Kamis, 02 Oktober 2014

Manusia dalam Bencana Asap

Manusia dalam Bencana Asap

Hadi S Alikodra  ;   Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor,
Mantan Wakil Ketua Bapedal
KORAN SINDO,  01 Oktober 2014

                                                                                                                       


Ada asap ada api. Begitulah peribahasa yang amat populer di Indonesia. Peribahasa ini biasanya diucapkan orang ketika ada suatu masalah yang penyebabnya tidak jelas.

Dengan peribahasa itu, orang yang yakin bahwa misteri masalah itu akan terkuak. Karena itu, peribahasa ada asap ada api menggambarkan bahwa segala sesuatu pasti ada sebab akibatnya. Hari-hari ini di Riau dan Kalimantan Timur asap yang berasal dari hutan terus mengepul dan “migrasi” ke mana-mana. Ke kampung, ke kota, ke bandara, bahkan ke Singapura dan Malaysia. Tak ada orang yangbisamenghalangi“migrasi” asap.

Ia akan migrasi ke mana pun arah angin berembus. Tapi, kali ini ada persoalan besar yang muncul. Asap itu “menggelapkan” bandara di Singapura dan Malaysia. Ini sangat berbahaya karena bisa membuat celaka pesawat terbang. Singapura dan Kuala Lumpur mengeluh dan protes kepada Jakarta karena banyak asap yang “migrasi” dari Indonesia ke wilayah mereka. Tapi, apa yang bisa dilakukan Indonesia?

Nyaris mustahil menyetop migrasi asap tersebut. Pinjam istilah Jusuf Kalla, cawapres terpilih, Singapura dan Kuala Lumpur seharusnya tidak perlu protes karena dalam satu tahun mereka lebih banyak mendapat migrasi udara segar dan banyak oksigen dari hutan di Sumatera dan Kalimantan ketimbang migrasi udara berasap tersebut. Yang seharusnya mereka lakukan, bagaimana membantu mengatasi kebakaran hutan di dua pulau itu dengan menegur keras para pengusaha perkebunan sawit mereka yang nakal.

Ini karena pengusaha-pengusaha perkebunan sawit dari dua negara tetangga tadi menjadi pemicu kebakaran hutan akibat mencari cara land clearing dengan mudah dan murah yaitu membakar hutan! Memang benar, kebakaran hutan bisa terjadi secara alami. Penyebabnya beragam. Petir, letusan gunung api, dan batu bara dangkal bisa menjadi penyebab kebakaran hutan. Di negara-negara subtropis, faktorfaktor alam tersebut di atas menjadi penyebab utama kebakaran hutan.

Petir misalnya sering menjadi pemicu kebakaran di negara-negara subtropis. Hampir 50% kebakaran hutan di Kanada penyebabnya adalah petir. Di wilayah Rocky Mountain, Kanada, 65% penyebab kebakaran hutan adalah petir itu tadi. Tapi, kondisi seperti itu nyaris tak mungkin terjadi di Indonesia yang beriklim tropis. Kenapa? Karena, muncul petir di Indonesia hampir selalu berbarengan dengan muncul hujan.

Dengan demikian, kilatan api dari petir yang bisa menimbulkan kebakaran hutan “ ternetralisasi” oleh muncul hujan sehingga kebakaran hutan tidak berkembang luas. Kebakaran hutan juga sering dipicu letusan gunung berapi. Aliran lahar panas misalnya sering menjadi pemicu kebakaran hutan di lereng-lereng gunung berapi.

Meletusnya Gunung Merapi misalnya menjadi penyebab utama kebakaran hutan di desa-desa sekitar lereng gunung tersebut. Kebakaran hutan di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah pada Oktober 2010 misalnya akibat turun awan panas “wedus gembel“ yang berasal dari letusan Merapi.

Sedangkan batu bara dangkal (yang terdeposit beberapa meter dari permukaan tanah) juga acap menjadi pemicu kebakaran hutan. Pada kondisi cuaca kering dan panas, deposit batu bara ini memanas sehingga melampaui titik bakarnya. Akibat itu, bahan bakar yang ada di atas permukaan tanah seperti daun, ranting, dan kayu kering terbakar. Fenomena ini banyak terjadi di Kalimantan dan Sumatera - dua pulau yang terkenal sebagai penghasil batu bara terbesar di Indonesia.

Tapi, betulkah kebakaran hutan penyebab utamanya adalah iklim kemarau? Nanti dulu. Berbagai studi dan analisis lembaga-lembaga kajian, baik LSM, perguruan tinggi, maupun riset-riset independen menyimpulkan hampir 100% kebakaran hutan di Indonesia disebabkan perbuatan manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja. Lebih jauh lagi, kebakaran hutan itu disebabkan perbuatan manusia yang disengaja.

Penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 1998 di 10 wilayah di Sumatera dan Kalimantan seperti Lampung, Jambi, Sumbagsel, Riau, Kalbar, dan Kaltim menemukan bahwa penyebab secara langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah (a) api yang sengaja dipakai untuk pembukaan hutan (land clearing); (b) api yang sengaja dipakai untuk menyelesaikan masalah dalam konflik tanah dan lahan; (c) api yang dipakai untuk ekstraksi sumber daya alam (industri); dan (d) penyebaran api secara tidak sengaja. Sedangkan penyebab kebakaran hutan secara tidak langsung adalah (a) penguasaan lahan; (b) alokasi penggunaan lahan; (c) insentif/disentif ekonomi; (d) degradasi hutan dan lahan; (c) dampak perubahan karakteristik kependudukan; dan (f) lemahnya kapasitas kelembagaan (Syaufina, 2008).

Jelas sekali, penyebab utama kebakaran hutan adalah kegiatan manusia dalam penyiapan lahan dan konversi lahan hutan menjadi nonhutan. Kegiatan tersebut sebagian besar dilakukan perusahaan perkebunan. Dalam beberapa tahun terakhir, kebakaran hutan ini sudah demikian meluas hingga menghanguskan hutan lindung dan hutan konservasi. Kondisi tersebut jelas sangat memprihatinkan.

Jika pada 1980-an laju deforestasi mencapai 1 juta hektare per tahun, pada era1990-anlajudeforestasi itu mencapai 1,7 juta hektare per tahun. Menurut catatan Kementerian Kehutanan pada 2006, laju deforestasi bahkan telah mencapai 2,83 juta hektare per tahun atau sekitar 3-5 hektare (3-5 kali luas lapangan sepak bola) per menit. Jika kondisi yang amat memprihatinkan itu tidak bisa dicegah, Indonesia dalam 50 tahun ke depan akan kehilangan hutan dan berubah menjadi negeri kering kerontang yang panas, berdebu, dan kering tanpa air.

Dalam kaitan “asap di Singapura dan Malaysia” itu kemudian terungkap apa dan siapa saja yang sering membakar hutan. Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menyatakan, delapan dari 14 perusahaan yang diduga kuat membakar lahan dan hutan di Riau berasal dari Malaysia dan Singapura. Semua perusahaan negara tetangga itu bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.

Mereka antara lain PT Langgam Inti Hiberida (Malaysia), PT Bumi Raksa Sejati (Singapura), PT Tunggal Mitra Plantation (Malaysia), PTUdayaLohDinawi (Malaysia), PT Adei Plantation (Malaysia), PT Jatim Jaya Perkasa (Singapura), PT Multi Gambut Industri (Malaysia), dan PT Mustika Agro Lestari (Malaysia), PT Bumi Reksa Nusa Sejati (Singapura), PT Sumatera Riang Lestari (Singapura), dan PT Sakato Prama Makmur (Singapura). Balthasar mendesak Pemerintah Singapura dan Malaysia menghukum mereka jika nanti terbukti terlibat dalam pembakaran hutan (22/6/2013).

Salah satu perusahaan perkebunan sawit asal Malaysia, PT Adei Plantation, misalnya sudah lama ditengarai penduduk dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat sebagai pembakar hutan. Saat ini PT Adei sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri Pelalawan. Rupanya PT Adei ini pada 2003 pernah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bangkinang dan pengadilan menetapkan manajer mereka Mr Goby divonis empat tahun.

Tapi, MR Goby tidak pernah masuk penjara. Ia lari ke Malaysia dan anehnya perusahaan mereka masih beroperasi dan terus membakar hutan sampai sekarang. Udara berasap akibat kebakaran hutan memang bencana bagi manusia. Tapi, ada lagi bencana besar bagi manusia jika hutan tropis terbakar yaitu musnahnya kekayaan biodiversitas (keanekaragaman jenis hayati). Hutan tropis Indonesia diketahui menyimpan 70% lebih kekayaan biodiversitas yang ada di muka bumi.

Kekayaan biodiversitas ini aset nasional yang amat mahal untuk pembangunan masa depan, terutama untuk pangan dan obat-obatan. Jika salah satu program unggulan pemerintahan Jokowi-JK adalah kemandirian pangan dan pembangunan kesehatan, kekayaan biodiversitas adalah penunjang utamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar