UN,
Petaka Generasi Penerus Bangsa
Itje
Chodidjah ; Praktisi pendidikan, Tinggal di Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Juni 2014
HAJATAN besar Kemendikbud yang
bernama ujian nasional (UN) baru saja usai digelar dalam April dan Mei ini.
Perhelatan itu menguras segenap tenaga dan upaya besar dengan biaya lebih
dari Rp500 miliar.
Di satu sisi, upaya tersebut
memberikan kesan kepada masyarakat bahwa Kemendikbud telah melakukan tindakan
penting dalam menyempurnakan kualitas pendidikan di Indonesia. Di sisi lain,
sebenarnya pemerintah sedang melakukan pembusukan kualitas generasi muda masa
datang dan sedang melebarkan jurang kehidupan sosial di masyarakat. Argumen
yang terus-menerus dilontarkan kepada publik merupakan triktrik pencitraan
agar terbentuk pemikiran bahwa UN ialah urusan paling penting dalam penataan
pendidikan.
Dalam urusan UN,
pernyataan-pernyataan pihak Kemendikbud lebih banyak menekankan urusan
pendistribusian soal dan lembar jawaban, ragam 20 jenis soal yang diunggulkan
sebagai upaya menekan kecurangan dan kebocoran, pelibatan pihak kepolisian
untuk menjamin keamanan distribusi soal dan penjagaan pelaksanaan UN. Namun,
sayangnya, berbagai dampak negatif UN yang mengakibatkan lemahnya kualitas
hasil pendidikan justru tidak menjadi perbincangan penting.
Kualitas pembelajaran
Adanya UN sampai saat ini telah
menimbulkan dampak negatif pada proses pembelajaran dalam kelas. Guru yang
mengajar mata-mata pelajaran yang diujikan cenderung fokus pada bagaimana
membuat siswa terbiasa menjawab soal-soal ketimbang memproses kemampuan
berpikirnya. Proses belajar-mengajar sering kali tersulap menjadi sekadar
berlatih soal-soal yang akan keluar dalam tes-tes di sekolah. Dengan demikian,
kesempatan siswa untuk berlatih berpikir kritis relatif terbatas.
Kemampuan berpikir siswa hanya
terlatih pada kemampuan berpikir tingkat rendah, yaitu menghafal dan menjawab
pertanyaan.
Untuk mengimbangi nilai akhir
siswa, sekolah menetapkan kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang tinggi. Akibatnya
guru terpaksa jungkir balik membela perolehan nilai saja dan bukan proses
belajar-mengajar yang mengasah kompetensi siswa. Selain itu, faktor pembeda
dalam menilai siswa menjadi palsu. Siswa yang tidak mencapai KKM harus ikut
remedial, alias mengulang testingnya, bukan diperbaiki kompetensi atau
kemampuannya. Jika KKM yang ditentukan ialah 7,5, ini berarti bahwa nilai
terendah ialah 7,5 dan nilai tertinggi mungkin 9 atau 10. Jadi, nilai sekolah
yang tinggi tidak selalu menggambarkan kemampuan siswa sesungguhnya.
Mata pelajaran di luar mata
pelajaran UN seolah menjadi mata pelajaran kelas dua. Perhatian pada
pelajaran-pelajaran tersebut sudah barang tentu terganggu. Siswa terpaksa
harus fokus pada mata pelajaran yang akan menentukan kelulusannya saja.
Apalagi pada tahun terakhir bisa terjadi bahwa alokasi belajar untuk
pelajaran-pelajaran non-UN banyak diambil untuk latihan-latihan dan try out mata pelajaran UN.
Sungguh ini merupakan proses belajar
mengajar yang keliru dan tidak banyak membantu anak-anak berkembang dalam
pola berpikir kritis mereka.
Demoralisasi terstruktur
Setiap tahun berita tentang UN
didominasi fakta-fakta negatif di lapangan. Berita tentang jual beli kunci
jawaban bukan hal yang asing. Penjualnya sudah barang tentu ialah pihak yang
memiliki akses terhadap keberadaan soal UN. Sayangnya gencarnya berita
tersebut hanya direspons dengan penyangkalan-penyangkalan oleh pihak
Kemendikbud. Siswa tentu tahu persis dari mana mereka mendapatkan kunci
jawaban UN tersebut. Secara psikologis, siswa-siswa kita telah secara tidak
langsung mendapat pelajaran resmi bahwa menyangkal kebenaran, memanipulasi,
dan menipu itu boleh.
Siswa menyaksikan dan mempelajari
bagaimana pihak Kemendikbud kerap mengabaikan kenyataan kerusakan yang ditimbulkan
oleh UN dengan berbagai dalih. Kebenaran menjadi seolah tidak penting untuk
dibicarakan.
Anak-anak terpaksa belajar
bagaimana memanipulasi secara cermat melalui cara penilaian terhadap
kemampuan mereka. Dengan patokan KKM yang tinggi, mereka belajar bahwa
memberikan nilai palsu yang tak sesuai kemampuan itu boleh. Bahkan di
berbagai daerah yang memang sarana prasarana serta jumlah gurunya kurang,
siswa sudah tahu bahwa mereka dapat memastikan dirinya akan lulus. Sungguh
pelajaran manipulasi yang kental.
Anak-anak kita juga belajar
menipu dari orang dewasa yang mereka anggap sebagai anutan. Cara-cara yang
dilaku kan oleh para oknum dalam menyediakan kunci jawaban sungguh ampuh se
bagai pembentukan persepsi boleh menipu. Bayangkan suasana kelas yang hening
sebelum ujian, saat anak-anak diajak menundukkan kepala berdoa, bahkan tidak
jarang doa-doa bersama juga digelar sebelum masa ujian. Ironisnya ketika
ujian berlangsung orang-orang yang mengajak berdoa juga mengajak anakanak
melakukan kecurangan lewat kunci jawaban yang disebar.
Pemisah sosial
Kenyataan itu boleh saja disebut
tidak melanda semua siswa di seluruh Indonesia. Sejumlah siswa yang beruntung
memiliki kecerdasan lebih akan melawan praktik-praktik pembusukan tersebut,
meskipun tetap menyaksikannya. Dengan modal kecerdasan, mereka berjuang.
Jumlah me reka pastinya sangat kecil. Sejumlah siswa bertahan jujur walau
berisiko.
Siswa yang memiliki akses
ekonomi lebih punya kesempatan memilih sekolah bermutu yang benar-benar
memberi kesempatan untuk mengasah kecerdasan dan kompetensinya. Di samping
itu, mereka juga mampu membayar bimbingan belajar kelas premium. Anak-anak
dalam kategori itu tentu saja jumlahnya hanya beberapa jika dibandingkan
dengan jumlah anak-anak tidak memiliki kesempatan.
Kenyataan tersebut dalam jangka
panjang dipastikan akan menuai jurang pemisah sosial yang lebar.
Sekadar pencitraan
UN tak ubahnya ialah alat
pemerintah untuk melakukan pencitraan dalam dunia pendidikan. UN dibuat
seolah sebagai alat memindai standar pendidikan di negeri ini. Kemendikbud
terus-menerus menjelaskan bahwa jika tidak ada UN, bagaimana daerah akan tahu
bahwa pendidikan di wilayahnya setara dengan daerah-daerah lain.
Oleh karena itulah, hampir semua
kepala daerah melakukan berbagai cara agar daerah mereka menampilkan wajah
cantik pendidikan mereka lewat nilai UN yang dicapai siswa, tanpa memikirkan
akibatnya. Kata standar yang disebut-sebut tak ubahnya sebagai buah bibir
saja.
Sekolah dengan akses dan sarana
terbatas bisa memperoleh nilai 8 dengan mudah, sama dengan mereka yang
memiliki sarana belajar dengan fasilitas prima. Kita tidak dapat membedakan
bagaimana kualitas pendidikan di Papua, yang jelas-jelas kekurangan sarana, juga
guru bermutu, dan DKI, bila ternyata mereka memiliki rata-rata kelulusan
sama! Ujian nasional yang disebut sebagai alat untuk menstandarkan kualitas
pendidikan di seluruh wilayah RI berubah sebagai alat yang merusak kualitas
generasi masa datang.
Peran UN hanya meratakan deretan
angka nilai siswa bukan meratakan kompetensi apalagi meningkatkan kualitas
pendidikan Indonesia.
Hentikan UN
Melanjutkan UN bagaikan
melakukan proses pembusukan kualitas hasil pendidikan. Hasil pendidikan dapat
distandarkan bila berbagai hal yang mendukung terselenggaranya pendidikan
telah standar. Guru dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, proses
belajar-mengajar di kelas harus terlebih dahulu dibenahi dan dengan standar
yang merata. Ujian nasional, jika untuk tujuan pemetaan pendidikan, mestinya
tidak berakibat terhadap kelulusan siswa. Dengan demikian, hasil UN akan
menjadi patokan setiap daerah untuk menganalisis berbagai aspek yang perlu
dibenahi guna meningkatkan kualitas pendidikannya.
Pemerintah harus secepatnya menghentikan UN dan
fokus membenahi delapan standar pendidikan nasional sebagai upaya nyata
perbaikan kualitas generasi bangsa. Melanjutkan UN sama dengan meningkatkan
baik potensi kriminalitas, potensi korupsi, maupun potensi tingkah laku
negatif lainnya.
Pada era yang semakin global ini anak-anak muda
kita dihadang persaingan yang semakin ketat, bukan hanya dengan rekannya
sesama bangsa Indonesia, melainkan juga bangsa-bangsa lain. Dunia industri
tidak akan memercayai angka anak yang tercantum di ijazah, tetapi mencari
pribadi yang memiliki kompetensi.
Sudah
tak pantas bagi pemerintah untuk pamer data statistik kemajuan pendidikan
jika fakta di lapangan menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita semakin
terpuruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar