Mabuk
Toto Subandriyo ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 03 Oktober 2014
Minuman
keras oplosan (dengan nama lokal besotan,
cokrik, dan lainnya) telah menjadi
persoalan yang sangat memusingkan pemerintah daerah di Indonesia. Bukan hanya
di daerah-daerah pesisir yang secara sosiologis memiliki kultur yang lebih
permisif terhadap keberadaan minuman keras, di daerah-daerah pedalaman pun
hal ini menjadi masalah. Kehadiran minuman keras telah menjadi sarana dan
bahasa pergaulan seperti halnya rokok. Bagi telinga warga Kota Tegal, Brebes,
dan sekitarnya, ucapan "dudu batir
angger ora gelem nginung" (bukan
sahabat jika tidak mau minum) menjadi ungkapan yang jamak terdengar.
Di
seluruh pelosok negeri ini sudah tidak terhitung lagi korban jiwa melayang
setelah pesta minuman oplosan. Sebut saja tragedi besotan yang menggemparkan
masyarakat Tegal pada pertengahan 2009 (yang merenggut nyawa 23 warga),
tewasnya 14 orang warga Surabaya setelah menenggak cokrik pada akhir
September 2013, serta melayangnya nyawa 9 warga Malang setelah pesta minuman
oplosan belum lama ini.
Menurut
para ahli, pada era sekarang ini tradisi mabuk lebih merupakan bentuk dari
fenomena eskapisme. Menurut Kartini Kartono (2005), fenomena eskapisme ini
merupakan cara melarikan diri dari tekanan masalah yang dipicu oleh tekanan
sosial-ekonomi. Fenomena eskapisme merupakan bentuk frustrasi negatif yang
sangat merugikan pribadi seseorang. Penyelesaian rasa frustrasi mengandung
usaha untuk mereduksi ketegangan-ketegangan yang ada.
Makin
beratnya beban hidup akibat melambungnya harga kebutuhan pokok sehari-hari
akan menggerus daya beli sehingga memicu fenomena eskapisme semu. Henri
Josserand, dari Global Information and
Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), mengingatkan
bahwa inflasi yang disebabkan oleh melambungnya harga bahan pangan merupakan
pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal itu mengingat pengeluaran untuk
pangan dari warga kelas menengah ke bawah menempati persentase terbesar dari
pengeluaran total keluarga.
Peristiwa
tragis korban minuman keras oplosan yang selalu terulang ini menunjukkan
bahwa fungsi pengawasan dan penegakan hukum terhadap barang haram ini belum
berjalan optimal. Ketentuan hukum belum diterapkan secara tegas untuk
menimbulkan efek jera bagi para pelanggar ketentuan.
Selama
ini, pengawasan aparat penegak hukum lebih terfokus pada peredaran produk
minuman keras resmi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, serta Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 15/M-Dag/Per/3/2006 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Impor, Pengedaran, Penjualan, dan Perizinan Minuman Beralkohol.
Itu semua nyaris tidak menyentuh peredaran minuman keras oplosan seperti
cokrik dan besotan, yang diperdagangkan secara terselubung dan
kucing-kucingan.
Tak ada lagi alasan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bersikap
masa bodoh terhadap persoalan ini. Upaya pencegahan harus dibangun dari
individu-individu dan keluarga. Harus ada pula pihak-pihak yang tak bosan
memberi pencerahan tentang bahaya minuman keras bagi keselamatan jiwa.
Pengawasan dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci keberhasilan upaya
tersebut. Waspadalah, jangan sampai ciu mengantarkan Anda ke ruang ICU! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar