Kamis, 02 Oktober 2014

Negosiasi Rendah Karbon

Negosiasi Rendah Karbon

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  01 Oktober 2014

                                                                                                                       


Adu kuat kepentingan antara satu koalisi melawan koalisi lain bukanlah monopoli kehidupan politik di negara kita. Adu kuat kepentingan satu negara terhadap negara lain atau satu kelompok kelas tertentu dengan kelas lain adalah bagian dari sejarah peradaban manusia.

Kita dapat melihat ketika para pihak yang saling bertarung kepentingan mencapai kata kesepakatan untuk mencapai sebuah perdamaian, ada halhal positif yang dihasilkan, termasuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya apabila para pihak yang bertikai tidak menemukan jalan untuk menghentikan perselisihan melalui rumusan kesepakatan, sudah pasti kehancuran ada di depan mata; bukan hanya bagi pihak yang dikalahkan, tetapi pihak yang menang juga akan merasakan kerugiannya.

Fakta itu dapat kita lihat dalam krisis iklim yang terjadi saat ini. Negara-negara industri besar seperti Amerika Serikat (AS) dan China tidak mau menunjukkan komitmen mereka untuk menurunkan emisi karbon. Mereka khawatir komitmen itu akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Sikap negara industri tersebut menjadi alasan bagi negara-negara lain untuk mengikuti jejak mereka dan tidak peduli dengan nasib bumi.

Menurut The Washington Times, tingkat emisi karbon dari bahan bakar berbasis fosil justru meningkat 2,4% dibandingkan tahun 2013. Program Lingkungan Hidup PBB mengungkap kalaupun seluruh negara memenuhi target janji penurunan emisi gas rumah kaca, suhu bumi telanjur akan naik lebih dari 2 derajat Celsius karena pola hidup modern saat ini. Lomba untuk saling menaikkan angka pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara di dunia mempercepat emisi karbon.

Karena setiap negara mendorong pola hidup konsumtif agar produksi barang-barang dapat diserap pasar. Oleh sebab itu, wajar bila kelebihan pembuangan gas karbon dioksida akan mencapai 8-12 gigaton! Negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan basah juga tidak mau ketinggalan. Mereka melakukan revolusi industri dengan jalan membuka industri-industri perkebunan atau industri kayu yang mengakibatkan penggundulan hutan yang menjadi terkendali.

Protes negara-negara maju tidak diindahkan karena mereka juga melakukan hal yang sama 100 tahun yang lalu. Efeknya akan sangat buruk bagi anak cucu. Misalnya mengenai keanekaragaman hayati, khususnya hewan liar. Setengah dari binatang liar di dunia telah musnah dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, misalnya jumlah singa menurun 90%. Sementara itu populasi harimau menurun 97% dalam kurun waktu 100 tahun dan gajah menghilang 60% sejak 2002.

Demikian kutipan dari The Living Planet Report 2014 yang dirilis oleh World Wildlife Fund dan Komunitas Zoologi London. Artinya, tidak mustahil anak cucu kita sekadar membaca sejarah tentang hewan-hewan liar bila para orang tuanya tak berbuat sesuatu pun. Dari segi diplomasi, mekanisme dialog antarperwakilan negara sudah tersedia. Kese-pakatan atas dasar pikiran dan akal sehat telah dirumuskan sejak UNFCCC (Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB) diterapkan pada 21 Maret 1994.

Saat ini keanggotaan negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim telah mencapai 195 negara; jadi hampir semua negara. Skemanya cukup lengkap meliputi Kyoto Protokol sebagai dasar yang mengikat anggotanya dalam menentukan target penurunan emisi dan Kesepakatan Marrakesh 2001 yang memuat aturan detail implementasi protokol. Kesepakatan juga menoleransi penerapan mengingat kondisi politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda dari setiap negara.

Pada Desember 2012 di Doha, Kyoto Protokol diamendemen. Intinya diizinkan adanya kelonggaran pelaksanaan komitmen bagi negara maju. Ada mekanisme pelaporan rutin tentang kemajuan penerapan komitmen. Bagi negara berkembang, disediakan skema dana bantuan (hibah maupun pinjaman) untuk kegiatan menekan perubahan iklim. Sejumlah negara maju juga sepakat atas berbagi teknologi untuk mendukung kegiatan tersebut. Mengenai penerapan komitmen, disediakan pula tunjangan dan panduan teknis.

Komitmen negara anggota akan dibahas lagi dalam Konferensi Ke-20 UNFCCC 2014 di Lima, Peru, pada 1-12 Desember 2014. Dibandingkan 20 tahun lalu, bukti-bukti terjadinya perubahan iklim dan bahayanya bagi umat manusia maupun keanekaragaman hayati sudah makin nyata. Permasalahannya adalah menjadikan bukti tersebut sebagai basis untuk bergerak bersama secara serentak dalam skala besar dan konsisten untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru.

 Sampai saat ini selain masih ada pertentangan tentang siapa yang harus lebih dahulu mulai menerapkan komitmen, ada masalah juga mengenai kemauan pemerintah maupun kalangan swasta untuk mengubah kebiasaan. Ibaratnya begini: jika orang lain belum mengubah gaya hidup dan kebiasaannya dan saya serta perusahaan atau negara saya harus berubah terlebih dahulu, rugi dong. Itu sebabnya para diplomat mengalami kebuntuan dalam negosiasi karena pada akhirnya kesepakatan yang mereka buat harus diterapkan di dalam negeri.

Di tingkat bisnis, mengubah pola hidup memang bukan hal mudah. Yang biasa menggunakan mesin berbahan bakar bensin harus berinvestasi dulu menciptakan mesin baru tanpa bensin supaya lebih ramah lingkungan. Kalau harus menunggu satu per satu perusahaan bergerak, efeknya tidak akan signifikan dalam kurun waktu yang diinginkan. Jika diwajibkan pemerintah, misalnya lewat pajak karbon, seluruh sistem pajak mengenai penggunaan energi di segala sektor usaha dan skala usaha juga perlu diubah.

Katakanlah parlemennya kooperatif mendukung pihak eksekutif, maka inventarisasi perubahan aturan pun harus lengkap. Efeknya pasti langsung terasa sampai ke konsumen dan dianggap memberatkan. Itu sebabnya di Australia, misalnya, pajak karbon yang diterapkan tahun 2012 akhirnya dicabut pada 2014. Apakah Indonesia akan terbawa mengikuti arus penolakan tersebut?

Kalau semua negara berkeras hati, Indonesia juga akan merasakan ruginya. Kalau kita sekadar ikut-ikutan mengadopsi bentuk disinsentif yang diterapkan di negara lain demi memenuhi komitmen internasional, saya hampir yakin, pasti penolakannya keras. Tapi kalau kita bangun gerakannya sebagai upaya memurahkan biaya hidup dan membangun harmoni dengan alam, seharusnya lebih bisa diterima khalayak.

Misalnya saja sejumlah gerakan hemat listrik, hemat kertas, hemat AC, dan mengurangi konsumsi BBM dimasyarakatkan dengan lebih luas. Bisa dimulai dari seluruh pegawai pemerintah dan keluarganya, sekolah- sekolah, pusat rekreasi, dan kawasan industri. Ketentuan pembuatan taman di kompleks perumahan ditegakkan dan tiap izin membangun wajib dicek kepatuhannya untuk menyediakan lahan untuk taman rumah.

Gerakan-gerakan macam itu akan sangat membantu para diplomat yang bernegosiasi dalam sidang perubahan iklim. Jangan lupa, negosiasi perubahan iklim ini menggunakan kerangka kerja skala jangka panjang.

Jadi selain stamina Indonesia dalam negosiasi harus prima, masyarakatnya perlu lebih ”tahan banting” menghadapi tuntutan perubahan pola hidup demi alam yang lebih bersahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar