Yang
Mulia Dipenjara Selamanya
Reza
Indragiri Amriel ; Alumnus
Psikologi Forensik, The University of Melbourne
|
JAWA
POS, 19 Juni 2014
MASA tua
kerap diasosiasikan dengan angin sepoi-sepoi, dedaunan menghijau, embun
menetes lembut, dan serbaneka kedamaian lain. Inilah kurun ketika diri
mencapai puncak keutuhannya. Integritas pribadi macam itu adalah buah manis
yang dirintis dan dipupuk subur sejak fase-fase hidup sebelumnya. Sebaliknya,
manakala kegenapan itu gagal diraih, keputusasaan menjadi gantinya. Putus asa
karena di penghujung usia nyaris tidak ada lagi jalan berputar untuk
membenahi segala hal yang kadung terbengkalai.
Bulu
roma merinding saat ingatan tentang teori Erikson di atas terpicu bangkit
kembali, seiring mata melewati kata demi kata dalam sebuah reportase bertajuk
tuntutan hukuman seumur hidup terhadap seorang wakil Tuhan yang sejak
beberapa bulan lalu berganti status sebagai terdakwa dalam sidang tindak pidana
korupsi. Belum lama ia duduk di singgasana dengan sapaan ”Yang Mulia”. Namun
kini berbalik seratus delapan puluh derajat, tidak sedikit kalangan yang
memandang ke arahnya laksana makhluk nista.
Spontan
dada menghela napas dan mengembuskannya kembali, bersama ucapan dalam hati, ”Na'udzubillaahi min dzalik. Ya Allah,
lindungilah kami dari hal-hal buruk sedemikian.”
Bayangkan
seorang bapak yang dihukum karena membunuh. Begitu ditanya hakim tentang
sebab-musabab pembunuhan itu, si bapak tadi menjawab tenang, ”Karena
korban telah menistai anak gadis saya.”
Membunuh
memang, pada dasarnya, salah. Namun, alasan si bapak menghabisi orang di
hadapannya seketika ”terbenarkan”. Demi melindungi martabat dan kesucian sang
buah hati, si bapak menjalankan tanggung jawabnya selaku kepala keluarga. Si
bapak, dari balik jeruji besi, masih memiliki kepantasan untuk berujar
tentang tanggung jawab seorang ayah atas anak dan istrinya.
Beda
ceritanya ketika si pejabat tersebut, yang sudah masuk kategori usia lanjut,
masuk bui karena (disangka) korupsi. Yang dipenjara memang satu orang, tapi
yang hidupnya ikut merana terpenjara lebih banyak lagi. Istrinya,
anak-anaknya, menantu-menantunya, cucu-cucunya, bahkan –ringkasnya– seluruh
anggota keluarga besar. Si manula yang sepantasnya menjadi panutan, menjadi
referensi tentang kejayaan hidup, secara tragis justru dalam waktu dekat akan
menjalani sebuah proses penghakiman yang panjang dengan status sebagai
terdakwa korupsi.
Dalam
catatan sejumlah negara, usia manula –enam puluh tahun ke atas– merupakan
populasi narapidana dengan angka pertumbuhan tertinggi. Ini menjadi indikasi
betapa integritas hidup yang diteorikan Erikson di atas semakin jauh panggang
dari api. Beranjaknya usia ke fase tua tidak serta-merta diwarnai ketenteraman.
Justru sebaliknya, fakta menunjukkan semakin banyak manusia usia lanjut
(manula) yang kehilangan barometer akhlak sehingga beradaptasi terhadap
dunianya dengan cara-cara jahat.
Penderitaan
narapidana usia lanjut di dalam penjara kian bertambah karena fasilitas yang
tidak didesain untuk mengakomodasi kebutuhan mereka. Tubuh yang renta semakin
merongrong, namun narapidana tua tidak bisa banyak berharap akan ada
perlakuan istimewa yang tersedia setiap saat. Jam kunjungan pun mendatangkan
kepedihan tersendiri. Sebab, sejak detik pertama ketika narapidana tua dan
sanak keluarganya saling bertukar pelukan, sejak itu pula hitungan mundur
dimulai menuju detik perpisahan. Kata orang, cinta terhadap pasangan adalah
sehidup semati. Alkisah, kasih sayang orang tua terhadap anak pun ibarat air
yang tak mungkin putus walau dipotong belati. Namun, ironis, restriksi di
penjara seakan mengakhiri segala keindahan itu.
Apa pula
yang harus disampaikan kepada cucu dan cicit? Hari ini bisa saja sebuah
cerita rekaan akan mereka simak sebagai sesuatu yang meyakinkan. Sebutlah,
kakek sedang mengajar agar orang-orang di asrama menjadi pintar, misalnya.
Tetapi, siapa yang bisa menjamin cucu dan cicit tidak akan menemukan berita
di media bahwa kakek mereka ternyata dihukum karena telah melakukan kejahatan
luar biasa. Bahkan tidak berhenti hanya pada terperanjat. Esoknya, di
sekolah, olok-olok datang bertubi-tubi. Kakek –atau juga nenek– sengsara di
bui, cucu dan cicit merana di-bully.
Ini
kisah nyata. Seorang terdakwa belia menangis di kursi pesakitan. Ia merasa
telah menjadi anak yang sia-sia karena justru membebani keluarga karena aksi
kriminalitas yang dilakukannya. Ansyahrul, ketua majelis hakim yang
menyidangkan perkara tersebut, memberikan kesempatan kepada si terdakwa yang
masih muda itu untuk bersimpuh di hadapan dua orang tuanya. Bagaimana pula
pejabat tinggi yang di usia senjanya justru terancam dikenai status sebagai
narapidana korupsi? Andai kelak ia divonis bersalah, menyadari dirinya telah
mendatangkan kehinaan kepada keluarga, akankah ia menangis dan menyesali
perbuatannya? Apa yang akan ia lakukan terhadap istri dan anak-anaknya pada
hari penentuan vonis nanti? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar