Politik
Sepak Bola
Munawir
Aziz ; Esais,
Dosen di STAI Mathali’ul Falah Pati
|
SUARA
MERDEKA, 20 Juni 2014
SEPAK
bola sejatinya tidak sekadar ”permainan”, ia bisa melampaui dirinya sebagai
sebuah pertarungan. Sepak bola memungkinkan berbagai entitas di luar
lapangan, masuk ke tengah lapangan untuk memainkan simbol-simbol dan
merayakan kode-kode yang menampilkan pesan. Piala Dunia 2014 dan Pilpres 9
Juli 2014 menjadi refleksi berharga bagi warga negeri ini. Politik dan sepak
bola saling menghadirkan refleksi. Lapangan hijau tak lagi dapat dianggap
hanya sebagai hamparan rumput yang menopang selebrasi pemain bintang. Sepak
bola telah menerabas batas-batas yang menjadi patokan sebagai permainan,
melampuai makna sebagai pertarungan strategi. Pemain timnas Spanyol akan
bertarung bak matador, punggawa Inggris maju ke tengah lapangan dengan
menggenggam semangat pasukan perang, roh pasukan Roma merasuk dalam diri
pemain sepakbola Itali, timnas Afrika Selatan tampil dengan imajinasi
kekuatan pasukan perang Raja Zulu, pesepak bola Jepang mewarisi semangat
Samurai Ninja.
Penyelenggaraan
Piala Dunia 2014 di Brazil menjadi ajang penting untuk membuktikan efek sepak
bola sebagai hajat dan perayaan manusia sejagad. Kompetisi Piala Dunia tak
sekadar hadir di tengah lapangan, dengan pertarungan 22 pemain memperebutkan
sebuah bola. Adu taktik pinggir lapangan memungkinkan pelatih memutar otak,
dengan racikan pengalaman, analisis, intuisi hingga pemanfaatan perangkat
teknologi untuk memasok data statistik. Teknologisasi sepak bola ini
memungkinkan presisi prestasi, akurasi tendangan, analisis kelemahan, hingga
penghancuran taktik musuh. Kompetisi sepak bola menebar pelbagai misi dan
kepentingan dengan tendesi politikekonomi antaretnis, negara ataupun
konglomerasi bisnis. Lalu, bagaimana sepak bola merespons keteganan politik,
sentimen rasial, dan konflik keagamaan? Bagaimana sepak bola mencipta oasis
di tengah perayaan jutaan suporter auaupun ketegangan militer di pelbagai
belahan dunia? Sepak bola menjadi cermin bening strategi politik.
Pertarungan
strategi di lapangan hijau tak sekadar adu otot dan otak. Namun, permainan
bola terus hadir menyihir hingga mengirim efek pada berbagai dimensi dan ruang
waktu. Sepak bola juga telah menjadi ruang kompetisi politik ekonomi dengan
tensi tinggi. Transfer pemain profesional di beberapa liga Eropa bisa
mencapai angka ratusan juta dolar AS. Kisaran bisnis di setiap klub dalam
setiap liga, mengeruk keuntungan jangka panjang dengan harapan trofi dan
uang. Maka, sepak bola tak hanya menjadi permainan, ia bermetamorfosis
menjadi politik bisnis dan bisnis politik. Bingkai Olahraga Kepentingan kuasa
merasuk di lapangan hijau hingga membuat kejutan-kejutan politik dengan
pelbagai permainan wacana. Sepak bola hadir dengan niatan mencipta kompetisi,
prestasi dan harga diri, namun politik telah menjelma sebagai bingkai
olahraga yang terus memicu tensi tinggi pertarungan kepentingan. Nasionalisme
sebuah bangsa bisa dipompa dari permainan sepak bola, dengan strategi politik
sebagai panglima. Atau sebaliknya, sepak bola bisa mencederai visi
konsolidasi kebangsaan dengan mencipta peluang lunturnya identitas nasional.
Kepentingan politik menggandeng kepentingan ekonomi dengan membuka lebar
peluang di tengah lapangan hijau. Pemain-pemain profesional berada pada titik
tegangan antara menjadi manusia atau robot suruhan, antara menjadi ”pemain”
dan budak bisnis.
Megatransfer
pemain bintang dari sebuah klub ke klub bola lain, seolah menjadi hajatan
politik ekonomi. Sepak bola telah membentuk benteng kokoh dengan pesan
kepentingan antarelitenya. Lingkaran permainan sepak bola juga telah mencipta
legenda-legenda yang tercatat dalam lipatan sejarah dan ingatan jutaan
manusia. Pecinta bola di pelbagai belahan dunia tentu mencatat nama besar
Maradona, Beckenbauer, Cruyff, Pele, Roger Milla, Platini, Gullit, dan
beberapa bintang lain. Tentu, bintang-bintang muda sepak bola juga siap
menjadi legenda dengan torehan prestasi gemilang: Lionel Messi, Cristiano
Ronaldo, Eden Hazard, Wayne Rooney, merupakan sederet pemain muda yang
menjadi pangeran di klub ataupun tim nasional. Sepak bola juga memungkinkan
hiburan spektakuler dengan suguhan perang strategi dan gaya permainan
antartim: totaal voetbal ala Belanda, cattenaccio
gaya Italia, jogo binoto tim Samba,
hingga mazhab kick and rush yang
dipraktikkan tim sepak bola bergaya mapan.
Namun,
hukum kekekalan gaya sepak bola ini telah mencair dengan terobosan
kepentingan dan gesekan identitas antarpemain. Strategi sepak bola sebuah tim
tak sekadar ditopang oleh satu gaya permainan, namun mengadopsi berbagai
model dengan kolaborasi teknik maupun taktik pelatih. Sepak bola sejatinya
memungkinkan menebar misi humanis. Gabriel Garcia Marques menganggap jalan
sastra sebagai ijtihad untuk membentuk identitas, kode budaya hingga politik
kuasa. Sepak bola pun bisa membentuk sentimen nasionalisme, misi kedamainan
hingga mencipta identitas pemain. Sepak bola dalam amatan Connie M Anderson
(2009) mencipta ruang terhapusnya sentimen rasial. Filosofi permainan sepak
bola dapat menjadi refleksi dan pesan untuk menghadirkan kedamaian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar