Mereka
Merampas Kemerdekan Kita, Lawan!
( Bagian-1 )
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas
Airlangga, Surabaya; Juru Bicara Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan;
Kandidat PhD Asia Research Center, Murdoch University,
Australia
|
INDOPROGRESS,
03 Oktober 2014
Response atas Manuver Elite KMP
terkait RUU Pilkada
DI ERA
demokrasi abad ke-21 ini, pembangunan tidak lagi didefinisikan sebagai arahan
sentralistik dari politik elitis untuk mendefinisikan apa yang penting dan
bermakna bagi kepentingan rakyat, sambil mengasingkan hak rakyat untuk
terlibat dalam merumuskan apa yang baik dan penting bagi kita semua. Pembangunan
didefinisikan sebagai proses kolektif yang melibatkan secara luas seluruh
komponen rakyat untuk merealisasikannya melalui jalur intervensi politik.
Dengan demikian, upaya memasung intervensi politik rakyat, seperti memasung
hak rakyat untuk memilih pemimpinnya, apalagi ketika partai politik tidak
lebih menjadi sarang bagi operasi politik kaum oligarkhi, maka itu adalah
bagian inheren dari upaya perampasan kemerdekaan politik rakyat itu sendiri.
Tindakan politik seperti itu haruslah dilawan sekeras-kerasnya oleh rakyat
Indonesia yang menghendaki keterlibatan dalam proses pembangunan
ekonomi-politik sebagai perwujudan asasi dari kemerdekaan politiknya.
Sebuah
aksi politik memalukan telah dilakukan oleh para politisi dalam drama politik
Indonesia paska pilpres 2014. Aksi politik memalukan itu muncul dalam bentuk
perampasan kemerdekaan politik dari tiap-tiap orang Indonesia untuk terlibat
dalam proses politik keseharian mereka, melalui pencabutan hak memilih kepala
daerah secara langsung oleh rakyat. Dengan dalih bahwa pilihan pilkada oleh
DPRD lebih sejalan dengan semangat demokrasi Pancasila, mereka memberangus
hak politik rakyat. Bagi beberapa orang, klaim politik bahwa tindakan para
elite politik ini sebagai maneuver politik yang memalukan, bahkan sebagai
salah satu bentuk telanjang dari upaya menarik kebelakang capaian-capaian
politik berdemokrasi untuk kembali ke era otoritarinisme Orde Baru, dipandang
sebagai sebuah tuduhan yang berlebihan.
Tulisan
ini adalah sebuah bentuk seruan bagi segenap rakyat Indonesia untuk bersatu,
bangkit dan melawan terhadap manuver politik dari sebagian elite oligarkis
untuk membalikkan arah demokrasi dan dengan mengelaborasi soal:
Pertama,
apa yang telah dirampas oleh elite politik kita dan mengapa kita harus melawan
secara politik ketika hak kita dirampas terkait dengan polemik RUU Pilkada.
Kedua, pemahaman atas kenyataan empirik tentang konstelasi ekonomi-politik
Indonesia pasca-otoritarianisme yang menempatkan pilkada langsung oleh rakyat
sebagai salah satu sarana bagi usaha memajukan kualitas demokrasi kita.
Penghampiran atas konstelasi pertarungan kekuasaan yang spesifik di Indonesia
ini akan menjawab mengapa kita tidak bisa menimbang persoalan lintasan
perjalanan pelembagaan demokrasi di Indonesia, hanya dengan membandingkan
dengan perjalanan kelembagaan demokrasi di Indonesia dengan perjalanan
kelembagaan demokrasi di negara lain. Pemaknaan lebih dalam terhadap realitas
politik juga harus mengkalkulasikan bagaimana pertarungan kuasa yang spesifik
berlangsung di tiap-tiap negara.
Ketiga,
seruan politik ini juga akan menjawab posisi politik saya bahwa penggunaan
dalih demokrasi Pancasila untuk membenarkan argumen para pengusung Pilkada
oleh DPRD sebagai bentuk dari manipulasi atas tafsir Pancasila seperti yang
biasa dilakukan oleh para neo-orbais fans club selama ini. Keempat, tulisan
ini akan diakhiri dengan sebuah pemetaan sekilas tentang pertarungan politik
terkini paska pilpres di antara dua gelombang besar kekuatan politik, yaitu
antara faksi kekuatan oligarkis versus kekuatan kerakyatan dan seruan untuk
bersatu, berani dan melawan bagi kekuatan politik yang bersetia untuk
memajukan demokrasi di Indonesia.
Mengapa Kita Harus Melawan Ketika
Hak Kita Dirampas
Beberapa
perkembangan berita yang telah dilansir mengabarkan kepada kita bahwa upaya
untuk mengubah regulasi Pilkada dari langsung dipilih rakyat menuju tidak
langsung dipilih oleh anggota dewan, hanyalah satu langkah politik yang akan
dilakukan oleh faksi kekuatan politik yang berhimpun di Koalisi Merah Putih
(KMP). Manuver ini kemudian akan diikuti dengan manuver politik lainnya,
yakni mengubah system pemilihan presiden
dari Pilpres langsung oleh rakyat menuju Pilpres oleh MPR-RI, dan kemudian
dipungkasi dengan pemasungan kewenangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Sulit untuk menepis dugaan bahwa serentetan aksi politik yang akan
dilakukan oleh faksi oligarkis KMP ini tidak diperuntukkan untuk menata
kebaikan publik, melainkan untuk mempertahankan kepentingan ekonomi-politik
mereka setelah kalah dalam Pilpres 2014.
Tak bisa
diingkari bahwa kekalahan faksi oligarkis KMP yang mengusung duet PRAHARA
(Prabowo-Hatta Rajasa) melawan kekuatan politik yang terhimpun dalam aliansi
politik Jokowi-JK (yang terdiri atas faksi oligarkis lainnya yang
berkonstetasi diinternal mereka dengan kekuatan politik akar-rumput), telah
mendorong faksi oligarkis PRAHARA untuk memangkas hak dan kemerdekaan politik
rakyat secara keseluruhan guna mempertahankan kepentingan politik mereka.
Rakyatlah secara keseluruhan yang dihukum kedaulatan politiknya (hak pilih)
melalui manuver-manuver faksi oligarkis PRAHARA, karena pada pilpres 2014
lalu suara mayoritas rakyat lebih memilih Jokowi dan bukan Prabowo! Rakyat
dihukum oleh faksi politik PRAHARA karena mayoritas rakyat memilih Jokowi!
Bagaimanapun,
drama politik yang memalukan ini bukanlah hal yang khas Indonesia. Riwayat
perjuangan menegakkan demokrasi dalam sejarah dunia menempatkan pertarungan
mempertahankan dan memperluas hak pilih universal sebagai dasar dari perjungan politik demokrasi. Seperti diutarakan
jurnalis dan aktivis gerakan buruh Inggris Paul Foot (2005) dalam karya
pamungkasnya The Vote, dalam
perspektif sejarah dari bawah (history
from below) riwayat panjang demokrasi, selalu merupakan ekspresi
pertarungan antara rakyat melawan oligarki. Di Inggris, pertarungan terjadi
antara kaum aristokratik berhadapan dengan aliansi kelompok perwira progresif
Cromwell dan gerakan akar rumput dalam mengubah karakter parlemen (house of common); Revolusi Prancis
yang menghadapkan kaum konservatif dan kaum pemilik modal versus kaum
demokrat radikal dan kelompok sosialis (kaum Jacobin), diikuti dengan
benturan argumen intelektual yang mengikutinya antara intelektual progresif
Thomas Paine melalui karyanya The Right
of Man dengan kubu konservatif melalui juru bicaranya Edmund Burke
melalui karyanya Reflections on The
Revolution in France. Sejarah pergesekan memperluas dan membatasi hak
pilih ini terus berlangsung juga pada sejarah demokrasi di Amerika Serikat
sampai awal abad ke-20. Didalamnya terletak perjuangan untuk menegakkan dan
memperluas hak pilih bagi kaum buruh, petani, kaum miskin dan perempuan dan
kaum progresif melawan kaum aristokratik, borjuasi kelas atas, kaum feudal
pemilik tanah dan kelas politik dominan untuk membatasinya.
Pertarungan
sosial memperjuangkan hak pilih bukanlah soal membela kebebasan individu
versus menolak kebebasan individu. Didalam perjuangan menegakkan hak pilih
universal, kaum-kaum pinggiran, miskin dan perempuan tadi berhimpun bersama
secara politis untuk memperjuangkan kebutuhan material mereka dengan membuka
akses politik yang lebih luas melalui perluasan hak pilih untuk mencapai
kesetaraan dan keadilan politik. Sementara kelompok-kelompok borjuasi kelas
atas, kaum feudal dan aristokratik utama memperjuangkan kepentingan atas hak
milik mereka dengan cara membatasi akses politik hak pilih dalam demokrasi
hanya di kalangan mereka saja.
Dari
fakta sejarah di atas dapat kita simpulkan, adalah naif tudingan yang
menyatakan bahwa perjuangan untuk memperluas hak pilih adalah monopoli dari
kaum liberalis yang menjunjung tinggi kebebasan individu. Sebaliknya,
perjuangan memperluas hak pilih adalah perjuangan kolektif kekuatan sosial
progresif untuk membangun kesetaraan ekonomi-politik dan memajukan pencapaian
hajat hidup mereka melalui intervensi dalam proses-proses politik. Dalam
sejarah revolusi demokrasi di tingkat dunia, seperti diuraikan oleh
sejarahwan progresif asal Inggris Eric Hobsbawm dalam karyanya The Age of Revolution 1789-1848
(2000), kekuatan-kekuatan sosial yang paling maju dan radikal dalam
memperjuangkan perluasan demokrasi, salah satunya ditempuh melalui perjuangan
untuk memperluas hak pilih, dalam fakta sejarahnya diinisiasi oleh kaum
demokrat sosialis dan demokrat republik. Mereka berangkat dari perjuangan
perluasan hak pilih sebagai langkah awal untuk memperjuangkan kemajuan
ekonomi politik dan memperjuangkan kesetaraan antara kelas-kelas sosial dalam
tatanan ekonomi-politik.
Mengapa
kita sebagai warganegara harus melawan ketika hak pilih kita yang telah
dirampas melalui perubahan UU Pilkada dan apa yang hilang ketika hak pilih
itu dirampas? Menjawab pertanyaan ini haruslah dimulai dari pemahaman tentang
bagaimana aliansi elite oligarkis beradaptasi dengan situasi politik
Indonesia pasca-otoritarianisme. Perkembangan politik terkini yang
mempertautkan dinamika demokrasi lokal dan hiruk-pikuk politik nasional
memperlihatkan bahwa proses adaptasi faksi-faksi oligarki politik Indonesia
dalam mengantisipasi dinamika pelembagaan politik demokrasi tidaklah
berlangsung secara mulus. Dibukanya kran institusi politik demokrasi lokal
dengan hadirnya regulasi pilkada langsung membuat oligarki politik yang
bersarang di partai politik harus beradaptasi dengan lingkungan sosial
sekitarnya, yakni rakyat, untuk mempertahankan kepentingannya dan kuasa
memanfaatkan alokasi sumber daya publik. Sebagian kecil dari proses-proses
politik yang tengah berlangsung, menghasilkan konsekwensi politik yang tidak
mereka sangka (political unintended
consequences), baik dalam dinamika politik lokal maupun nasional.
Pilkada
langsung jelas menghasilkan perubahan karakter politik yang berbeda dengan
proses-proses politik sebelumnya, ketika kepala daerah yang dipilih oleh DPRD
hanya menghasilkan pilihan-pilihan kepala daerah sesuai dengan negosiasi dan
preferensi politik dari ketua parpol. Di beberapa kasus pilkada langsung,
muncul agensi-agensi politik popular yang mengganggu konsolidasi politik
oligarkis, meskipun di banyak kasus lainnya masih memperlihatkan terjadinya
persenyawaan mulus antara elite kepala daerah dan elite politik legislative
dan partai politik dalam operasi predatorisme politik-bisnis.
Satu hal
yang patut diapresiasi, melalui momen pilkada langsung telah membuka ruang
kesempatan bagi rakyat untuk terlibat dalam proses politik: mulai dari proses
kandidasi kepala daerah, proses kampanye kontestasi kepala daerah hingga
proses pembangunan lokal yang berlangsung pasca pilkada. Secara konkret dapat
kita definisikan bahwa momen pilkada langsung menjadi pintu politik pembuka
ketika rakyat tidak lagi menjadi obyek yang pasif namun menjadi subyek yang
aktif terlibat dalam proses politik yang dimulai dengan menggunakan hak suara
mereka. Melalui pelembagaan pilkada langsung, maka kandidat kepala daerah
tidak hanya secara sepihak ditentukan oleh elite-elite politik partai yang
beroperasi di parlemen, melainkan partai politik harus mendengar dan
mempertimbangkan preferensi rakyat untuk menentukan siapa yang akan diusung
menjadi kandidat kepala daerah.
Dalam
riset yang pernah penulis lakukan di beberapa tempat, seperti Surabaya, elite
partai politik suka tidak suka harus memilih tokoh di luar partainya namun
memiliki popularitas baik di tingkat publik, alih-alih mengusung kader di
internal partai politik. Kekuatan oligarki partai politik, dengan demikian,
dipaksa untuk melibatkan preferensi publik, pilihan rakyat untuk menyalonkan
kandidat kepala daerah dalam momen pilkada langsung. Ruang politik seperti
ini membuka intervensi politik warganegara dalam proses politik, yang akan
tertutup kembali menjadi hanya sekedar persekongkolan sempit di antara
elite-elite lokal predator beserta kroninya melalui pilkada oleh DPRD.
Prosesi
Pilkada langsung oleh rakyat dalam tahap kampanye, juga memberi kemajuan
berarti dilihat dari capaian politik akar rumput dan lintasan politik dari
bawah. Pilkada langsung bukan saja diisi oleh gambaran karikatural tentang
konsultan politik yang mendapat untung besar, orang kuat lokal (local
strongmen) yang mendapat uang dari pilkada langsung maupun para pengusaha
sablon kaos dan spanduk saja. Salah satu capaian positif penting dalam
pilkada langsung adalah proses politik ini tidak menjadi ruang kosong dari
intervensi asosiasi-asosiasi kewargaan, NGO, aspirasi gerakan sosial akar
rumput untuk memajukan kebutuhan aspirasinya yang harus diakomodasi atau
dipertimbangkan oleh kandidat terpilih. Pilkada langsung dengan segenap
kelemahan dan cacat politiknya, telah memberi ruang bagi kekuatan sosial
progresif yang ingin memajukan proses politik demokrasi untuk kebaikan
khalayak publik yang lebih luas, mendapatkan kesempatan untuk menantang
kekuatan politik oligarkis dan jejaring politik patronase politik yang
menjalar sampai ke bawah. Melalui pilkada langsung, kekuatan sosial kewargaan
memiliki ruang dan kesempatan mendesakkan agenda-agenda publik mereka dalam
arus utama politik lokal.
Dalam
perkembangan politik kewargaan ketika prosesi pilkada langsung digelar, kita
menyaksikan munculnya istilah baru yang menandai perkembangan progresif dari
arus demokrasi lokal kita yaitu ‘kontrak politik’. Dengan seruan publik untuk
membangun kontrak politik antara warga dan kandidat kepala daerah,
warganegara dapat memajukan agenda-agenda mereka, setidaknya kebutuhan
tersebut mulai terkespos sebagai sebuah perhatian bersama. Kalangan buruh
bisa memajukan kebutuhan mereka agar kepala daerah berani menaikkan Upah
Minimum Regional (UMR), kaum petani miskin bisa mengajukan kebutuhan konkret
mereka di sektor pertanian, masyarakat luas bisa menuntut fasilitas publik
dan tersedianya layanan pendidikan dan kesehatan murah, kaum perempuan bisa
menuntut agenda-agenda yang terkait dengan kebutuhan spesifik mereka dalam
mendobrak tatanan patriarkhi, dan kaum yang memiliki perhatian terhadap
pluralisme dan kesetaraan bisa menyuarakan aspirasi mereka dihadapan kandidat
kepala daerah.
Melalui
berbagai tuntutan yang mengemuka kehadapan publik, maka segenap proses-proses
di atas dapat menjadi acuan publik untuk menilai dan melakukan kontrol publik
atas berjalannya pemerintahan. Melalui tampilnya agensi-agensi popular yang
menjadi kepala daerah melalui pilkada langsung, ada di antara mereka yang
berani menghadapi persekongkolan politik oligarki, seperti menolak rancangan
tol di dalam kota ketika hal itu merugikan kepentingan rakyat banyak, melawan
kesepakatan predatoris antar partai dalam rangka pencarian rente dalam
berbagai regulasi daerah, seperti dalam kasus pajak reklame maupun berbagai bentuk-bentuk
perlawanan terhadap konsolidasi oligarki lainnya.
Gambaran
positif yang telah ditampilkan ruang politik lokal diatas tidak berarti bahwa
momen politik pilkada langsung telah menghasilkan musim semi demokrasi,
mengingat gambaran besar dari realitas politik pilkada langsung masih
menghasilkan praktek politik koruptif, pemimpin yang tidak aspiratif dan
aspirasi-aspirasi fanatisisime populis yang menyebar. Adalah benar bahwa
pelembagaan prosesi pilkada langsung bukanlah penentu utama dan satu-satunya
dalam mendorong kemajuan politik lokal dan nasional, semenjak tatanan politik
lokal dan nasional masih dikuasai oleh kekuatan predator oligarki
bisnis-politik dan masih lemahnya basis politik yang memadai bagi hadirnya
gerakan sosial maupun politik progresif di Indonesia. Namun demikian, melalui
regulasi yang mewadahi pilkada langsung, terbuka ruang politik bagi kekuatan
sosial progresif dan kelompok-kelompok sosial yang memiliki komitmen untuk
memajukan capaian demokrasi dan pembangunan untuk memperkuat basis sosial
mereka, mengintervensi ruang politik dan membangun ruang counter hegemony
untuk menantang aliansi kelas dominan yang berkuasa di Indonesia.
Selain
itu, argumen yang membenarkan perubahan pilkada dari langsung menuju
pemilihan tidak langsung melalui DPRD, dibangun dengan alasan untuk mereduksi
tendensi money politics. Terkait dengan persoalan money politics, temuan dari
riset penulis dalam konteks pertarungan politik di tingkat lokal menyebutkan,
pusat perputaran politik uang yang besar dalam pilkada lokal bukanlah pada
penyelenggaraan pilkada itu sendiri. Pemilihan kepala daerah menjadi prosesi
politik yang padat money politics lebih disebabkan oleh permintaan mahar
politik dari partai-partai politik dan praktik-praktik serangan fajar maupun
bentuk-bentuk manipulasi dan distorsi politik yang berlangsung di seputar
mereka.
Dari
penjelasan di atas, sebetulnya pusat utama dari praktek money politics di
Indonesia terletak di aktivitas operasi politik yang dijalankan oleh partai.
Mengalihkan model pemilihan dari langsung menuju pemilihan tidak langsung,
tidak menyelesaikan persoalan money
politics dalam pilkada. Sementara itu, satu konsekwensi yang tidak
terbayangkan oleh mereka yang mempromosikan pilkada oleh DPRD adalah dengan
kisaran dana yang lebih besar yang didapat oleh anggota DPRD ketika memilih
kepala daerah secara tidak langsung, maka pemilihan legislatif menjadi ajang
yang sarat dengan politik uang, dimana kesempatan untuk terpilih lebih banyak
diperoleh oleh mereka yang memiliki modal besar, karena perhitungan atas
insentif yang akan didapatkan oleh anggota legislatif terpilih ketika memilih
kepala daerah.
Dengan demikian menjadi jelaslah jawaban atas pertanyaan di atas, yang
menjadi perhatian kita bersama yakni, ‘mengapa kita harus melawan ketika hak
kita untuk memilih pemimpin lokal dirampas oleh faksi oligarkis KMP?’
Jawabannya adalah bahwa kesempatan kita sebagai warganegara untuk
mengintervensi ruang politik dan harapan bersama kita untuk memajukan
kebutuhan dan agenda-agenda publik keseharian kita dengan terlibat dalam
penentuan kepala daerah telah dikebiri. Suara kita dipasung dan dirampas agar
kita, segenap lapisan kekuatan rakyat, tidak lagi merepotkan mereka,
faksi-faksi politik oligarki, dalam rangka menguasai sumber-sumber daya
publik dan kebijakan politik bagi kepentingan terbatas kekuatan sosial yang
berhimpun di sekitar mereka sendiri. Inisiatif politik untuk mengubah
pemilihan kepala daerah tidak hanya persoalan kontestasi terbatas antara
pendukung Prabowo-Hatta dan Jokowi—JK, tapi menjadi manuver politik
sistematik untuk mengalienasi warga dari proses-proses politik untuk ikut
memperjuangkan kebutuhan dan aspirasi kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar