Hilirisasi
Mineral Tembaga
Zaki Mubarok ; Dosen dan Ketua Program Studi Teknik Metalurgi, ITB
|
KOMPAS,
01 Oktober 2014
AKHIR Juli 2014, PT Freeport Indonesia telah mendapatkan surat
persetujuan ekspor konsentrat tembaga setelah menandatangani MOU dengan
pemerintah.
Selanjutnya, melalui Persetujuan Menteri Keuangan, pertengahan Agustus
2014 PT Freeport Indonesia (FI) boleh mengekspor kembali konsentrat tembaga
yang berhenti sejak 12 Januari 2014 dengan bea keluar 7,5 persen dari harga
pokok ekspor (HPE) konsentrat tembaga.
Surat persetujuan ekspor diberikan setelah PT FI bersedia memenuhi
beberapa persyaratan, yaitu kesediaan membayar kenaikan royalti tembaga,
emas, dan perak kepada negara sesuai dengan Peraturan Pemerintah (Permen)
Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Di situ ada
ketentuan royalti tembaga 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak 3,25 persen,
penciutan luas wilayah penambangan, kesediaan membangun fasilitas pengolahan
dan pemurnian konsentrat tembaga (smelter) serta kesediaan menempatkan
jaminan kesungguhan pembangunan smelter dengan nilai 115 juta dollar AS.
Tingkatkan
nilai tambah
Kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan
nilai tambah produk tambang dan pengembangan industri hilir adalah amanat UU
No 4/2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Komoditas
mineral tembaga (di dalamnya terkandung emas dan perak) merupakan komoditas
mineral utama di Indonesia selain nikel, bauksit, timah, dan emas.
Permasalahan pertama terkait hilirisasi mineral tembaga adalah Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). Dalam proses peleburan dan pemurnian konsentrat
tembaga menjadi tembaga logam, dihasilkan produk lain, yaitu lumpur anoda
(anode slime). Dalam lumpur anoda (khususnya konsentrat PT FI dan PT NNT)
terkandung emas dan perak, timbal dan logam-logam selenium, serta platina dan
paladium. Sesuai Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014, lumpur anoda juga harus
dimurnikan sehingga dihasilkan logam-logam emas, perak, selenium, platina,
dan paladium dalam negeri.
Selama ini, PT Smelting Gresik, satu-satunya pabrik peleburan dan
pemurnian tembaga di Indonesia, mengekspor lumpur anoda ke Jepang. Hingga
saat ini PT Smelting juga masih berkesempatan mengekspor lumpur anoda dengan
syarat melaporkan kemajuan pembangunan pabrik pemurnian lumpur anoda ini
kepada pemerintah. PT Smelting sedang bernegosiasi dengan PT Antam untuk
bekerja sama mengolah dan memurnikan lumpur anoda.
Pembangunan smelter tembaga baru dari konsentrat PT FI dan PT NNT juga
harus diikuti pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian lumpur anoda. Apa
hubungannya dengan PPN?
Sebagaimana diatur UU No 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Pasal 4A), emas batangan
tidak dikenai PPN. Saat PT Smelting mengekspor lumpur anoda, perusahaan ini
dapat merestitusi PPN-nya karena yang dijual adalah lumpur.
Saat lumpur anoda diproses menjadi logam emas dalam bentuk emas
batangan (seperti produk PT Antam), PT Smelting tidak dapat lagi mendapatkan
restitusi PPN karena produknya berupa emas batangan yang tidak dikenai PPN.
Saat PT Smelting membeli konsentrat tembaga ke PT FI dan PT NNT, PT Smelting
dikenai PPN sesuai kandungan emas dalam konsentrat tembaga itu. Nilai PPN 10 persen dari harga emas dalam
konsentrat tembaga ini cukup besar dan memengaruhi cashflow. Jika tidak dapat
direstitusi (lumpur anoda diproses menjadi logam emas di dalam negeri),
cashflow perusahaan akan bermasalah.
Jika perusahaan lain, misalnya PT Antam, ingin memproses lumpur anoda
itu dan membeli lumpur anoda dari PT Smelting (buying scheme), PT Antam juga
akan kesulitan apabila pembeliannya dikenai PPN dan tidak dapat direstitusi
saat produknya berupa emas batangan diekspor. Perlu dipahami, margin
keuntungan pabrik pemurnian lumpur anoda hanya 2-3 persen sehingga jika kena
PPN 10 persen, sudah tentu akan merugi (dengan kerugian 7-8 persen dari nilai
emas dalam lumpur anoda).
Dengan skema bisnis tolling, yaitu melalui jasa pengolahan dan
pemurnian, di mana pemilik lumpur anoda membayar biaya pengolahan dan
pemurnian (treatment charge-refining charge), memang perusahaan penyedia jasa
pemurnian lumpur anoda tidak terkena PPN, tetapi pabrik peleburan tembaga yang
menanggung bebannya karena saat produk dijual dalam bentuk emas, PPN tidak
bisa direstitusi. Berbeda kasusnya dengan jasa pemurnian dore bullion dari
kontrak karya (KK) tambang emas, di mana perusahaan-perusahaan tambang emas
ini tidak punya masalah PPN karena emas batangannya diekspor setelah
dimurnikan di Unit Pemurnian Logam Mulia, PT Antam dan perusahaan-perusahaan
KK emas ini dapat memperoleh kembali restitusi PPN-nya.
Alternatif
restitusi
Beberapa alternatif telah disarankan, mulai dari pemberlakuan PPN nol
persen terhadap emas batangan hasil proses pemurnian lumpur anoda,
pemberlakuan skema tolling di hulu, yaitu antara perusahaan tambang tembaga
dan smelter tembaga, hingga produksi emas dari lumpur anoda bukan dalam
bentuk emas batangan. Misalnya dalam bentuk granul sehingga PPN dapat
direstitusi saat produk diekspor.
Permasalahan PPN ini sebenarnya sudah diketahui dan sering dibahas
antara pelaku dan pelaku bisnis, yaitu Antam, PT Smelting, dan pemerintah
dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Sebagai orang yang terlibat di dalam pembahasan dengan pemerintah dan
pelaku usaha mengenai hilirisasi komoditas mineral dan pernah menjadi ketua
tim perumus percepatan hilirisasi mineral di Direktorat Jenderal Minerba-ESDM
tahun 2013, saya merasa perlu menuliskannya dengan harapan memberikan
resonansi yang lebih besar.
Selain permasalahan PPN untuk emas, tantangan lain pembangunan smelter
tembaga adalah pemanfaatan asam sulfat sebagai produk samping yang cukup
besar jumlahnya. Karena itu, harus direncanakan dengan baik pemanfaatannya
sebagaimana yang telah diterapkan PT Smelting dengan PT Petrokimia Gresik
sebagai bahan baku pupuk. Lokasi pabrik PT Smelting dipilih dekat PT
Petrokimia Gresik sehingga transportasi asam sulfat mudah dan murah
menggunakan jaringan pipa.
Diharapkan by product asam sulfat ini dapat memberikan tambahan revenue
smelter dan juga sekaligus mendukung industri strategis lain di dalam negeri,
seperti industri pupuk dan ekstraksi nikel. Alangkah ironisnya bila asam
sulfat ini diekspor ke luar negeri, sementara pabrik pupuk di Indonesia
membeli bahan baku sulfur dari luar negeri.
Tantangan berikutnya adalah pengembangan industri hilir di dalam negeri
yang dapat menyerap produk tembaga katoda dari smelter yang baru dibangun.
Konsumsi per kapita tembaga di dalam negeri masih kecil ketimbang Tiongkok,
Malaysia, dan Thailand yang sudah berada pada kisaran 5 kg per kapita pada
2012, sementara di dalam negeri baru sekitar 1,2 kg per kapita.
Kebutuhan logam tembaga di dalam negeri masih akan terus meningkat
dilihat dari koefisien elektrifikasi Indonesia yang masih 73 persen, di mana
energi listrik perlu media transmisi kabel dengan bahan baku utama tembaga.
Jika proyeksi konsumsi tembaga per kapita 5 kg pada 2025 terpenuhi, kebutuhan
pasokan tembaga di dalam negeri lebih kurang 1,37 juta ton (lebih dari 4 kali
kapasitas produksi smelter yang ada saat ini).
Hubungan antara industri hulu dan hilir ini harus dijaga, dikelola
dengan baik, dan ditingkatkan. Praktik-praktik tata niaga yang tak sehat dan
pungutan-pungutan ilegal pada jalur suplai bahan baku logam ke industri hilir
harus dibasmi sehingga industri hilir dapat tumbuh dengan baik dengan suplai
bahan baku tersedia di dalam negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar