Teologi
Kebencian
Asep
Salahudin ; Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat;
Dekan Fakultas
Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya
|
KOMPAS,
07 Juni 2014
JUDUL di
atas dalam ranah logika masuk dalam kategori contradictio in termenis. Teologi dan
kebencian adalah dua kata yang tidak mungkin dipersatukan, selalu ber-mufaraqah.
Fitrah
teologi bersumbu pada kasih sayang. Bahkan, modus kelahiran setiap nabi senantiasa
bermula pada hasrat mengembalikan semesta pada daulat cinta kasih. ”Aku tidak mengutus engkau Muhammad
kecuali sebagai rahmat bagi semesta,” demikian firman-Nya.
Kebencian
dengan segala derivasinya justru menjadi target utama yang hendak dicongkel
setiap risalah. Kebencian yang menjadi
muasal tergelarnya hidup jahiliah, baik dalam medan sosial, politik, maupun
kebudayaan. Kebencian selalu beranak pinak menjadi kesumat, kekerasan, dan
tindakan banal lainnya.
Maka,
menjadi sangat mafhum apabila tindakan politik profetik selalu dijangkarkan
pada semangat ”kebersamaan”, persekutuan inklusif, haluan toleransi dan sikap lapang, tanpa melihat
latar belakang agama ataupun asal-usul etnik. ”Sebarkan damai di antara kalian”. Dalam lain kesempatan, ”Cintai mereka yang ada di bumi, engkau
akan meraih cinta dari langit”.
Negara
Madinah menjadi sebuah gambaran ihwal
”ruang publik” yang dikelola lewat sentuhan kedamaian, lebih mendahulukan
kekuatan logika daripada logika kekuatan; mengandalkan argumentasi ketimbang
provokasi. Segala hal yang menyangkut urusan masyarakat dipecahkan dengan
cara dialog dalam kesetaraan
(demokrasi deliberatif), hujjah diskursif, dan cara-cara beradab lainnya.
Mengingatkan kita pada ”negara kota”-nya Athena zaman keemasan Plato dan
Aristoteles. Bahkan, kata Robert N Bellah, ”negara kota” sang nabi jauh lebih
matang sebelum pada akhirnya dibajak
para raja dan beralih rupa menjadi sistem daulah.
Nabi
menjadikan laku harian sebagai siasat untuk
mentransformasikan politik kepentingan yang berpihak pada khalayak dan
keadilan. Nabi, meminjam bahasa Hannah Arendt, bukan
hanya bekerja dan berkarya, melainkan juga bertindak yang diacukan
pada spirit berpikir, kehendak, dan menilai di atas haluan kebenaran
etik-profetik.
Ironi
Justru contradictio in termenis inilah yang
hari ini mencuat ke permukaan. Bagaimana elite kaum beragama menebarkan
kebencian justru dengan berjubahkan teologi. Teologi menjadi berkelindan
dengan hibrida kebencian. Dicarikan alasan-alasan penuh dendam sekadar untuk
meneguhkan bahwa liyan itu keliru,
sesat, patut dicurigai, dan sangat tidak layak hidup berdampingan dengan
komunitas mayoritas.
Disampaikanlah
alasan-alasan yang seolah diturunkan dari ”sabda sakral silam” untuk
memonopoli kebenaran dan memandang liyan,
meminjam ulasan eksistensialis Jean-Paul Sartre, sebagai ”neraka”.
Memperjuangkan kebenaran monolitik itu dipandangnya suatu keharusan dan jihad
fi sabilillah. Kematiannya diimani
sebagai martir, diserupakan dengan
pahlawan yang mati hanya satu kali dan akan dikenang sebagai sang
pemberani.
Digalilah
”sejarah” dan sekian sengketa dari
riwayat masa silam yang sudah berlumut karena berumur ribuan tahun dari
negeri entah yang sangat jauh jarak tempuhnya dari jazirah Nusantara untuk
semakin meyakinkan bahwa menebar kebencian itu sahih. Jauh dari negeri
kepulauan bukan hanya tradisi, cara berpikir, dan kebudayaan, melainkan juga
hikayat masa lalunya.
Peristiwa-peristiwa
gelap masa lalu tak henti diceritakan
ulang sebagai siasat agar kebencian
itu terus terwariskan walaupun kita dan kaum leluhur bukan bagian dari
pengalaman peristiwa itu. Sejarah menjadi sebuah tafsir repetitif seolah
peristiwa itu jangan sampai hanya berhenti sebatas Paus Gregory VII, Saladin
al-Ayyubi, Abu Bakar Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Imam Khomaeni, dan
seterusnya. Jangan sampai berhenti hanya pada peristiwa Karbala, Perang
Badar, Perang Salib, tanpa tujuan yang jelas apa makna dari percakapan model
sejarah ini.
Tidak
berhenti sampai di sana, teologi
kebencian itu kemudian dilipatgandakan dalam beragam forum, spanduk,
majalah, buku saku, platform
partai, media sosial dan ritus khotbah. Dikepunglah, misalnya, ruang publik
di sejumlah kota yang seharusnya milik bersama dengan spanduk yang sangat
provokatif, ”Aliansi Nasional
Anti-Syiah” dan lain sebagainya.
Bahkan, fenomena terakhir, setiap ormas (dan agama) melakukan kontestasi
memasang spanduk dan baliho di jalan-jalan utama, baik yang berkaitan dengan
cara pengajian, shalawatan, pengobatan massal, perayaan Karbala, penggalangan
sumbangan, dan iklan kapling kuburan lengkap dengan wajah ustaz dan tokoh yang dikenang itu.
Ternyata
yang bernafsu fotonya ditampilkan di jalanan itu bukan hanya dari kalangan
kerumunan politikus, melainkan juga semua kalangan. Persis sang Narsisus
dalam mitologi Yunani yang tidak pernah bosan mengaca dirinya di depan telaga
seraya mengagumi ketampanannya. Tidak peduli orang lain menertawakan dan
mencemoohnya.
Akal waras
Tentu
bagi umat yang kebanyakan pemahaman agamanya terbatas banyak yang ”termakan”.
Lebih naif lagi pemerintah semacam
gubernur, bupati, dan wali kota, yang semestinya netral dan menjadi lambang dari akal waras, malah ikut ambil
bagian dalam lingkaran teologi kebencian.
Diakui
atau tidak, kita selama ini sering kali di satu sisi mencerca segala bentuk
kekerasan, termasuk kekerasan atas nama agama, etnik, dan mazhab. Namun, di
sisi lain, justru lewat khotbah-khotbah penuh kebencian, pidato-pidato yang
sarat permusuhan dan kekerasan itu
sedang kita semai untuk pada suatu saat akan dituai bersama setelah semuanya
luluh lantak.
Ia
kemudian menjadi sebuah bom waktu dan ketika meledak baru semua merasakan
dampak destruktifnya. Saat itulah baru kita sibuk mengupayakan islah dengan
melibatkan semua pihak. Setelah korban bergelimpangan, kita baru tersadar
bahwa teologi semacam itu bukan hanya tidak layak dirawat, melainkan harus
ditanggalkan.
Teologi
kebencian, inilah sesungguhnya yang menjadi muasal sengketa itu terus kekal— bahkan akan kian
terlembaga—karena umat seolah mendapatkan pembenarannya dari ajaran Tuhan
yang ditafsirkan para elitenya dengan keliru. Teologi kebencian bukan hanya
sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa yang majemuk,
melainkan juga dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang telah dengan susah payah dibangun para pendiri republik ini. Sejatinya
teologi kebenciaan juga telah memberikan kontribusi menjadikan agama kian
kehilangan wibawa dan Tuhan pun hanya diwiridkan dalam lorong gelap.
Dan
akhirnya, agama pun dipandang sebelah mata: sekadar endapan insting-insting
seksual (Freud), proyeksi manusia atas keterasingan dan ketidakmampuan
dirinya menyelesaikan persoalan
kehidupan (Ludwig Feuerbach), cerita Tuhan
yang telah khatam (Friedrich Nietzsche), Tuhan yang dalam diri-Nya penuh kontradiksi
(Jean-Paul Sartre).
Suara kritis ini sesungguhnya
bermula dari tindakan para pemeluk agama yang meyakini teologi sebagai sumber
kedamaian, tetapi justru tindakan keseharian penuh ambiguitas: menebar
kebencian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar