Selasa, 14 Oktober 2014

Jokowi tanpa Remote Control

                                   Jokowi tanpa Remote Control

Taufik Lamade  ;   Wartawan Jawa Pos, Direktur Jawa Pos Radar Bromo
JAWA POS,  13 Oktober 2014

                                                                                                                       


SEJATINYA Jokowi tidak mempunyai modal amat besar untuk menjalankan roda pemerintahan. Seharusnya kekuasaan presiden begitu besar karena kita menganut sistem presidensial. Dalam menentukan menteri, misalnya, semuanya adalah hak mutlak presiden. Tapi, apakah Jokowi yang terpilih secara langsung itu mampu menjalankan ide-ide orisinalnya.

Untuk mengukur ruang gerak atau menakar modal politik Jokowi, paling tidak kita melihat tiga simpul politik penting. Pertama, kekuatan parpol yang mendukung. Kedua, peta politik di parlemen.Ketiga, dukungan rakyat.

Pertama, soal dukungan parpol pendukung, posisi Jokowi tidak terlalu kuat. Dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), Jokowi bukan yang terbesar. Masih ada orang kuat di belakang layar, yakni Megawati sebagai ketua umum PDIP, partai utama atau tulang punggung KIH. Tingginya posisi Mega dapat terbaca ketika Mega akan bertemu dengan SBY, mengutus Jokowi sebagai pendahulu. Pertemuan gagal karena SBY ingin bertemu ”queen”.

Jokowi bukan ketua umum atau penguasa parpol saat berkuasa nanti. Beda dengan Presiden Soekarno yang mengendalikan PNI; Soeharto yang menjadi ketua Dewan Pembina Golkar, yang kekuasaannya unlimited; Presiden Habibie juga ketua harian Dewan Pembina Golkar. Lantas, Presiden Gus Dur merangkap ketua Dewan Syura PKB. Mega saat menjadi presiden juga menjabat Ketum PDIP. SBY saat berkuasa juga ”pemilik” Demokrat.

Semua presiden sebelumnya cukup memegang remote control untuk menggerakkan elemen parpol yang dipimpinnya. Baik untuk menggerakkan massa pendukung atau perpanjangan tangannya di parlemen. Sehingga para presiden pendahulu itu mempunyai kekuatan untuk melakukan mobilisasi dan mengimbangi manuver lawan politik. Jokowi? Untuk menggerakkan elemen parpol,dia harus menghadap ke meja ketua umum parpol pendukungnya.

Beratnya langkah Jokowi menghadapi parpol pendukung sudah terlihat saat gagalnya rencana mewujudkan semangat membentuk kabinet tanpa pengaruh parpol. Realitasnya, Jokowi harus memberi kavling kabinet kepada seluruh partai pendukung, berbeda jauh dengan keinginan orisinal mantan walikota Solo itu yang menyebut tanpa deal dengan parpol pendukung.

Kedua, soal peta politik parlemen. Sebenarnya itu tak perlu diulas panjang lebar. Sebab, kenyataannya, untuk sementara kubu Jokowi-JK babak belur di parlemen. Tiga kali voting, yakni UU Pilkada, pemilihan paket pimpinan DPR, dan pemilihan paket pimpinan MPR, kubu KIH menderita kekalahan. Artinya, Jokowi dan JK akan menghadapi tantangan besar bila tak mampu merombak peta politik parlemen yang dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori Prabowo Subianto.

Padahal, seperti kita ketahui, secara konstitusi pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen. Baik dalam menentukan anggaran maupun dalam persetujuan UU (legislasi). Parlemen juga mempunyai hak konstitusi yang melekat dalam pengawasan, misalnya hak angket dan hak menyatakan pendapat.

Ketiga, soal kekuatan rakyat. Jokowi dan gerbongnya mungkin merasa bahwa benteng penting mereka adalah rakyat. Wajar karena pasangan Jokowi-JK terpilih lewat pilkada langsung. Tapi, bila dibandingkan dengan perolehan SBY dalam dua pilpres langsung sebelumnya, yang diperoleh Jokowi-JK masih kalah.

Dalam Pilpres 2004, SBY yang saat itu berpasangan dengan JK meraih 60,62 persen suara. Sementara dalam Pilpres 2009, raihan suara SBY yang berpasangan dengan Boediono lebih besar lagi, yakni 60,8 persen. Hebatnya lagi,Pilpres 2009 diikuti tiga pasangan dan SBY-Boediono menyelesaikan dengan satu putaran. Bandingkan dengan perolehan suara Jokowi-JK yang sebesar 53,15 persen.

Artinya, kalau kita membaca raihan suara itu, kemenangan Jokowi tidak besar amat (selisih tidak besar). Kalau kubu Jokowi mengandalkan pengelolaan suara rakyat sebagai ”benteng” politik, berpotensi besar menimbulkan konflik horizontal. Tanda itu sudah terbaca saat demo menjelang sidang MK atau perang polemik di media sosial. Intinya, dukungan publik untuk kursi presiden Jokowi tak setenang saat dia menjabat walikota Solo, yang mampu meraih suara 90,09 persen dalam pilwali.

Selain tiga elemen penting itu (dukungan partai pendukung, peta parlemen, dan dukungan rakyat), sebenarnya ada dua lagi elemen yang perlu dicermati dalam melihat posisi politik Jokowi di kursi presiden. Yakni, posisi militer dan ”manuver”Wapres.      

Mengapa mencermati militer? Bukankah TNI sudah profesional dan tak berpolitik lagi? Bukankah presiden merangkap panglima tertinggi TNI? Iya, memang benar, secara institusi loyalitas TNI sudah tak bisa diragukan. Tapi, bagaimanapun, militer tetap elemen penting yang sangat menentukan. Kalau tidak bisa mengelola dengan baik, Jokowi akan menemui kesulitan. SBY sukses, buktinya mendapat kado istimewa pada HUT TNI yang dirayakan 7 Oktober lalu. Di akhir jabatan SBY, TNI mengadakan perayaan yang sangat meriah di Surabaya, perayaan terbesar sepanjang sejarah.

Bagaimana faktor Wapres? Bukankah Wapres juga subordinasi presiden? Semua kekuasaan dan otoritas ada di tangan presiden. Wapres hanya bekerja berdasar perintah presiden. Iya memang. Tapi, JK yang menjadi pendamping Jokowi adalah tipikal tokoh yang bisa berlari kencang. Bukan tipikal Wapres ban serep. Itu sudah terbukti di era SBY-JK yang memunculkan pamor antara presiden dan Wapres seimbang. Apakah nanti juga memunculkan matahari kembar?

Semua berpulang kepada Jokowi sendiri. Bergantung seberapa jauh dia mengelola simpul-simpul politik itu. Kalau mampu mengelola dengan baik untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, tentu dia akan menjadi presiden hebat yang disanjung publik. Bila tidak, mungkin hanya akan menjadi petugas partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar