Kesalahan
yang Tak Sebanding
Sulardi ; Dekan
Fakultas Hukum Universitas Muhammdiyah Malang
|
KORAN
TEMPO, 11 Maret 2015
Dalam tataran yang sangat ideal, fungsi hukum dibuat
sekaligus untuk tiga hal: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Indonesia
sebagai sebuah negara, sejak awal berdiri pada 1945 atau tujuh puluh tahun
lalu, oleh pendirinya telah diklaim sebagai negara hukum. Hal tersebut dapat
dilacak dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi, "Indonesia adalah
negara hukum, bukan negara kekuasaan belaka."
Pengakuan sebagai negara hukum itu kemudian diformulasikan
dalam UUD hasil perubahan, menjadi "Indonesia adalah negara hukum".
Semestinya hukum yang berlaku dan ada di negara Indonesia ini dihormati,
diakui, dan ditegakan. Namun, yang terjadi, kini hukum telah berubah menjadi
komoditas. Pelanggar lalu lintas di jalan raya, misalnya, bisa terbebas dari
hukuman dan/atau denda dengan hanya memberikan uang receh kepada petugas di
jalan raya.
Dalam konteks ini pula kita melihat yang terjadi sekarang,
yakni penetapan status tersangka terhadap dua pemimpin Komisi Pemberantasan
Korupsi, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, oleh kepolisian. Seorang
pejabat negara tiba tiba menjadi tersangka atas tuduhan perbuatan yang
dilakukan bertahun-tahun lalu. Padahal, sebagai pejabat negara, mereka telah
diseleksi secara cermat melalui fit and proper test oleh DPR.
Sebaiknya kita menarik pelajaran dari negara lain. Pada
1998, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton terbebas dari impeachment oleh
Senat meski ia terbukti bersumpah palsu, bahwa ia tidak menjalin hubungan
gelap dengan Monica Lewinsky, pekerja magang di Gedung Putih. Presiden tak
diberhentikan melalui impeachment karena kesalahannya terlalu kecil ketimbang
kedudukan dan nama baiknya sebagai presiden, serta untuk menghindari konvensi
atau preseden pemberhentian presiden melalui impeachment.
Demikian pula halnya dengan impeachment yang terjadi pada
2004 di Korea Selatan terhadap Perdana Menteri Roh Moo-hyun. Impeachment
dilakukan setelah Roh Moo-hyun dinonaktifkan oleh parlemen atas tuduhan
melakukan suap saat pemilihan umum, yang akhirnya ia menangi.
Namun Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mengatakan Roh
Moo-hyun memang melakukan suap. Namun tuduhan tersebut tidak cukup untuk
membuat ia turun dari jabatannya. Artinya, tindakan suap yang dilakukan Roh
dianggap Mahkamah sebagai kesalahan yang tidak terlalu penting dibanding
kerugian dan akibat pemberhentian Roh sebagai Perdana Menteri.
Berbeda halnya dengan di Indonesia. Setelah KPK menetapkan
Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka pada 13 Januari lalu atas
tuduhan terlibat dalam gratifikasi, para pemimpin KPK tiba-tiba juga dikenai
status tersangka atas "kesalahan" yang dilakukan pada tahun-tahun
lampau. Kesalahan tersebut, kalaupun benar, sesungguhnya tidak sebanding
dengan pemberhentian Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai pemimpin
KPK. Hal itu juga tak sebanding dengan upaya negara ini dalam memberantas
koruspsi.
Peristiwa penghancuran KPK ini telah mencederai
kesepakatan bangsa ini sebagai negara hukum. Pemberian status tersangka
kepada pimpinan atau pejabat negara atas kesalahan sepele yang terjadi pada
masa lampau bisa terjadi pada siapa pun yang berani "main-main"
dengan penguasa atau calon penguasa yang berpengaruh. Dengan demikian,
pelan-pelan eksistensi negara hukum akan bergeser menjadi negara kekuasaan.
Ini harus dihindari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar