Revolusi
Mental dan Pengelolaan Masa Lalu
Fidelis Regi Waton ; Pamong Rohani
KMKI Berlin, Belajar Filsafat Politik di Humboldt-Universität zu Berlin,
Jerman
|
SATU
HARAPAN, 20 Oktober 2014
Benang merah program pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo
dipadatkannya dalam wacana revolusi mental. Perubahan mental sangat penting
bagi pembaharuan politik. Satu aspek strategis dan vital dalam
mengimplementasikan revolusi mental dan reformasi politik adalah pergaulan
dengan masa lalu.
Kuman amnesia (lupa) sejarah tetap berkembang biak di negeri kita. Upaya sistematis untuk mengkhianati sejarah
belum berhasil dibendung. Pengolahan masa lalu masih menjadi proyek yang
kompleks dan komplit.
Padahal, seperti diwasiatkan pendiri negara ini, Bung Karno, kita
seharusnya “jasmerah” (jangan sekali-sekali melupakan sejarah). Secara
ontologis sejarah merupakan tenunan kejadian masa lampau, masa kini dan masa
depan yang mengonstruksi bangunan eksistensi kita. Masa lalu adalah bagian
hakiki kehidupan berbangsa dan bernegara.
“The past is never dead. It's not even past” (masa lalu tidak pernah
mati. Ia tidak pernah sirna), tandas William Faulkner. Pengaruh dan akibat
masa lalu senantiasa relevan. Siapa yang menutup mata terhadap masa lalu, ia
akan buta terhadap masa kini dan kelak. Diktum ini bukanlah sugesi dan harus
dilegitimasi secara yuridis. Di Jerman penyangkalan terhadap kejadian tragis
Holocaust-Auschwitz dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Setiap transformasi dari rezim otoriter ke demokrasi tidak boleh
melalaikan pertanyaan seputar pergaulan dengan masa lalu. Demokratisasi yang
benar dan jujur mesti mengelola masa lalu dengan segala risiko dan
konsekuensinya. Kebenaran harus ditegakkan. Mitos diganti dengan fakta.
Proses ini sempat dimulai Gus Dur melalui gagasan rekonsiliasi nasional yang
kelak pudar di balik eufori kebebasan. Geliat reformasi politik justru
bersarang pada kamuflase dan sikap inkonsistensi.
Esensi penanggulangan masa lalu adalah penyelesaian hukum: penetapan
pelaku dan identifikasi korban (aktor kejahatan harus dihukum dan korban
direhabilitasi), tata hukum direvisi, latar belakang kebiadaban dijelaskan
dan didokumentasikan sebagai awasan dan peringatan. Institusi sipil maupun
militer yang mendongkrak rezim lama harus dibersihkan. Pertanyaan tentang
kesalahan dan tanggung jawab wajib dilontarkan.
Apa yang terjadi di Indonesia? Pertama, secara mendadak mencuat fenomen
ekdisis (pergantian kulit). Kromosom tidak pernah digugat. Militer dan Golkar
sebagai pendongkrak Orde Baru mengganti kemasan, mengelak dari kesalahan dan
tanggung jawab sekaligus meloloskan diri dari jeratan hukum.
Setelah ambruknya rezim Hitler, Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman
bersama dengan segala organisasi pendukungnya dilarang (10/10/1945) dan
ditetapkan sebagai organisasi kejahatan. Tamatnya dinasti Saddam Hussein
berakibat pelarangan Partai Baath dan pembersihan segala unsur birokrasi dan
struktur yang berkaitan dengannya.
Spirit Orde Baru yang militeris dan Golkaris tetap dilestarikan dalam
cara berpikir dan hidup nasional.
Stigmatisasi dan tuduhan komunis begitu gampang dilontarkan. Komentar berbau
rasis-agamis terus terpupuk. Penyeragaman, uniformitas, ritual upacara
bendera, kekerasan, ketertiban dan kedisiplinan ala militer tetap
diidealisasikan, diapresiasi dan diejawantahkan sebagai takaran hidup
bersama. Reformasi politik belum menyentuh zona mental, karakter dan akhlak.
Kedua, Hitler tidak sempat diadili karena ia telah melakukan suicide,
namun para aktor dan arsitek kejahatan semasa Nazi diproses secara hukum:
Proses Nuernberg (1946-1949), pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem (1961)
dan proses Auschwitz (1963-1965) di Frankfurt am
Di Indonesia merajalela realitas impunitas dan ketiadaan itikad untuk
memproses aneka kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia. Para aktor kejahatan
sipil dan militer masa lalu tidak pernah diperiksa, diseret ke pengadilan dan
dihukum. Mereka malah secara leluasa
melancarkan aksi penghilangan jejak hitam sejarah dan menampilkan diri
bagaikan pahlawan. Tanpa rasa salah dan malu mereka menduduki, getol
memperebutkan atau mempengaruhi tampuk kekuasaan.
Ketiga, korban tidak pernah direhabilitasi, malah diledek dan kembali
dikorbankan dengan cara penghalangan investigasi, pembalikkan fakta dan
penghilangan bukti yang dilancarkan para pelaku kejahatan bersama
antek-anteknya yang berkolaborasi dengan aparat hukum yang korup. Penghargaan
kita terhadap korban sangat rentan.
Keempat, dekonstruksi penulisan sejarah sebagai sejarah pemenang tetap
terpenjara dalam tagihan. Penulisan kembali sejarah harus berorientasi pada
perspektif korban.
Kelima, mentalitas pencitraan masih bertengger megah. Kritik dan
pengungkitan sejarah gelap serta-merta dicap sebagai desakralisasi negara dan
pencorengan nama bangsa. Kebanggaan nasional justru juga harus ditunjukkan
dengan ketulusan untuk mengakui dan menerima realitas kebiadaban dan
ketidakberesan.
Pergaulan yang sehat dan fair terhadap noktah-noktah hitam sejarah menjadi
tanda kualitas kedewasaan dan integritas moral suatu bangsa. Segelap apapun
lembaran hitam sejarah, kita tidak boleh malu untuk mengakui dan menerimanya
sebagai bagian identitas bangsa dan berani mengelolanya secara sportif.
Sejarah memang tidak bisa lagi diubah, direparasi dan dikoreksi, tetapi
ia harus diterima dan segala rongsokannya dibenahi. Kutukan sejarah terus
mengakrabi bangsa dan negara kita, jika kita tidak serius untuk mengolah
sejarah dan belajar darinya.
Sejarah tetaplah guru terbaik, namun guru cerdas ini selalu memiliki
murid-murid edan yang tidak mau belajar darinya. Era baru bersama Presiden
Jokowi dengan tekad luhur revolusi mental kiranya tidak mengesampingkan
pengolahan masa lalu. Inilah kesempatan emas untuk menguji seberapa jauh
kecerdasan kita sebagai murid sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar