Jumat, 20 Juni 2014

Politik Sepak Bola

Politik Sepak Bola

Munawir Aziz  ;   Esais, Dosen di STAI Mathali’ul Falah Pati
SUARA MERDEKA,  20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEPAK bola sejatinya tidak sekadar ”permainan”, ia bisa melampaui dirinya sebagai sebuah pertarungan. Sepak bola memungkinkan berbagai entitas di luar lapangan, masuk ke tengah lapangan untuk memainkan simbol-simbol dan merayakan kode-kode yang menampilkan pesan. Piala Dunia 2014 dan Pilpres 9 Juli 2014 menjadi refleksi berharga bagi warga negeri ini. Politik dan sepak bola saling menghadirkan refleksi. Lapangan hijau tak lagi dapat dianggap hanya sebagai hamparan rumput yang menopang selebrasi pemain bintang. Sepak bola telah menerabas batas-batas yang menjadi patokan sebagai permainan, melampuai makna sebagai pertarungan strategi. Pemain timnas Spanyol akan bertarung bak matador, punggawa Inggris maju ke tengah lapangan dengan menggenggam semangat pasukan perang, roh pasukan Roma merasuk dalam diri pemain sepakbola Itali, timnas Afrika Selatan tampil dengan imajinasi kekuatan pasukan perang Raja Zulu, pesepak bola Jepang mewarisi semangat Samurai Ninja.

Penyelenggaraan Piala Dunia 2014 di Brazil menjadi ajang penting untuk membuktikan efek sepak bola sebagai hajat dan perayaan manusia sejagad. Kompetisi Piala Dunia tak sekadar hadir di tengah lapangan, dengan pertarungan 22 pemain memperebutkan sebuah bola. Adu taktik pinggir lapangan memungkinkan pelatih memutar otak, dengan racikan pengalaman, analisis, intuisi hingga pemanfaatan perangkat teknologi untuk memasok data statistik. Teknologisasi sepak bola ini memungkinkan presisi prestasi, akurasi tendangan, analisis kelemahan, hingga penghancuran taktik musuh. Kompetisi sepak bola menebar pelbagai misi dan kepentingan dengan tendesi politikekonomi antaretnis, negara ataupun konglomerasi bisnis. Lalu, bagaimana sepak bola merespons keteganan politik, sentimen rasial, dan konflik keagamaan? Bagaimana sepak bola mencipta oasis di tengah perayaan jutaan suporter auaupun ketegangan militer di pelbagai belahan dunia? Sepak bola menjadi cermin bening strategi politik.

Pertarungan strategi di lapangan hijau tak sekadar adu otot dan otak. Namun, permainan bola terus hadir menyihir hingga mengirim efek pada berbagai dimensi dan ruang waktu. Sepak bola juga telah menjadi ruang kompetisi politik ekonomi dengan tensi tinggi. Transfer pemain profesional di beberapa liga Eropa bisa mencapai angka ratusan juta dolar AS. Kisaran bisnis di setiap klub dalam setiap liga, mengeruk keuntungan jangka panjang dengan harapan trofi dan uang. Maka, sepak bola tak hanya menjadi permainan, ia bermetamorfosis menjadi politik bisnis dan bisnis politik. Bingkai Olahraga Kepentingan kuasa merasuk di lapangan hijau hingga membuat kejutan-kejutan politik dengan pelbagai permainan wacana. Sepak bola hadir dengan niatan mencipta kompetisi, prestasi dan harga diri, namun politik telah menjelma sebagai bingkai olahraga yang terus memicu tensi tinggi pertarungan kepentingan. Nasionalisme sebuah bangsa bisa dipompa dari permainan sepak bola, dengan strategi politik sebagai panglima. Atau sebaliknya, sepak bola bisa mencederai visi konsolidasi kebangsaan dengan mencipta peluang lunturnya identitas nasional. Kepentingan politik menggandeng kepentingan ekonomi dengan membuka lebar peluang di tengah lapangan hijau. Pemain-pemain profesional berada pada titik tegangan antara menjadi manusia atau robot suruhan, antara menjadi ”pemain” dan budak bisnis.

Megatransfer pemain bintang dari sebuah klub ke klub bola lain, seolah menjadi hajatan politik ekonomi. Sepak bola telah membentuk benteng kokoh dengan pesan kepentingan antarelitenya. Lingkaran permainan sepak bola juga telah mencipta legenda-legenda yang tercatat dalam lipatan sejarah dan ingatan jutaan manusia. Pecinta bola di pelbagai belahan dunia tentu mencatat nama besar Maradona, Beckenbauer, Cruyff, Pele, Roger Milla, Platini, Gullit, dan beberapa bintang lain. Tentu, bintang-bintang muda sepak bola juga siap menjadi legenda dengan torehan prestasi gemilang: Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Eden Hazard, Wayne Rooney, merupakan sederet pemain muda yang menjadi pangeran di klub ataupun tim nasional. Sepak bola juga memungkinkan hiburan spektakuler dengan suguhan perang strategi dan gaya permainan antartim: totaal voetbal ala Belanda, cattenaccio gaya Italia, jogo binoto tim Samba, hingga mazhab kick and rush yang dipraktikkan tim sepak bola bergaya mapan.

Namun, hukum kekekalan gaya sepak bola ini telah mencair dengan terobosan kepentingan dan gesekan identitas antarpemain. Strategi sepak bola sebuah tim tak sekadar ditopang oleh satu gaya permainan, namun mengadopsi berbagai model dengan kolaborasi teknik maupun taktik pelatih. Sepak bola sejatinya memungkinkan menebar misi humanis. Gabriel Garcia Marques menganggap jalan sastra sebagai ijtihad untuk membentuk identitas, kode budaya hingga politik kuasa. Sepak bola pun bisa membentuk sentimen nasionalisme, misi kedamainan hingga mencipta identitas pemain. Sepak bola dalam amatan Connie M Anderson (2009) mencipta ruang terhapusnya sentimen rasial. Filosofi permainan sepak bola dapat menjadi refleksi dan pesan untuk menghadirkan kedamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar