Bahasa
Jawa dan Identitas Politik
Munawir Aziz ; Direktur the North Coast Center Staimafa Pati,
Alumnus
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
|
SUARA
MERDEKA, 01 Oktober 2014
PETA kontestasi antardaerah sekarang ini ditentukan oleh bagaimana
identitas kultural diaktualisasikan ke ranah publik. Pola branding atas kota
lebih memberi ruang bagi nilai-nilai lokal untuk diapresiasi publik, sebagai
identitas khas ataupun komoditas.
Inilah yang terjadi dalam era virtual
creativity ketika kreativitas diasumsikan sebagai bagian dari kemajuan
teknologi yang mendorong kelahiran produk-produk kreatif manusia cerdas.
Pada titik inilah, kreativitas sumber daya lokal menentukan indeks
prestasi, penghargaan ataupun income
bagi tiap daerah. Selain itu, strategi branding atas sebuah nilai kultural
tidak hanya atas nama negara namun tersebar menjadi bagian dari peningkatan
kualitas kota.
Kota-kota semacam Bandung, Jakarta, Medan, Surabaya, dan Solo bersaing
dengan kota-kota destinasi wisata internasional semisal Kuala Lumpur, Sidney,
Amsterdam, Paris, dan Praha. Inilah yang kemudian mendorong perbaikan kota,
dengan indikator perbaikan SDM, infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan.
Selain itu, pengembangan kota menuntun perbaikan infrastruktur ruang
publik, semisal trotoar, taman, sanitasi, hingga area festival untuk warga.
Untuk pengembangan taman; Jakarta, Bandung, dan Surabaya melakukan akselerasi
kerja dengan menyulap ruang kumuh menjadi taman asri.
Jokowi-Ahok, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini menjadi pelopor hadirnya
taman-taman kota yang menjadi ruang teduh bagi warga. Selain peningkatan
kualitas infrastruktur, aktualisasi nilai-nilai kultural menjadi bagian dari
kampanye menghadirkan kota yang lebih menghargai budaya.
Penghargaan atas tradisi, nilai-nilai budaya, dan eksotisme berbahasa
inilah yang kemudian melahirkan kebijakan untuk memberi ruang bagi bahasa,
sastra, dan identitas kultur masuk ke ranah politik publik. Simak saja, Gubernur
Jateng Ganjar Pranowo mengampanyekan bahasa dan pakaian Jawa dalam ritme
birokratisnya.
Pakaian adat dan Bahasa Jawa diapresiasi, kemudian dipraktikkan sebagai
kebanggaan sekaligus identitas kultural dan politik Jawa Tengah. Lalu apa
signifikansi, dampak, dan kontribusi kebijakan ini terhadap identitas
kultural warga provinsi ini? Langkah itu dilakukan Ganjar untuk memberi
sekaligus melahirkan ’’tanda’’ bagi ritme pemerintahannya.
Kebijakannya ditopang Pergub Nomor 55/2014 tentang Perubahan atas Pergub
Nomor 57/2013 tentang Juklak Perda Provinsi Nomor 9/ 2013 tentang Bahasa,
Sastra, dan Aksara Jawa.
Sebelumnya, apresiasi nilai-nilai Jawa dipraktikkan dalam seremonial
pemerintahan, lomba, ataupun festival budaya di tiap daerah. Ganjar berujar, ”Sehari
dalam sepekan harus ditentukan wajib berbahasa Jawa. Saat rapat paripurna,
boleh juga menggunakan Bahasa Jawa.
“Tidak harus krama (Bahasa
Jawa halus), ngoko juga boleh.’’
Kebijakannya mengenai kewajiban memakai pakaian adat dan Bahasa Jawa, mendorong
apresiasi kultural atas nilai-nilai khas Jawa. Setidak-tidaknya hal ini
menjadi referensi untuk menggali dan mengaktualisasikan nilai-nilai
kebudayaan Jawa dalam moral dan praktik kehidupan.
Tak hanya sebagai simbol artifisial namun sebagai bagian dari revolusi
mental yang dikawal Jokowi di pemerintahan pusat.
Identitas
Kultural
Langkah Ganjar bukan terbilang baru, hal serupa juga dipraktikkan di
DKI Jakarta dan Kota Bandung. Di DKI Jakarta ketika mengomando
pemerintahannya, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menginstruksikan
pegawai memakai baju Betawi tiap Jumat.
Di Bandung, Wali Kota Ridwan Kamil mendorong pejabat, PNS, dan siswa
memakai pakaian adat dan berbahasa Sunda, sehari dalam sepekan. Ridwan juga
mengapresiasi ornamen Sunda dalam infrastruktur publik di kota itu.
Pemkab Banjarnegara mendorong jajaran pegawainya memakai baju khas Jawa
tiap Kamis. Pemakaian identitas Jawa ini juga diimbangi dengan penggunaan
bahasa Banyumasan, baik tiap rapat maupun komunikasi di kantor.
Tentu saja kebijakan untuk mengapresiasi nilai-nilai kultural dalam
ranah pemerintahan dan publik, perlu dipahami sebagai bagian identitas
politik, dengan segenap nilai lebih dan kekurangan masing-masing. Kebijakan
mengapresiasi nilai-nilai kultural dengan kewajiban berbahasa dan berpakaian
adat merupakan beleid penting.
Yang perlu diingat adalah mendorong ’’orang’’ dan meningkatkan kualitas
sumber daya kreatif supaya mampu menjadi fondasi kultural sebagai nilai
lebih, bukan sekadar komoditas artifisial.
Artinya, pakaian adat dan bahasa bukan sebagai artefak ataupun simbol
artifisial melainkan dipahami sebagai pintu masuk supaya warga kembali
mempelajari dan mempraktikkan filosofi Jawa dan kebudayaan setempat.
Bukan pula sebatas sebagai perayaan atau komoditas melainkan sebagai
gerbang apresiasi identitas kultural. Inilah yang justru menjadi langkah
penting supaya tidak terjebak pada perayaan simbolik dan penghargaan
artifisial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar