Prabowo
Goes To...Washington
Made Supriatma ; Peneliti Masalah-Masalah Politik Militer, Jurnalis
Lepas
|
INDOPROGRESS,
20 Oktober 2014
KALAU Anda kalah pemilu namun tidak merasa kalah, apa yang harus Anda
lakukan? Untuk itu, Anda harus belajar dari Afghanistan. Mereka punya cerita
menarik untuk menyelesaikan perselisihan penghitungan suara dalam pemilihan
presiden.
Begini ceritanya.
Pada 5 April 2014, Afghanistan mengadakan pemilihan presiden. Ini kali
ketiga dalam sejarah peradaban mereka memilih presiden. Hamid Karzai,
presiden sebelumnya, tidak boleh lagi mencalonkan diri. Seperti Yudhoyono di
tanah air, dia sudah dua kali menjabat. Dia naik ke kekuasaan tahun 2001,
ketika rejim Taliban digulingkan Amerika. Kemudian lewat International
Conference on Afghanistan di Jerman, yang diadakan dengan sponsor Amerika dan
negara-negara Barat, dia diangkat menjadi kepala pemerintahan sementara.
Tahun 2002, Loya Jirga (Dewan Agung) Afghanistan mengangkatnya jadi presiden.
Ketika pilpres tahun 2004, Karzai sukses mengamankan kekuasaannya menjadi
presiden (dengan dukungan Amerika tentu saja). Lima tahun kemudian, dia
terpilih kembali. Tentu, masih dengan dukungan Amerika.
Dalam pemilihan pendahuluan (pada tanggal 5 April itu) menghasilkan dua
kandidat peraih suara terbanyak, yaitu Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah.
Yang pertama adalah bekas ambtenaar di Bank Dunia dan menteri keuangan di
bawah pemerintahan Karzai. Sedangkan Abdullah Abdullah adalah bekas menteri
luar negeri (2001-05). Dia adalah penasehat pemimpin Aliansi Utara (Northern
Alliance) Ahmad Shah Massoud, yang membantu Amerika mengalahkan Taliban pada
2001. Abdullah telah lama menjadi penantang Karzai. Tahun 2009, dia menjadi
calon presiden namun kalah oleh Karzai. Ini kekalahan pahit untuk Abdullah,
karena dia menduga Karzai melakukan kecurangan secara ‘terstruktur,
sistematis, dan masif.’ Oleh karena itu, Abdullah tidak mau melakukan
pemilihan tahap kedua.
Dalam pemilu kali inipun sami
mawon. Dalam pemilihan pertama, Ashraf Gani mendaat
31.5 persen dari suara dan Abdullah Abdullah mendapat 45 persen. Ada delapan
kandidat maju dalam pemilihan ini. Pemilihan kedua dilangsungkan pad 14 Juni. Hasilnya diharapkan dapat diumumkan
sebulan kemudian. Namun apa yang terjadi adalah saling tuduh. Kedua belah
pihak mengatakan pihak sebelah melakukan kecurangan. Deadlock ini berakhir pada bulan September, ketika KPU
Afghanistan mengumumkan Ashraf Ghani sebagai pemenang Pilpres.
Selesai? Belum. Karena demikian tajamnya tuduh menuduh, maka John
Kerry, menteri luar negeri Amerika, membikin suatu perjanjian bagi-bagi
kekuasaan (power sharing). Ghani menjadi presiden dan Abdullah menjadi Chief
Excutive Officer (CEO) negara Afghanistan.
Eits, tunggu dulu. Ini bukan cerita yang ingin saya sampaikan. Bukan
hasil power sharing ini yang ingin saya sampaikan. Ceritanya justru ada pada
saat-saat deadlock itu. Apa yang terjadi ketika itu? Kedua belah pihak sama-sama
pergi ke Washington, D.C., ibukota negara yang menjadi tuan mereka selama
satu dekade lebih. Karena pemilihan di Afghanistan sangat tergantung dari
pusaran angin di Washington, maka keduanya lantas membeli pengaruh di sana
untuk mempengaruhi hasil penghitungan suara di negeri sendiri. Saya ulangi:
membeli pengaruh di Washington untuk mempengaruhi hasil penghitungan suara di
negeri sendiri.
Ashraf Gani pergi ke satu perusahan lobbying yang bernama Sanitas
International. Menurut surat kabar The Christian Science Monitor, ia membayar
$45,000 per bulan (sekitar Rp 550 juta dalam kurs sekarang), untuk
‘mendapatkan nasehat tingkat tinggi, hubungan dengan media dan menjangkau
stakeholder (pemangku kepentigan) .. dan
mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan dan kebijakan terhadap media massa
di Amerika dan negara-negara Barat serta membangun dukungan di kalangan
pemirsa-pemirsa kunci di Amerika dan di negara-negara Barat.’
Tidak cukup itu saja. Ashraf Ghani juga menyewa Roberti White LLC. Dia
membayar $100,000 (sekitar Rp 1,2 miliyar) perbulan untuk konsultasi politik
dan kehumasan, termasuk pengembangan strategi kampanye serta pelaksanaannya,
perumusan isu-isu dan penyampaian pesan, konsultasi media, dan jasa-jasa lain
yang diperlukan untuk mendukung aktivitas partai Ahsraf Ghani.
Yang menarik, lawannya Ghani, yakni Abdullah Abdullah, juga menyewa
perusahaan yang sama untuk mempengaruhi hasil pemilihan di negerinya. Abdulah
diketahui menyewa operator politik yang terkait Joe Ritchie, seorang manajer
keuangan yang lama terlibat dalam politik Afghanistan. Nah, Ritchie ini yang
kemudian terkait dengan Sanitas International, lembaga yang juga memberikan
jasa konsultasi politik ke Ghani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar