Sabtu, 04 Oktober 2014

Mabuk

Mabuk

Toto Subandriyo  ;   Penulis
KORAN TEMPO,  03 Oktober 2014




Minuman keras oplosan (dengan nama lokal besotan, cokrik, dan lainnya) telah menjadi persoalan yang sangat memusingkan pemerintah daerah di Indonesia. Bukan hanya di daerah-daerah pesisir yang secara sosiologis memiliki kultur yang lebih permisif terhadap keberadaan minuman keras, di daerah-daerah pedalaman pun hal ini menjadi masalah. Kehadiran minuman keras telah menjadi sarana dan bahasa pergaulan seperti halnya rokok. Bagi telinga warga Kota Tegal, Brebes, dan sekitarnya, ucapan "dudu batir angger ora gelem nginung" (bukan sahabat jika tidak mau minum) menjadi ungkapan yang jamak terdengar.

Di seluruh pelosok negeri ini sudah tidak terhitung lagi korban jiwa melayang setelah pesta minuman oplosan. Sebut saja tragedi besotan yang menggemparkan masyarakat Tegal pada pertengahan 2009 (yang merenggut nyawa 23 warga), tewasnya 14 orang warga Surabaya setelah menenggak cokrik pada akhir September 2013, serta melayangnya nyawa 9 warga Malang setelah pesta minuman oplosan belum lama ini.

Menurut para ahli, pada era sekarang ini tradisi mabuk lebih merupakan bentuk dari fenomena eskapisme. Menurut Kartini Kartono (2005), fenomena eskapisme ini merupakan cara melarikan diri dari tekanan masalah yang dipicu oleh tekanan sosial-ekonomi. Fenomena eskapisme merupakan bentuk frustrasi negatif yang sangat merugikan pribadi seseorang. Penyelesaian rasa frustrasi mengandung usaha untuk mereduksi ketegangan-ketegangan yang ada.

Makin beratnya beban hidup akibat melambungnya harga kebutuhan pokok sehari-hari akan menggerus daya beli sehingga memicu fenomena eskapisme semu. Henri Josserand, dari Global Information and Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), mengingatkan bahwa inflasi yang disebabkan oleh melambungnya harga bahan pangan merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal itu mengingat pengeluaran untuk pangan dari warga kelas menengah ke bawah menempati persentase terbesar dari pengeluaran total keluarga.

Peristiwa tragis korban minuman keras oplosan yang selalu terulang ini menunjukkan bahwa fungsi pengawasan dan penegakan hukum terhadap barang haram ini belum berjalan optimal. Ketentuan hukum belum diterapkan secara tegas untuk menimbulkan efek jera bagi para pelanggar ketentuan.

Selama ini, pengawasan aparat penegak hukum lebih terfokus pada peredaran produk minuman keras resmi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-Dag/Per/3/2006 tentang Pengawasan dan Pengendalian Impor, Pengedaran, Penjualan, dan Perizinan Minuman Beralkohol. Itu semua nyaris tidak menyentuh peredaran minuman keras oplosan seperti cokrik dan besotan, yang diperdagangkan secara terselubung dan kucing-kucingan.

Tak ada lagi alasan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bersikap masa bodoh terhadap persoalan ini. Upaya pencegahan harus dibangun dari individu-individu dan keluarga. Harus ada pula pihak-pihak yang tak bosan memberi pencerahan tentang bahaya minuman keras bagi keselamatan jiwa. Pengawasan dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci keberhasilan upaya tersebut. Waspadalah, jangan sampai ciu mengantarkan Anda ke ruang ICU!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar