Perppu
Perlindungan Diri
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 08 Oktober 2014
Lantaran merasa dirinya dikecam sejumlah kalangan, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) membuat gebrakan dengan memanfaatkan kekuasaannya.
Padahal, tinggal beberapa hari lagi kekuasaannya berakhir, sehingga
penerbitan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait
pembatalan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan 10 perbaikan, bukan
lagi sekadar pencitraan, melainkan upaya perlindungan diri dari berbagai
kecaman.
Setelah tidak lagi menjabat presiden, cap sebagai ”pembunuh demokrasi
langsung” akan terusmelekatpada diriSBY. Yang penting, perppu dikeluarkan
meskipun pada akhirnya akan ditolak DPR, sebab Koalisi Merah Putih yang
menghendaki pilkada di DPRD menguasai kursi parlemen. Tetapi kalau disetujui
DPR, tentu nama SBY yang terangkat sebagai pahlawan demokrasi. Sementara
Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, Partai Nasdem, PKB, danPartaiHanura)
yangbegitu gigih berjuang saat pembahasan di DPR tidak akan mendapat nama
baik.
Sekiranya Fraksi Partai Demokrat tidak walk-out dari ruang rapat, kemudian mau bersinergi dengan
pendukung pilkada langsung tanpa memaksakan 10 opsi perbaikan, maka perppu
tidak perlu dikeluarkan. Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Presiden SBY
telah menerbitkan 17 perppu dan disetujui DPR. Yang terakhir, Perppu Nomor 1/
2013 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga disetujui DPR, tetapi
dibatalkan MK melalui uji materi.
Langkah politik SBY meskipun konstitusional, tetapi siapa pun tahu
kalau perppu tidak serta-merta membatalkan UU Pilkada yang telah disetujui bersama.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perppu harus mendapat
persetujuan DPR. Jika tidak maka perppu itu harus dicabut. Koalisi Merah
Putih yang menguasai mayoritas kursi DPR pasti akan mengeluarkan reaksi
penolakan atas perppu tersebut.
Perdebatan
Kegentingan
Ada dua perppu yang dikeluarkan Presiden SBY, yaitu Perppu Nomor 1/
2014 terkait pilkada langsung dengan 10 perbaikan dalam UU Pilkada, serta
Perppu Nomor 2/2014 yang menghapus tugas dan kewenangan DPRD memilih
gubernur, bupati, dan wali kota dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru
disahkan. Perppu belum tentu menyelesaikan masalah, malah akan membuat
perdebatan baru, baik pada ”penilaian subjektif” presiden maupun pada
”penilaian objektif” yang akan dilakukan DPR.
Perdebatan prosedur dan alasan terbitnya perppu selalu muncul terkait
”kegentingan yang memaksa” seperti dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Mengacu pada putusan MK Nomor 138/PUU-VII/ 2009, ada tiga kriteria penerbitan
perppu, yaitu karena ada kebutuhan mendesak, adanya kekosongan hukum, serta
agar tercipta kepastian hukum. Ukuran kegentingan yang memaksa harus
betul-betul ada ancaman yang pasti dan nyata di depan mata, bukan ancaman
yang direka-reka. Secara konstitusionalitas, kegentingan yang memaksa adalah
ketika kondisi negara membahayakan jika tidak dikeluarkan perppu.
Unjuk rasa dan berbagai kecaman publik di media sosial terhadap SBY dan
Partai Demokrat belum bisa dijadikan dasar kegentingan memaksa. Pasalnya,
aksi unjuk rasa dan protes di media sosial merupakan wujud dari penyampaian
aspirasi publik. Memang ada dua ”hak presiden” dalam UUD 1945 untuk melakukan
tindakan politik, yaitu tindakan atas adanya ”keadaan bahaya” dalam Pasal 12
dan ”kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Presiden berhak melakukan tindakan karena ”keadaan bahaya” berdasarkan
ukuran ”objektif” seperti dimaksud dalam UU Negara dalam Keadaan Bahaya.
Tetapi berbeda pada ”kegentingan yang memaksa”, presiden sepenuhnya
menentukan sendiri alasannya melalui pertimbangan ”subjektif” sesuai
penilaian presiden. Penilaian ”objektif” perppu dilakukan DPR (legislative review) pada masa sidang
berikutnya, apakah menyetujui atau menolak sehingga perppu harus dicabut.
Perppu juga bisa diuji materi (judicial
review) di MK sesuai putusan MK Nomor: 138/PUU-VII/ 2009 atas uji materi
Perppu Nomor 4/2009 tentang MK, bahwa materi muatan Perppu sama dengan materi
UU dan tingkatannya sederajat, sehingga MK bisa melakukan uji materi terhadap
perppu. Siapa pun boleh mengajukan uji materi terhadap perppu asalkan
memiliki legal standing sebagai salah satu syarat dikabulkannya permohonan.
Kacaukan
Kepastian Hukum
Perppu ini serba tanggung dan politis, bahkan secara substantif justru
mengacaukan kepastian hukum. Kalaupun langkah penerbitan perppu karena
mengapresiasi suara rakyat, dampak sosial lain dari pilkada langsung mestinya
juga disimak. Perpecahan rumpun keluarga yang beda pilihan, terbelahnya tokoh
agama dan tokoh masyarakat, serta mobilisasi dan ketakutan para guru dan
pegawai pemerintah daerah setiap pelaksanaan pilkada adalah sebagian dari
dampak sosial itu.
Suara mereka ini tidak terekspos di media massa lantaran terdistorsi
oleh kelompok tertentu yang mendapat penghasilan dan kepentingan politik dari
pilkada langsung. Bahkan unjuk rasa anarkis yang menyebabkan terjadi
penganiayaan dan pembunuhan, serta perusakan dan pembakaran berbagai kantor
pemerintah di daerah dan kantor KPUD, menjadi pemandangan biasa. Akibatnya,
demokrasi langsung yang awalnya diniatkan untuk mengukuhkan kedaulatan rakyat
di daerah, tidak dapat disangkal telah berbelok arah menjadi mesin perusak
demokrasi.
Akan lebih terhormat sekiranya SBY membiarkan warga negara yang merasa
hak konstitusionalnya dikebiri untuk mengajukan uji materi ke MK. Sepertinya
SBY mempertaruhkan ”hak subjektifnya” dalam menilai kegentingan yang memaksa
untuk sekadar mendapat simpati publik. Apalagi perppu berlaku sejak
ditandatangani presiden, kemudian diserahkan kepada DPR. Hal ini merupakan
wujud ketidakkonsistenan yang mengacaukan kepastian hukum, sebab UU
Pemerintahan Daerah yang juga sudah disahkan DPR memiliki keterkaitan
langsung dengan UU Pilkada.
Perppu yang mencabut UU Pilkada di DPRD dan pasal kewenangan anggota
DPRD untuk memilih kepala daerah, setidaknya telah merusak tatanan sistem
hukum (kepastian hukum) yang telah diperkuat dalam putusan MK Nomor
138/PUU-VII/2009. Apabila perppu ditolak DPR, sudah pasti akan terjadi
kekosongan hukum dalam memilih kepala daerah. Tidak mungkin lagi
memberlakukan UU Pilkada di DPRD karena sudah dicabut dengan perppu. Begitu
pula, tidak bisa menerapkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
lantaran sudah dicabut oleh UU Pilkada dan UU Pemda yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar