Selasa, 14 Oktober 2014

Kerja Literasi dan Pesan Bakdi Soemanto (1941-2014)

                                          Kerja Literasi dan Pesan

Bakdi Soemanto (1941-2014)
Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS,  13 Oktober 2014

                                                                                                                       


BERMULA dari puisi, Christoporus Soebakdi Soemanto (29 Oktober 1941–11 Oktober 2014) mengajak kita merenungi diri dan kehidupan. Puisi berjudul Gelas (1980) memberi pesan: Terlalu terbatas mata kita/ buat menatap dan mengerti/ yang paling sejati. Kini, Bakdi Soemanto telah menutup mata, meninggalkan dunia sini bergerak ke ’’dunia sana’’. Almarhum bakal menatap kesejatian setelah menjalani hidup dengan pelbagai pengabdian dengan ekspresi puisi, teater, cerpen, dan esai. Profesi Bakdi Soemanto adalah dosen atau akademisi, berperan sebagai penabur ilmu dan merangsang selebrasi literasi.

Di jagat akademik, Bakdi Soemanto adalah profesor dan doktor. Titel itu berbeda dengan kesadaran berbagi kata dan makna melalui kerja literasi. Di kalangan teater dan sastra, Bakdi Soemanto adalah tokoh tekun dalam penggembalaan kata-kata. Hidup bergelimang kata. Persembahan puisi, cerpen, dan esai bermisi ke pembentukan diri beradab, mengacu ke renungan kesejatian melalui pesan dan perlambang. Bersastra dan berteater adalah laku keutamaan, penggenapan dari peran-peran akademik dan keseharian. Bakdi Soemanto memang telah menutup mata, tapi mewariskan ratusan tulisan bagi mata pembaca, dari masa ke masa.

Pewarisan buku menjadi bukti kerja literasi atau agenda semaian berperadaban dengan kata dan makna. Kita mewarisi buku Angan-Angan Budaya Jawa (1999), Jagat Teater (2001), Godot di Amerika dan Indonesia: Suatu Studi Banding (2002), Bibir (2002), Doktor Plimin (2002), Rendra: Karya dan Dunianya (2003), Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2006), Belajar Bela Rasa (2011), dan Taar di Bulan Hujan (2014). Di Indonesia, mewariskan buku-buku ibarat pengabdian tak usai meski usia telah berakhir. Buku-buku selalu mengajak kita mengenang almarhum. Membaca dan memberi tafsir adalah bentuk penghormatan. Dulu, Bakdi Soemanto dalam puisi berjudul Tikar (1984) mengisahkan ironi nasib tikar: Kita siap dibakar/ dan tidak tercatat dalam sejarah. Bakdi Soemanto dengan buku pantas mengganti bait itu menjadi: Kita siap dibaca/ dan tercatat dalam sejarah. Buku membuat biografi dan sejarah terus bergerak sampai ke pembaca terakhir saat zaman akhir.

Bakdi Soemanto lahir dan bertumbuh di Solo. Setelah lulus SMA, Bakdi Soemanto melanjutkan kuliah ke UGM, memasuki dunia ilmu pengetahuan dan seni. Di Jogjakarta, Bakdi Soemanto perlahan menjadi penulis ampuh. Kehidupan bersama kalangan akademik dan seniman semakin menguatkan kemauan menekuni kerja literasi, merambah ke pelbagai ekspresi seni. Basis keilmuan pun dipertaruhkan dengan garapan disertasi mengenai naskah Waiting for Godot (Samuel Beckett). Bakdi Soemanto tampil sebagai doktor teater, sosok langka di dunia akademik Indonesia. Bakdi Soemanto hadir di Solo (25 September 2014) untuk berceramah mengenai Waiting for Godot dalam Mimbar Teater Indonesia IV tetap mengabarkan makna teater.

Kita cenderung mengenali Bakdi Soemanto adalah sastrawan. Pengabdian di jagat sastra dimulai puluhan tahun silam. Barangkali latar keluarga memberi pengaruh gairah berkesenian. Bakdi Soemanto lahir dari keluarga aristokrat di Solo, kota dengan kesejarahan seni selama ratusan tahun. Kesadaran bersastra memunculkan konklusi: ’’Sastra bukan rumus fisika, tetapi ia adalah ungkapan kemanusiaan, mengandung jutaan kemungkinan.’’ Bakdi Soemanto berguru pada sastrawan-sastrawan kondang. Para tokoh memberi pesona agar pematangan bersastra terus dijalani meski usia bakal terus menua. Buku kumpulan cerpen dan penulisan buku biografi sastrawan menerangkan kemauan menghadirkan sastra ke publik.

Cerpen tak cuma cerita. Bakdi Soemanto menggarap dan mempersembahkan cerpen untuk bertaruh makna dan kontekstualisasi kehidupan. Sindiran dan pesan dalam cerpen Doktor Plimin (1978) bisa menjadi representasi kepekaan tematik. Bakdi Soemanto berkisah lakon pendidikan, memunculkan tokoh-tokoh ironis berlatar modernisasi di Indonesia. Kota-kota di Indonesia mengalami perubahan karena nalar pembangunanisme. Kota memancarkan ilusi-ilusi. Keberadaan institusi-institusi pendidikan di kota turut mengalami ambiguitas. Para murid dan mahasiswa memang bersekolah dan berkuliah demi mengangankan nasib. Mereka cenderung tergoda alat transportasi modern agar tampil mentereng saat ke sekolah atau kampus. Masa 1970-an, Bakdi Soemanto melihat ada kecanduan sepeda motor di kalangan siswa dan mahasiswa. Mereka mau belajar jika memiliki sepeda motor.

Pesan kritis diajukan melalui perspektif tokoh bernama Doktor Plimin: ’’… ia memuji datangnya motor di negerinya. Motor akan mempersingkat perjalanan. Siswa dan mahasiswa akan bisa menggunakan sisa waktu yang semula habis di jalan untuk belajar lebih suntuk.’’ Kebanggaan diungkapkan berdalih kesuksesan pembangunan di Indonesia. Sepeda motor menjadi lambang kemodernan, kecepatan, pertumbuhan ekonomi, dan kehormatan. Setelah memberi sanjungan, kritik pun diajukan secara kalem: ’’Tetapi apakah dengan kendaraan bermotor siswa dan mahasiswa lantas berprestasi lebih tinggi.’’ Sepeda motor tak menjamin orang menjadi pintar. Di Indonesia, sekolah dan kampus dipenuhi sepeda motor dan mobil. Lahan parkir selalu penuh. Jalanan pun dipaksa menjadi tempat parkir. Di sekolah dan kampus, jutaan orang berpredikat siswa dan mahasiswa tampak sedang ’’memarkir diri’’ tanpa ada kepastian bermisi ilmu dan peradaban.

Cerpen bisa mengabarkan zaman buruk. Bakdi Soemanto dalam cerpen berjudul Tart di Bulan Hujan (2011) memuat sindiran-sindiran telak atas situasi Indonesia. Roti untuk ulang tahun adalah santapan lazim di Indonesia, menggantikan tradisi lawas. Si tokoh bernama Uncok dengan sinis berkata bahwa roti mewah adalah ’’makanan menteri, bupati, wali kota, serta para koruptor’’. Di ujung kalimat, kita menemukan kemarahan pada koruptor. Roti menjadi sasaran permusuhan pada koruptor. Istri Uncok nekat membeli roti berharga mahal demi selebrasi ulang tahun bertabur kasih. Uncok malah melanjutkan kritik berkaitan uang untuk membeli roti dan wabah korupsi: ’’Kita memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR nyolong semua.’’ Korupsi telanjur merusak suasana hidup, memicu lara dan luka publik. Emosionalitas Uncok sengaja ditampilkan untuk menguak korupsi di Indonesia.

Bakdi Soemanto telah pergi meninggalkan kita dengan warisan-warisan pesan. Kita bakal mengenang, berbekal tulisan-tulisan mengenali Bakdi Soemanto dan mengerti Indonesia. Kematian mungkin disambut air mata. Kita melanjutkan dengan sambutan ’’air kata’’, mengaliri Indonesia dengan puisi, cerpen, dan esai. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar