi tak bernilai bahkan sering
dijadikan bahan untuk mengejek kita,” jawab saya.
Saya sendiri memang selalu menolak untuk tampil di
pengadilan, misalnya menjadi saksi atau ahli karena kesaksian dan keahlian
sering ditekuk begitu saja di pengadilan. Kalau ada orang mau berkonsultasi
atau mau meminta nasihat hukum tentang kasus konkret yang dihadapi saya
sering menolak karena khawatir pendapat saya bisa berbalikan dengan pendapat
pengadilan dan dia jadi kecewa.
”Jangan saya, Anda cari pengacara profesional saja,”
demikian saya sering menjawab. Saya bukannya bermaksud mengatakan bahwa
perbedaan pendapat antarpihak itu salah. Justru perbedaan antara jaksa,
pengacara, dan ahli itu sangat penting dibeber secara terbuka karena dari
sanalah pencarian kebenaran bisa digali secara komprehensif. Masalahnya,
banyak yang bukan mencari benar, tetapi mencari menang dengan berbagai cara.
Nurani penegakan hukum sering dibuang begitu saja dari
logika hukum yang memang bisa dibangun dengan mencaricari dalil yang logis.
Dalam kasus korupsi, misalnya, filsafat, asas, dan norma hukum sering kali
dijungkirbalikkan untuk membela koruptor dan menguatkan serangan terhadap
lembaga-lembaga pemberantas korupsi. Sebagai orang yang lama belajar hukum
dan pernah duduk di lembaga penegak hukum, saya tahu pasal-pasal hukum itu
bisa saja dicari untuk membenarkan atau menyalahkan satu pihak, tergantung
pada apa yang diinginkan hakim.
Seorang hakim, misalnya, kalau ingin memenangkan seseorang
bisa memakai pasal ini undang-undang nomor sekian, tapi kalau mau mengalahkan
atau menghukumnya bisa memakai pasal dan undang-undang bernomor lain lagi.
Pokoknya, semua ada pasalnya. Oleh karena semua alternatif, mau menghukum
atau membebaskan itu, selalu bisa dicarikan dan selalu ada dalilnya, dalam
memutus perkara ”keyakinan hakim” menjadi penentu utama.
Di antara banyak dalil yang bisa digunakan untuk
membebaskan atau menghukum seseorang itu seorang hakim harus bertumpu pada
keyakinan dan bertanya kepada hati nuraninya. Hakim harus bertanya pada hati
nuraninya, mana yang paling tepat atau paling mendekati kebenaran di antara
berbagai alternatif yang dapat dijadikan vonis atas perkara yang sedang
ditanganinya.
Tapi, celakanya, kerap kali muncul putusan hakim yang
dibuat bukan karena bisikan hati nurani, melainkan karena kolusi. Putusan
yang lahir dari kolusi itu kemudian dibungkus dengan dalih ”itulah keyakinan
hakim dan hakim tak boleh diintervensi”. Buktinya, banyak hakim yang dihukum
karena vonisnya yang korup. Banyak juga yang tidak bisa dijerat hukum karena
lihainya membungkus dengan pasal-pasal penguat yang dipilihnya secara
sepihak, tetapi putusannya sangat menusuk rasa keadilan.
Tidak jarang juga hakim membuat vonis-vonis jahat seperti
itu karena berkolusi atau bermafiaria dengan penegak hukum yang lain. Maka
itu, bukan hanya Pak Paripurna, melainkan semua dosen fakultas hukum harus
merasa malu atas perkembangan dunia hukum di negara kita sekarang ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar