Minggu, 12 Oktober 2014

Perppu Perlindungan Diri

                                         Perppu Perlindungan Diri

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
KORAN SINDO,  08 Oktober 2014

                                                                                                                       


Lantaran merasa dirinya dikecam sejumlah kalangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat gebrakan dengan memanfaatkan kekuasaannya. Padahal, tinggal beberapa hari lagi kekuasaannya berakhir, sehingga penerbitan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait pembatalan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan 10 perbaikan, bukan lagi sekadar pencitraan, melainkan upaya perlindungan diri dari berbagai kecaman.

Setelah tidak lagi menjabat presiden, cap sebagai ”pembunuh demokrasi langsung” akan terusmelekatpada diriSBY. Yang penting, perppu dikeluarkan meskipun pada akhirnya akan ditolak DPR, sebab Koalisi Merah Putih yang menghendaki pilkada di DPRD menguasai kursi parlemen. Tetapi kalau disetujui DPR, tentu nama SBY yang terangkat sebagai pahlawan demokrasi. Sementara Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, Partai Nasdem, PKB, danPartaiHanura) yangbegitu gigih berjuang saat pembahasan di DPR tidak akan mendapat nama baik.

Sekiranya Fraksi Partai Demokrat tidak walk-out dari ruang rapat, kemudian mau bersinergi dengan pendukung pilkada langsung tanpa memaksakan 10 opsi perbaikan, maka perppu tidak perlu dikeluarkan. Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Presiden SBY telah menerbitkan 17 perppu dan disetujui DPR. Yang terakhir, Perppu Nomor 1/ 2013 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga disetujui DPR, tetapi dibatalkan MK melalui uji materi.

Langkah politik SBY meskipun konstitusional, tetapi siapa pun tahu kalau perppu tidak serta-merta membatalkan UU Pilkada yang telah disetujui bersama. Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perppu harus mendapat persetujuan DPR. Jika tidak maka perppu itu harus dicabut. Koalisi Merah Putih yang menguasai mayoritas kursi DPR pasti akan mengeluarkan reaksi penolakan atas perppu tersebut.

Perdebatan Kegentingan

Ada dua perppu yang dikeluarkan Presiden SBY, yaitu Perppu Nomor 1/ 2014 terkait pilkada langsung dengan 10 perbaikan dalam UU Pilkada, serta Perppu Nomor 2/2014 yang menghapus tugas dan kewenangan DPRD memilih gubernur, bupati, dan wali kota dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru disahkan. Perppu belum tentu menyelesaikan masalah, malah akan membuat perdebatan baru, baik pada ”penilaian subjektif” presiden maupun pada ”penilaian objektif” yang akan dilakukan DPR.

Perdebatan prosedur dan alasan terbitnya perppu selalu muncul terkait ”kegentingan yang memaksa” seperti dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Mengacu pada putusan MK Nomor 138/PUU-VII/ 2009, ada tiga kriteria penerbitan perppu, yaitu karena ada kebutuhan mendesak, adanya kekosongan hukum, serta agar tercipta kepastian hukum. Ukuran kegentingan yang memaksa harus betul-betul ada ancaman yang pasti dan nyata di depan mata, bukan ancaman yang direka-reka. Secara konstitusionalitas, kegentingan yang memaksa adalah ketika kondisi negara membahayakan jika tidak dikeluarkan perppu.

Unjuk rasa dan berbagai kecaman publik di media sosial terhadap SBY dan Partai Demokrat belum bisa dijadikan dasar kegentingan memaksa. Pasalnya, aksi unjuk rasa dan protes di media sosial merupakan wujud dari penyampaian aspirasi publik. Memang ada dua ”hak presiden” dalam UUD 1945 untuk melakukan tindakan politik, yaitu tindakan atas adanya ”keadaan bahaya” dalam Pasal 12 dan ”kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Presiden berhak melakukan tindakan karena ”keadaan bahaya” berdasarkan ukuran ”objektif” seperti dimaksud dalam UU Negara dalam Keadaan Bahaya. Tetapi berbeda pada ”kegentingan yang memaksa”, presiden sepenuhnya menentukan sendiri alasannya melalui pertimbangan ”subjektif” sesuai penilaian presiden. Penilaian ”objektif” perppu dilakukan DPR (legislative review) pada masa sidang berikutnya, apakah menyetujui atau menolak sehingga perppu harus dicabut.

Perppu juga bisa diuji materi (judicial review) di MK sesuai putusan MK Nomor: 138/PUU-VII/ 2009 atas uji materi Perppu Nomor 4/2009 tentang MK, bahwa materi muatan Perppu sama dengan materi UU dan tingkatannya sederajat, sehingga MK bisa melakukan uji materi terhadap perppu. Siapa pun boleh mengajukan uji materi terhadap perppu asalkan memiliki legal standing sebagai salah satu syarat dikabulkannya permohonan.

Kacaukan Kepastian Hukum

Perppu ini serba tanggung dan politis, bahkan secara substantif justru mengacaukan kepastian hukum. Kalaupun langkah penerbitan perppu karena mengapresiasi suara rakyat, dampak sosial lain dari pilkada langsung mestinya juga disimak. Perpecahan rumpun keluarga yang beda pilihan, terbelahnya tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta mobilisasi dan ketakutan para guru dan pegawai pemerintah daerah setiap pelaksanaan pilkada adalah sebagian dari dampak sosial itu.

Suara mereka ini tidak terekspos di media massa lantaran terdistorsi oleh kelompok tertentu yang mendapat penghasilan dan kepentingan politik dari pilkada langsung. Bahkan unjuk rasa anarkis yang menyebabkan terjadi penganiayaan dan pembunuhan, serta perusakan dan pembakaran berbagai kantor pemerintah di daerah dan kantor KPUD, menjadi pemandangan biasa. Akibatnya, demokrasi langsung yang awalnya diniatkan untuk mengukuhkan kedaulatan rakyat di daerah, tidak dapat disangkal telah berbelok arah menjadi mesin perusak demokrasi.

Akan lebih terhormat sekiranya SBY membiarkan warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dikebiri untuk mengajukan uji materi ke MK. Sepertinya SBY mempertaruhkan ”hak subjektifnya” dalam menilai kegentingan yang memaksa untuk sekadar mendapat simpati publik. Apalagi perppu berlaku sejak ditandatangani presiden, kemudian diserahkan kepada DPR. Hal ini merupakan wujud ketidakkonsistenan yang mengacaukan kepastian hukum, sebab UU Pemerintahan Daerah yang juga sudah disahkan DPR memiliki keterkaitan langsung dengan UU Pilkada.

Perppu yang mencabut UU Pilkada di DPRD dan pasal kewenangan anggota DPRD untuk memilih kepala daerah, setidaknya telah merusak tatanan sistem hukum (kepastian hukum) yang telah diperkuat dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Apabila perppu ditolak DPR, sudah pasti akan terjadi kekosongan hukum dalam memilih kepala daerah. Tidak mungkin lagi memberlakukan UU Pilkada di DPRD karena sudah dicabut dengan perppu. Begitu pula, tidak bisa menerapkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah lantaran sudah dicabut oleh UU Pilkada dan UU Pemda yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar