Kamis, 02 Oktober 2014

Bahasa Jawa dan Identitas Politik

Bahasa Jawa dan Identitas Politik

Munawir Aziz  ;   Direktur the North Coast Center Staimafa Pati,
Alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
SUARA MERDEKA,  01 Oktober 2014

                                                                                                                       


PETA kontestasi antardaerah sekarang ini ditentukan oleh bagaimana identitas kultural diaktualisasikan ke ranah publik. Pola branding atas kota lebih memberi ruang bagi nilai-nilai lokal untuk diapresiasi publik, sebagai identitas khas ataupun komoditas.

Inilah yang terjadi dalam era virtual creativity ketika kreativitas diasumsikan sebagai bagian dari kemajuan teknologi yang mendorong kelahiran produk-produk kreatif manusia cerdas.

Pada titik inilah, kreativitas sumber daya lokal menentukan indeks prestasi, penghargaan ataupun income bagi tiap daerah. Selain itu, strategi branding atas sebuah nilai kultural tidak hanya atas nama negara namun tersebar menjadi bagian dari peningkatan kualitas kota.

Kota-kota semacam Bandung, Jakarta, Medan, Surabaya, dan Solo bersaing dengan kota-kota destinasi wisata internasional semisal Kuala Lumpur, Sidney, Amsterdam, Paris, dan Praha. Inilah yang kemudian mendorong perbaikan kota, dengan indikator perbaikan SDM, infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan.

Selain itu, pengembangan kota menuntun perbaikan infrastruktur ruang publik, semisal trotoar, taman, sanitasi, hingga area festival untuk warga. Untuk pengembangan taman; Jakarta, Bandung, dan Surabaya melakukan akselerasi kerja dengan menyulap ruang kumuh menjadi taman asri.

Jokowi-Ahok, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini menjadi pelopor hadirnya taman-taman kota yang menjadi ruang teduh bagi warga. Selain peningkatan kualitas infrastruktur, aktualisasi nilai-nilai kultural menjadi bagian dari kampanye menghadirkan kota yang lebih menghargai budaya.

Penghargaan atas tradisi, nilai-nilai budaya, dan eksotisme berbahasa inilah yang kemudian melahirkan kebijakan untuk memberi ruang bagi bahasa, sastra, dan identitas kultur masuk ke ranah politik publik. Simak saja, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengampanyekan bahasa dan pakaian Jawa dalam ritme birokratisnya.

Pakaian adat dan Bahasa Jawa diapresiasi, kemudian dipraktikkan sebagai kebanggaan sekaligus identitas kultural dan politik Jawa Tengah. Lalu apa signifikansi, dampak, dan kontribusi kebijakan ini terhadap identitas kultural warga provinsi ini? Langkah itu dilakukan Ganjar untuk memberi sekaligus melahirkan ’’tanda’’ bagi ritme pemerintahannya.

Kebijakannya ditopang Pergub Nomor 55/2014 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 57/2013 tentang Juklak Perda Provinsi Nomor 9/ 2013 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa.

Sebelumnya, apresiasi nilai-nilai Jawa dipraktikkan dalam seremonial pemerintahan, lomba, ataupun festival budaya di tiap daerah. Ganjar berujar, ”Sehari dalam sepekan harus ditentukan wajib berbahasa Jawa. Saat rapat paripurna, boleh juga menggunakan Bahasa Jawa.

“Tidak harus krama (Bahasa Jawa halus), ngoko juga boleh.’’ Kebijakannya mengenai kewajiban memakai pakaian adat dan Bahasa Jawa, mendorong apresiasi kultural atas nilai-nilai khas Jawa. Setidak-tidaknya hal ini menjadi referensi untuk menggali dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebudayaan Jawa dalam moral dan praktik kehidupan.

Tak hanya sebagai simbol artifisial namun sebagai bagian dari revolusi mental yang dikawal Jokowi di pemerintahan pusat.

Identitas Kultural

Langkah Ganjar bukan terbilang baru, hal serupa juga dipraktikkan di DKI Jakarta dan Kota Bandung. Di DKI Jakarta ketika mengomando pemerintahannya, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menginstruksikan pegawai memakai baju Betawi tiap Jumat.

Di Bandung, Wali Kota Ridwan Kamil mendorong pejabat, PNS, dan siswa memakai pakaian adat dan berbahasa Sunda, sehari dalam sepekan. Ridwan juga mengapresiasi ornamen Sunda dalam infrastruktur publik di kota itu.

Pemkab Banjarnegara mendorong jajaran pegawainya memakai baju khas Jawa tiap Kamis. Pemakaian identitas Jawa ini juga diimbangi dengan penggunaan bahasa Banyumasan, baik tiap rapat maupun komunikasi di kantor.

Tentu saja kebijakan untuk mengapresiasi nilai-nilai kultural dalam ranah pemerintahan dan publik, perlu dipahami sebagai bagian identitas politik, dengan segenap nilai lebih dan kekurangan masing-masing. Kebijakan mengapresiasi nilai-nilai kultural dengan kewajiban berbahasa dan berpakaian adat merupakan beleid penting.

Yang perlu diingat adalah mendorong ’’orang’’ dan meningkatkan kualitas sumber daya kreatif supaya mampu menjadi fondasi kultural sebagai nilai lebih, bukan sekadar komoditas artifisial.

Artinya, pakaian adat dan bahasa bukan sebagai artefak ataupun simbol artifisial melainkan dipahami sebagai pintu masuk supaya warga kembali mempelajari dan mempraktikkan filosofi Jawa dan kebudayaan setempat.

Bukan pula sebatas sebagai perayaan atau komoditas melainkan sebagai gerbang apresiasi identitas kultural. Inilah yang justru menjadi langkah penting supaya tidak terjebak pada perayaan simbolik dan penghargaan artifisial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar