Selasa, 14 Oktober 2014

Reformasi dan Pilkada

                                             Reformasi dan Pilkada

Alex Bambang Riatmodjo  ;   Purnawirawan Polri, Kapolda Jateng 2008-2010
REPUBLIKA,  11 Oktober 2014

                                                                                                                       


Dalam suatu percakapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, saya pernah mengingatkan kepadanya bahwa reformasi di Indonesia adalah kehendak Tuhan. Sebagai bangsa religius kita harus meyakini itu.

Para pejuang dan pahlawan reformasi boleh bangga berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan mengganti dengan Orde Reformasi yang lebih demokratis, menghormati dan mengakui HAM, serta hak politik rakyat. Salah satunya memberi ruang kepada rakyat menggunakan haknya untuk memilih pemimpin secara langsung, dari presiden, gubernur, wali kota, dan bupati serta anggota DPR/DPRD.

Selama 10 tahun terakhir, rakyat mulai menyadari, memahami, dan belajar menggunakan haknya, bahkan rakyat telah "menikmati" haknya. Keberhasilan reformasi tidak boleh menjadikan bangsa ini sombong: seakan-akan reformasi murni perjuangan mandiri dan semata-mata dilakukan kaum reformis.

Namun, bangsa ini harus sadar dan memiliki kearifan spiritual bahwa keberhasilan reformasi tidak akan terwujud tanpa campur tangan kehendak Tuhan. Tuhan sangat mencintai bangsa ini. Tuhan berkehendak menyejahterakan bangsa ini. Tuhan tidak ingin lagi rakyat dan bangsa ini ditipu dan dibohongi pemim pinnya. Karena banyak pemimpin yang gemar berdusta, Tuhan berkehendak mengubah cara memilih pemimpin dengan secara langsung agar dalam kampanye, calon pemimpin harus berjanji kepada rakyat.

Setelah terpilih secara langsung oleh rakyat, pemimpin itu masih harus mengucapkan sumpah/janji lagi secara formal. Tuhan berkehendak janji dan sumpah pemimpin itu tidak diingkari dan dicederai karena bangsa yang religius meyakini sumpah dan janji itu sakral.

Salah satu yang harus dicatat akan kesakralan janji dan sumpah adalah "Janji orang kecil kalau dilupakan, dicederai, dan diingkari, akan diingatkan Tuhan dengan cara-cara kecil. Janji orang besar (pemimpin) kalau dilupakan, dicederai, dan diingkari di ingat kan Tuhan dengan cara-cara besar."

Bisa jadi, bencana tsunami Aceh dan bencana besar lainnya bentuk peringatan Tuhan kepada pemimpin yang akan atau sudah lupa, ingkar, atau cedera janji. Tentu, peringatan Tuhan itu bisa berbentuk lain, misalnya, banyak pemimpin terkena musibah menjadi tahanan KPK karena cedera janji.

Kini, kurang satu bulan SBY akan mengakhiri jabatannya sebagai presiden, bencana tsunami politik merampas hak-hak politik rakyat melalui UU Pilkada.
Hak politik rakyat telah dilanda tsunami yang diciptakan para elite. Pemilihan kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tetapi DPRD.

Apa yang terjadi usai drama sidang paripurna pada Kamis malam Jumat (25-26/9) melalui voting telah mengubah cara pemilihan kepala daerah. Di negeri Paman Sam, pernyataan yang lucu, menggelikan, dan mengundang iba yang berisi kekecewaan dan penyesalan atas proses dan hasil di ruang parlemen itu.
Pernyataan itu seolah-olah menganggap rakyat masih dalam kebodohan. Padahal, transparansi era reformasi, rakyat kini sudah mampu dan pintar mengikuti setiap proses politik dan kenegaraan. Pernyataan itu mengandung sesuatu yang tidak konsisten dan konsekuen.

Dalam pernyataan itu, dipandang sebagian rakyat menyimpangi sifat budi pekerti luhur yang seharusnya dimiliki pemimpin. Pemimpin yang berbudi pekerti luhur senantiasa membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.

Pertama, UU Pilkada vital dan strategis yang jadi perhatian serius presiden pilihan rakyat, apalagi UU itu akan merampas hak politik rakyat untuk memilih langsung kepala daerah.

Kedua, UU Pilkada itu diajukan oleh presiden yang diantarkan dengan amanat presiden kepada DPR. Ketiga, pada 14 September 2014, sebelum keluar negeri, SBY menyatakan sikap memilih dan mendukung pemilihan langsung.

Dengan sikap ini, secara manajerial, tentu seorang presiden yang merangkap ketua partai wajib memberi arahan dan perintah tegas dan jelas kepada fraksinya mendukung penuh ketua umum partai. Sebagai presiden, juga wajib memberi arahan dan perintah tegas dan jelas kepada menteri dalam negeri yang mewakilinya di pembahasan.

Ternyata, pada 26 September 2014, dari Hotel Wilard Intercontinental, Washington DC, SBY menyatakan perasaan menyesal dan kecewa atas proses dan hasil paripurna itu. Tak seorang pun akan percaya telah terjadi kesulitan komunikasi antara Presiden yang ada di Amerika, baik kepada ketua fraksi partainya maupun kepada Mendagri.

Anggota fraksinya walkout, sedangkan Mendagri "menyetujui"? Sebab, dinamika voting itu terjadi pada malam hari di Indonesia, sedangkan Presiden di AS waktu siang hari. Artinya, Presiden tidak ada kendala waktu untuk terus mengikuti perkembangan persidangan yang sangat vital dan strategis ini.

Keempat, pernyataan SBY yang telah menelepon Ketua Mahkamah Konstitusi mempertanyakan penggunaan hak presiden berdasarkan Pasal 20 UUD 1945 untuk bersetuju atau menolak UU Pilkada menjadi sesuatu yang aneh, tetapi nyata. Presiden dua periode dan akan mengakhiri masa jabatannya kedua, masih bertanya hak dan kewajibannya.

Kelima, pada 28 September 2014, dari hotel yang sama, lagi-lagi Presiden membuat pernyataan, antara lain, "Di era Pak Jokowi, saya akan berjuang untuk ke sistem pilkada langsung dengan perbaikan. Itu sumpah saya."   Hal ini menjadi lelucon. Sumpah formal sebagai presiden saja, hak dan kewajibannya untuk melindungi hak politik rakyat tidak dilaksanakan sesuai sikap yang dinyatakannya sendiri untuk mempertahankan pilkada langsung oleh rakyat. Lalu, sumpah apalagi setelah tidak lagi jadi presiden?

Keenam, pada 28 September 2014 dari Jepang masih lagi menyatakan, keputusan DPR merupakan kemunduran demokrasi. Kalau hati dan pikiran serta ucapan SBY sama, mendukung pilkada langsung, seharusnya SBY menyatakan penyesalan kepada diri sendiri, bukan kepada pihak di luar dirinya. Sebab, secara sadar atau tidak, baik langsung atau tidak, dengan kelalaian atau kesengajaan, SBY tidak menggunakan hak dan kewajibannya dengan baik dan penuh tanggung jawab dalam menjaga dan menyelamatkan hak politik rakyat.

Seharusnya, SBY memarahi diri sendiri. Ketidakkonsistenan dan tidak kekonsekuenan sikap itu dapat digolongkan ke dalam beberapa katagori.
Tahu, tetapi pura-pura tidak tahu. Tahu dirinya benar-benar tidak tahu. Tidak tahu, tetapi sok tahu. Atau tidak tahu bahwa dirinya benar-benar tidak tahu.

Diakui atau tidak, penyesalan dan kekecewaan itu bersumber pada reaksi kemarahan rakyat, terutama kicauan di media sosial yang menjadi trending topic dunia, bukan dari proses dan hasil keputusan parlemen itu.

Merupakan fakta bahwa SBY mengawali jabatan kepresidenannya disambut oleh tsunami. Kini, saat akan mengakhiri jabatannya telah menimbulkan tsunami yang tidak kalah dahsyatnya, mematikan hak politik rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar