Rabu, 04 Juni 2014

UN, Petaka Generasi Penerus Bangsa

UN, Petaka Generasi Penerus Bangsa

Itje Chodidjah  ;   Praktisi pendidikan, Tinggal di Jakarta
MEDIA INDONESIA,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
HAJATAN besar Kemendikbud yang bernama ujian nasional (UN) baru saja usai digelar dalam April dan Mei ini. Perhelatan itu menguras segenap tenaga dan upaya besar dengan biaya lebih dari Rp500 miliar.

Di satu sisi, upaya tersebut memberikan kesan kepada masyarakat bahwa Kemendikbud telah melakukan tindakan penting dalam menyempurnakan kualitas pendidikan di Indonesia. Di sisi lain, sebenarnya pemerintah sedang melakukan pembusukan kualitas generasi muda masa datang dan sedang melebarkan jurang kehidupan sosial di masyarakat. Argumen yang terus-menerus dilontarkan kepada publik merupakan triktrik pencitraan agar terbentuk pemikiran bahwa UN ialah urusan paling penting dalam penataan pendidikan.

Dalam urusan UN, pernyataan-pernyataan pihak Kemendikbud lebih banyak menekankan urusan pendistribusian soal dan lembar jawaban, ragam 20 jenis soal yang diunggulkan sebagai upaya menekan kecurangan dan kebocoran, pelibatan pihak kepolisian untuk menjamin keamanan distribusi soal dan penjagaan pelaksanaan UN. Namun, sayangnya, berbagai dampak negatif UN yang mengakibatkan lemahnya kualitas hasil pendidikan justru tidak menjadi perbincangan penting.

Kualitas pembelajaran

Adanya UN sampai saat ini telah menimbulkan dampak negatif pada proses pembelajaran dalam kelas. Guru yang mengajar mata-mata pelajaran yang diujikan cenderung fokus pada bagaimana membuat siswa terbiasa menjawab soal-soal ketimbang memproses kemampuan berpikirnya. Proses belajar-mengajar sering kali tersulap menjadi sekadar berlatih soal-soal yang akan keluar dalam tes-tes di sekolah. Dengan demikian, kesempatan siswa untuk berlatih berpikir kritis relatif terbatas.

Kemampuan berpikir siswa hanya terlatih pada kemampuan berpikir tingkat rendah, yaitu menghafal dan menjawab pertanyaan.

Untuk mengimbangi nilai akhir siswa, sekolah menetapkan kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang tinggi. Akibatnya guru terpaksa jungkir balik membela perolehan nilai saja dan bukan proses belajar-mengajar yang mengasah kompetensi siswa. Selain itu, faktor pembeda dalam menilai siswa menjadi palsu. Siswa yang tidak mencapai KKM harus ikut remedial, alias mengulang testingnya, bukan diperbaiki kompetensi atau kemampuannya. Jika KKM yang ditentukan ialah 7,5, ini berarti bahwa nilai terendah ialah 7,5 dan nilai tertinggi mungkin 9 atau 10. Jadi, nilai sekolah yang tinggi tidak selalu menggambarkan kemampuan siswa sesungguhnya.

Mata pelajaran di luar mata pelajaran UN seolah menjadi mata pelajaran kelas dua. Perhatian pada pelajaran-pelajaran tersebut sudah barang tentu terganggu. Siswa terpaksa harus fokus pada mata pelajaran yang akan menentukan kelulusannya saja. Apalagi pada tahun terakhir bisa terjadi bahwa alokasi belajar untuk pelajaran-pelajaran non-UN banyak diambil untuk latihan-latihan dan try out mata pelajaran UN.

Sungguh ini merupakan proses belajar mengajar yang keliru dan tidak banyak membantu anak-anak berkembang dalam pola berpikir kritis mereka.

Demoralisasi terstruktur

Setiap tahun berita tentang UN didominasi fakta-fakta negatif di lapangan. Berita tentang jual beli kunci jawaban bukan hal yang asing. Penjualnya sudah barang tentu ialah pihak yang memiliki akses terhadap keberadaan soal UN. Sayangnya gencarnya berita tersebut hanya direspons dengan penyangkalan-penyangkalan oleh pihak Kemendikbud. Siswa tentu tahu persis dari mana mereka mendapatkan kunci jawaban UN tersebut. Secara psikologis, siswa-siswa kita telah secara tidak langsung mendapat pelajaran resmi bahwa menyangkal kebenaran, memanipulasi, dan menipu itu boleh.

Siswa menyaksikan dan mempelajari bagaimana pihak Kemendikbud kerap mengabaikan kenyataan kerusakan yang ditimbulkan oleh UN dengan berbagai dalih. Kebenaran menjadi seolah tidak penting untuk dibicarakan.

Anak-anak terpaksa belajar bagaimana memanipulasi secara cermat melalui cara penilaian terhadap kemampuan mereka. Dengan patokan KKM yang tinggi, mereka belajar bahwa memberikan nilai palsu yang tak sesuai kemampuan itu boleh. Bahkan di berbagai daerah yang memang sarana prasarana serta jumlah gurunya kurang, siswa sudah tahu bahwa mereka dapat memastikan dirinya akan lulus. Sungguh pelajaran manipulasi yang kental.

Anak-anak kita juga belajar menipu dari orang dewasa yang mereka anggap sebagai anutan. Cara-cara yang dilaku kan oleh para oknum dalam menyediakan kunci jawaban sungguh ampuh se bagai pembentukan persepsi boleh menipu. Bayangkan suasana kelas yang hening sebelum ujian, saat anak-anak diajak menundukkan kepala berdoa, bahkan tidak jarang doa-doa bersama juga digelar sebelum masa ujian. Ironisnya ketika ujian berlangsung orang-orang yang mengajak berdoa juga mengajak anakanak melakukan kecurangan lewat kunci jawaban yang disebar.

Pemisah sosial

Kenyataan itu boleh saja disebut tidak melanda semua siswa di seluruh Indonesia. Sejumlah siswa yang beruntung memiliki kecerdasan lebih akan melawan praktik-praktik pembusukan tersebut, meskipun tetap menyaksikannya. Dengan modal kecerdasan, mereka berjuang. Jumlah me reka pastinya sangat kecil. Sejumlah siswa bertahan jujur walau berisiko.

Siswa yang memiliki akses ekonomi lebih punya kesempatan memilih sekolah bermutu yang benar-benar memberi kesempatan untuk mengasah kecerdasan dan kompetensinya. Di samping itu, mereka juga mampu membayar bimbingan belajar kelas premium. Anak-anak dalam kategori itu tentu saja jumlahnya hanya beberapa jika dibandingkan dengan jumlah anak-anak tidak memiliki kesempatan.
Kenyataan tersebut dalam jangka panjang dipastikan akan menuai jurang pemisah sosial yang lebar.

Sekadar pencitraan

UN tak ubahnya ialah alat pemerintah untuk melakukan pencitraan dalam dunia pendidikan. UN dibuat seolah sebagai alat memindai standar pendidikan di negeri ini. Kemendikbud terus-menerus menjelaskan bahwa jika tidak ada UN, bagaimana daerah akan tahu bahwa pendidikan di wilayahnya setara dengan daerah-daerah lain.

Oleh karena itulah, hampir semua kepala daerah melakukan berbagai cara agar daerah mereka menampilkan wajah cantik pendidikan mereka lewat nilai UN yang dicapai siswa, tanpa memikirkan akibatnya. Kata standar yang disebut-sebut tak ubahnya sebagai buah bibir saja.

Sekolah dengan akses dan sarana terbatas bisa memperoleh nilai 8 dengan mudah, sama dengan mereka yang memiliki sarana belajar dengan fasilitas prima. Kita tidak dapat membedakan bagaimana kualitas pendidikan di Papua, yang jelas-jelas kekurangan sarana, juga guru bermutu, dan DKI, bila ternyata mereka memiliki rata-rata kelulusan sama! Ujian nasional yang disebut sebagai alat untuk menstandarkan kualitas pendidikan di seluruh wilayah RI berubah sebagai alat yang merusak kualitas generasi masa datang.

Peran UN hanya meratakan deretan angka nilai siswa bukan meratakan kompetensi apalagi meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.

Hentikan UN

Melanjutkan UN bagaikan melakukan proses pembusukan kualitas hasil pendidikan. Hasil pendidikan dapat distandarkan bila berbagai hal yang mendukung terselenggaranya pendidikan telah standar. Guru dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, proses belajar-mengajar di kelas harus terlebih dahulu dibenahi dan dengan standar yang merata. Ujian nasional, jika untuk tujuan pemetaan pendidikan, mestinya tidak berakibat terhadap kelulusan siswa. Dengan demikian, hasil UN akan menjadi patokan setiap daerah untuk menganalisis berbagai aspek yang perlu dibenahi guna meningkatkan kualitas pendidikannya.

Pemerintah harus secepatnya menghentikan UN dan fokus membenahi delapan standar pendidikan nasional sebagai upaya nyata perbaikan kualitas generasi bangsa. Melanjutkan UN sama dengan meningkatkan baik potensi kriminalitas, potensi korupsi, maupun potensi tingkah laku negatif lainnya.

Pada era yang semakin global ini anak-anak muda kita dihadang persaingan yang semakin ketat, bukan hanya dengan rekannya sesama bangsa Indonesia, melainkan juga bangsa-bangsa lain. Dunia industri tidak akan memercayai angka anak yang tercantum di ijazah, tetapi mencari pribadi yang memiliki kompetensi.
Sudah tak pantas bagi pemerintah untuk pamer data statistik kemajuan pendidikan jika fakta di lapangan menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita semakin terpuruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar