Pergeseran
Strategi Pengamanan TNI
Devi
Asmarani ; Penulis
lepas; Kolumnis untuk The Malay Mail Online
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Juni 2014
TNI baru-baru ini memulai satu
operasi gabungan Angkatan Laut dan Angkatan Udara untuk meningkatkan keamanan
perbatasan laut antara Indonesia dan Malaysia. Operasi gabungan bertajuk
Garda Wibawa 14 dilakukan dalam menghadapi ancaman di perairan Ambalat yang
diperebutkan oleh kedua negara.
Ada 1.200 personel TNI-AU dan
TNI-AL ditambah dengan bantuan pelengkap dari Angkatan Darat dan dipimpin
oleh Komandan Satuan Tugas Bersama Laksamana Muda Agung Pramono yang
merupakan Panglima Komando Armada Kawasan Timur Indonesia TNI-AL. Dalam kunjungan
ke Ambalat baru-baru ini, yang juga saya ikuti, Panglima TNI Jenderal
Moeldoko mengatakan dia berharap operasi tersebut bisa menumpas pelanggaran
garis batas laut antara Indonesia dan Malaysia dengan lebih efektif. Dia juga
mengatakan operasi bersama ini merupakan satu model bagi komando bersama
pengamanan wilayah yang akan diterapkan tahun ini juga.
Pelaksanaan operasi Garda Wibawa
satu tahun setelah Panglima TNI memangku jabatannya menimbulkan pertanyaan,
apakah memang ada peningkatan ancaman di perairan Ambalat yang selama hampir
30 tahun menjadi sengketa oleh Indonesia dan Malaysia ini?
Blok laut Ambalat terletak di
Laut Sulawesi, di lepas pantai Kalim antan Timur dan Negara Bagian Sabah,
Malaysia. Dengan luas sekitar 15.235 kilometer persegi, blok laut ini
diperebutkan karena potensi cadangan energinya yang tinggi. Berdasarkan satu
perkiraan, satu dari sembilan titik di Ambalat saja memiliki kandungan minyak
hingga 764 juta barel dan 1,4 triliun kubik kaki gas.
Pertikaian atas Blok Ambalat di
bagian Sulawesi ini mulai muncul pada 1979 setelah Malaysia mener bitkan peta
yang menetapkan per batasan darat dan laut secara sepi hak, dengan memasukkan
blok laut Ambalat sebagai bagian wilayahnya. Peta tersebut ditolak oleh
Indonesia dan Singapura. Masalah ini semakin menarik perhatian masyarakat
karena pada 2002 Pengadilan Inter nasional di Den Haag memutuskan Pulau
Sipadan dan Ligitan merupa kan bagian dari wilayah Malaysia. Meskipun
keputusan Pengadilan Internasional ini tidak terkait dengan pertikaian
mengenai garis batas di Laut Sulawesi antara Malaysia dan Indonesia ini,
Jakarta telah memin dahkan Sipadan dan Ligitan sebagai titik batas negara,
dengan meng gambar ulang garis batas dari pantai timur Kepulauan
Sebatik ke
Karang Unarang dan tiga titik lain. Akibatnya, Blok Ambalat tidak lagi
seluruhnya berada di dalam perairan Indonesia sehingga sebagian besar wilayah
laut menjadi `wilayah abu-abu'.
Saat ini, Indonesia dan Malaysia
masih melakukan perundingan bi lateral untuk menentukan batas laut di antara
kedua negara, satu proses yang rumit yang bisa memakan waktu hingga 30 tahun.
Sementara itu, klaim sepihak itu terus menjadi penyebab sejumlah ketegangan
per batasan seperti penahanan pekerja Indonesia di Karang Unarang dan
pengusiran nelayan Indonesia dari Ambalat oleh pihak berwenang Malaysia.
Ketegangan mencapai pun caknya beberapa tahun lalu ketika kedua negara
mengerahkan kapal perang dan kapal patroli masing masing.
Sudah dipastikan bahwa
pertikaian perbatasan laut ini penuh dengan kepentingan ekonomi strategis. Ma
laysia telah memberi konsesi untuk mengeksplorasi minyak di bagian bagian
blok itu kepada perusahaan minyak Shell dan Petronas, sementara Indonesia
memberi konsensi yang sama kepada ENI dan Unocal.
Sebuah jawaban
Sementara tidak ada peningkatan
ancaman di wilayah dalam beberapa waktu terakhir ini, operasi gabungan
militer Indonesia ini merupakan jawaban atas keperluan untuk me ningkatkan
keefektifan keamanan perbatasan laut. Sebelumnya selu ruh operasi dan latihan
militer di perbatasan laut dilakukan secara terpisah yang menghambat penye
baran informasi dan memperlambat reaksi militer terhadap tantangan tantangan
keamanan.
Menyatukan Angkatan Laut dan
Angkatan Udara untuk mengamankan perbatasan laut Indonesia-Malaysia dilakukan
guna memperpendek rantai komando sehingga reaksi yang diperlukan bisa
berjalan lebih cepat dan lebih akurat. Di bawah struktur baru ini, ketika
terjadi pelanggaran di perbatasan laut dan udara, Koman dan Operasi Garda
Wibawa bisa mengerahkan reaksi cepat dari sejumlah markas Angkatan Laut dan
Angkatan Udara, termasuk Skuadron Pesawat Intai dan Marinir, serta kapal
perang TNI dan gugus tugas intelijen dari Kodam VI/Mulawarman.
Yang lebih penting lagi, operasi
ini menjadi satu model bagi komando gabungan pertahanan wilayah yang akan
menyatukan sumber-sumber TNI-AL dan TNI-AU di lokasi-lokasi strategis untuk
mempertahankan in tegritas wilayah Indonesia. Menurut rencana, komando
gabungan ini akan berlokasi di Aceh, Natuna, Kepulauan Riau, Papua, dan
Atambua di Nusa Tenggara Timur.
Operasi Garda Wibawa ini menun
jukkan pergeseran prioritas strategi pertahanan TNI dan dalam mencermati
ancaman terhadap keamanan. Meskipun militer tetap memusatkan perhatian pada
tantangan-tantangan keamanan dalam negeri, ada persepsi lebih besar akan
perlunya memperkuat pendekatan-pendekatan wilayah pesisir TNI. Dalam sepuluh
tahun ke depan, TNI telah mempri oritaskan melakukan investasi dalam
kemampuan berperang di laut dan udara, sebagai penganti sistem perta hanan
militer era Perang Dingin yang sudah ketinggalan zaman.
Panglima TNI berulang kali me
nyebutkan kekhawatirannya atas potensi perlombaan senjata di antara
negara-negara Asia Tenggara dan di antara negara-negara adidaya, dan juga
klaim wilayah yang ambisius oleh Tiongkok di Laut China Selatan, yang salah
satunya bersinggungan dengan Kepulauan Natuna. TNI yang modern dan
profesional akan menun jukkan kemampuan Indonesia untuk melindung perairannya
yang luas dan kedaulatan wilayah secara keseluruhan, dan TNI telah
memperlihatkan komitmennya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Semoga
pemerintah baru yang akan datang juga akan menghormati komitmen ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar