Kamis, 12 Maret 2015

Kesalahan yang Tak Sebanding

Kesalahan yang Tak Sebanding

Sulardi  ;  Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammdiyah Malang
KORAN TEMPO, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Dalam tataran yang sangat ideal, fungsi hukum dibuat sekaligus untuk tiga hal: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Indonesia sebagai sebuah negara, sejak awal berdiri pada 1945 atau tujuh puluh tahun lalu, oleh pendirinya telah diklaim sebagai negara hukum. Hal tersebut dapat dilacak dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi, "Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan belaka."

Pengakuan sebagai negara hukum itu kemudian diformulasikan dalam UUD hasil perubahan, menjadi "Indonesia adalah negara hukum". Semestinya hukum yang berlaku dan ada di negara Indonesia ini dihormati, diakui, dan ditegakan. Namun, yang terjadi, kini hukum telah berubah menjadi komoditas. Pelanggar lalu lintas di jalan raya, misalnya, bisa terbebas dari hukuman dan/atau denda dengan hanya memberikan uang receh kepada petugas di jalan raya.

Dalam konteks ini pula kita melihat yang terjadi sekarang, yakni penetapan status tersangka terhadap dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, oleh kepolisian. Seorang pejabat negara tiba tiba menjadi tersangka atas tuduhan perbuatan yang dilakukan bertahun-tahun lalu. Padahal, sebagai pejabat negara, mereka telah diseleksi secara cermat melalui fit and proper test oleh DPR.

Sebaiknya kita menarik pelajaran dari negara lain. Pada 1998, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton terbebas dari impeachment oleh Senat meski ia terbukti bersumpah palsu, bahwa ia tidak menjalin hubungan gelap dengan Monica Lewinsky, pekerja magang di Gedung Putih. Presiden tak diberhentikan melalui impeachment karena kesalahannya terlalu kecil ketimbang kedudukan dan nama baiknya sebagai presiden, serta untuk menghindari konvensi atau preseden pemberhentian presiden melalui impeachment.

Demikian pula halnya dengan impeachment yang terjadi pada 2004 di Korea Selatan terhadap Perdana Menteri Roh Moo-hyun. Impeachment dilakukan setelah Roh Moo-hyun dinonaktifkan oleh parlemen atas tuduhan melakukan suap saat pemilihan umum, yang akhirnya ia menangi.

Namun Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mengatakan Roh Moo-hyun memang melakukan suap. Namun tuduhan tersebut tidak cukup untuk membuat ia turun dari jabatannya. Artinya, tindakan suap yang dilakukan Roh dianggap Mahkamah sebagai kesalahan yang tidak terlalu penting dibanding kerugian dan akibat pemberhentian Roh sebagai Perdana Menteri.

Berbeda halnya dengan di Indonesia. Setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka pada 13 Januari lalu atas tuduhan terlibat dalam gratifikasi, para pemimpin KPK tiba-tiba juga dikenai status tersangka atas "kesalahan" yang dilakukan pada tahun-tahun lampau. Kesalahan tersebut, kalaupun benar, sesungguhnya tidak sebanding dengan pemberhentian Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai pemimpin KPK. Hal itu juga tak sebanding dengan upaya negara ini dalam memberantas koruspsi.

Peristiwa penghancuran KPK ini telah mencederai kesepakatan bangsa ini sebagai negara hukum. Pemberian status tersangka kepada pimpinan atau pejabat negara atas kesalahan sepele yang terjadi pada masa lampau bisa terjadi pada siapa pun yang berani "main-main" dengan penguasa atau calon penguasa yang berpengaruh. Dengan demikian, pelan-pelan eksistensi negara hukum akan bergeser menjadi negara kekuasaan. Ini harus dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar