Rabu, 22 Oktober 2014

Prabowo Goes To...Washington

Prabowo Goes To...Washington

Made Supriatma ;  Peneliti Masalah-Masalah Politik Militer, Jurnalis Lepas
INDOPROGRESS,  20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


KALAU Anda kalah pemilu namun tidak merasa kalah, apa yang harus Anda lakukan? Untuk itu, Anda harus belajar dari Afghanistan. Mereka punya cerita menarik untuk menyelesaikan perselisihan penghitungan suara dalam pemilihan presiden.

Begini ceritanya.

Pada 5 April 2014, Afghanistan mengadakan pemilihan presiden. Ini kali ketiga dalam sejarah peradaban mereka memilih presiden. Hamid Karzai, presiden sebelumnya, tidak boleh lagi mencalonkan diri. Seperti Yudhoyono di tanah air, dia sudah dua kali menjabat. Dia naik ke kekuasaan tahun 2001, ketika rejim Taliban digulingkan Amerika. Kemudian lewat International Conference on Afghanistan di Jerman, yang diadakan dengan sponsor Amerika dan negara-negara Barat, dia diangkat menjadi kepala pemerintahan sementara. Tahun 2002, Loya Jirga (Dewan Agung) Afghanistan mengangkatnya jadi presiden. Ketika pilpres tahun 2004, Karzai sukses mengamankan kekuasaannya menjadi presiden (dengan dukungan Amerika tentu saja). Lima tahun kemudian, dia terpilih kembali. Tentu, masih dengan dukungan Amerika.

Dalam pemilihan pendahuluan (pada tanggal 5 April itu) menghasilkan dua kandidat peraih suara terbanyak, yaitu Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah. Yang pertama adalah bekas ambtenaar di Bank Dunia dan menteri keuangan di bawah pemerintahan Karzai. Sedangkan Abdullah Abdullah adalah bekas menteri luar negeri (2001-05). Dia adalah penasehat pemimpin Aliansi Utara (Northern Alliance) Ahmad Shah Massoud, yang membantu Amerika mengalahkan Taliban pada 2001. Abdullah telah lama menjadi penantang Karzai. Tahun 2009, dia menjadi calon presiden namun kalah oleh Karzai. Ini kekalahan pahit untuk Abdullah, karena dia menduga Karzai melakukan kecurangan secara ‘terstruktur, sistematis, dan masif.’ Oleh karena itu, Abdullah tidak mau melakukan pemilihan tahap kedua.

Dalam pemilu kali inipun sami mawon. Dalam pemilihan pertama, Ashraf Gani mendaat 31.5 persen dari suara dan Abdullah Abdullah mendapat 45 persen. Ada delapan kandidat maju dalam pemilihan ini. Pemilihan kedua dilangsungkan pad 14 Juni. Hasilnya diharapkan dapat diumumkan sebulan kemudian. Namun apa yang terjadi adalah saling tuduh. Kedua belah pihak mengatakan pihak sebelah melakukan kecurangan. Deadlock ini berakhir pada bulan September, ketika KPU Afghanistan mengumumkan Ashraf Ghani sebagai pemenang Pilpres.

Selesai? Belum. Karena demikian tajamnya tuduh menuduh, maka John Kerry, menteri luar negeri Amerika, membikin suatu perjanjian bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Ghani menjadi presiden dan Abdullah menjadi Chief Excutive Officer (CEO) negara Afghanistan.

Eits, tunggu dulu. Ini bukan cerita yang ingin saya sampaikan. Bukan hasil power sharing ini yang ingin saya sampaikan. Ceritanya justru ada pada saat-saat deadlock itu. Apa yang terjadi ketika itu? Kedua belah pihak sama-sama pergi ke Washington, D.C., ibukota negara yang menjadi tuan mereka selama satu dekade lebih. Karena pemilihan di Afghanistan sangat tergantung dari pusaran angin di Washington, maka keduanya lantas membeli pengaruh di sana untuk mempengaruhi hasil penghitungan suara di negeri sendiri. Saya ulangi: membeli pengaruh di Washington untuk mempengaruhi hasil penghitungan suara di negeri sendiri.

Ashraf Gani pergi ke satu perusahan lobbying yang bernama Sanitas International. Menurut surat kabar The Christian Science Monitor, ia membayar $45,000 per bulan (sekitar Rp 550 juta dalam kurs sekarang), untuk ‘mendapatkan nasehat tingkat tinggi, hubungan dengan media dan menjangkau stakeholder (pemangku kepentigan) .. dan mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan dan kebijakan terhadap media massa di Amerika dan negara-negara Barat serta membangun dukungan di kalangan pemirsa-pemirsa kunci di Amerika dan di negara-negara Barat.’

Tidak cukup itu saja. Ashraf Ghani juga menyewa Roberti White LLC. Dia membayar $100,000 (sekitar Rp 1,2 miliyar) perbulan untuk konsultasi politik dan kehumasan, termasuk pengembangan strategi kampanye serta pelaksanaannya, perumusan isu-isu dan penyampaian pesan, konsultasi media, dan jasa-jasa lain yang diperlukan untuk mendukung aktivitas partai Ahsraf Ghani.

Yang menarik, lawannya Ghani, yakni Abdullah Abdullah, juga menyewa perusahaan yang sama untuk mempengaruhi hasil pemilihan di negerinya. Abdulah diketahui menyewa operator politik yang terkait Joe Ritchie, seorang manajer keuangan yang lama terlibat dalam politik Afghanistan. Nah, Ritchie ini yang kemudian terkait dengan Sanitas International, lembaga yang juga memberikan jasa konsultasi politik ke Ghani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar