Kamis, 19 Juni 2014

Dramatisasi Pemilihan Rektor

Dramatisasi Pemilihan Rektor

L Tri Setyawanta R  ;   Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  18 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DUA perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di Jawa Tengah akan menggelar suksesi kepemimpinan dalam waktu dekat. Pemilihan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) dijadwalkan pada akhir Juni ini, sedangkan Universitas Diponegoro (Undip) pada akhir tahun ini. Perbincangan mengenai siapa yang akan memimpin dua PTN tersebut mulai mengemuka pada civitas academica.

Sebenarnya, rektor bukan jabatan karier sehingga semua dosen tetap yang memenuhi syarat berhak dicalonkan. Pada perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah, Mendikbud melalui Permendikbud Nomor 33 Tahun 2012 telah mengkristalisasi persyaratan untuk menjadi rektor. Berdasarkan Pasal 4 peraturan itu, 8 syarat umum dan 2 syarat khusus masih dalam kategori standar minimal. Secara realistis, syarat itu tentu bisa dipenuhi oleh SDM yang dipunyai sebuah perguruan tinggi.

Terlebih lagi universitas besar. Persyaratan menjadi calon rektor yang tampaknya masih standar dan lugas bisa menjadi rumit dalam implementasinya. Kerumitan pertama adalah berbagai persyaratan administratif yang harus dilengkapi dan dikumpulkan oleh calon rektor.

Drama kontestasi rektor bisa mengarah pada situasi lebih rumit jika terjadi kontroversi interpretasi secara subjektif terhadap makna dari persyaratan tersebut. Misal mengenai syarat umum, yaitu “beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME”. Secara objektif sebenarnya tiap orang dapat memahami makna itu.

Namun apakah bisa ditafsirkan bahwa calon adalah seorang penganut agama tertentu? Bagaimana kalau ternyata penganut aliran kepercayaan, meski dalam KTP tercantum agama tertentu? Apakah bisa ditafsirkan bahwa asal calon bukanlah seorang ateis? Kontroversi intepretasi memang tidak mudah untuk dapat menuju pada satu titik temu. Justru yang terjadi adalah dramatisasi pilrek yang tentu akan menyita waktu dari tugas utama dosen dan memengaruhi jadwal tahapan pemilihan.

Dosen PNS Aktif

Syarat umum yang lebih sensitif, yaitu calon harus ’’dosen PNS aktifî. Syarat ini juga dapat menimbulkan kontroversi intepretasi, bergantung pendekatan intepretasi yang akan digunakan. Penafsiran secara tekstual sebenarnya lebih mudah dipahami dari bunyi teksnya.

Subjek yang ditekankan dalam syarat tersebut adalah dosen di perguruan tinggi, yang status kepegawaiannya PNS berdasarkan aturan yang berlaku. Ini untuk membedakan dari status kepegawaian lain dari dosen yang non-PNS atau non-PNS khusus, karena dikontrak atau dosen luar biasa dan dosen tamu.

Kalau mau lebih diperjelas dengan jeda koma, ejaannya adalah “dosen PNS, aktif”. Dosen dengan status PNS tersebut harus dalam kondisi sedang dan masih menjalankan tugas dan tanggung jawab Tri Darma Perguruan Tinggi sebagai kewajiban jabatan fungsionalnya.

Implikasinya tentu saja tunjangan fungsional, tunjangan profesi kalau sudah berhak, dan tunjangan kehormatan kalau ia seorang profesor, tunjangan khusus ataupun tunjangan kemaslahatan secara otomatis akan melekat sebagai hak yang harus dipenuhi.

Ketika dosen PNS menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai dosen, kemudian ditugaskan secara penuh di luar jabatan akademik karena diangkat dalam jabatan struktural. maka dosen itu harus dibebaskan sementara dari tugas jabatan akademik atau dinonaktifkan fungsinya sebagai dosen. Statusnya sebagai dosen PNS tetap diakui dan jabatan akademiknya masih tetap melekat tapi dalam kondisi nonaktif.

Dasar rasionalnya adalah untuk kepentingan optimalisasi kinerja, disiplin, dan akuntabilitas pejabat struktural dan karena keterbatasan kemampuannya sebagai seorang manusia. Karena itu, dosen PNS yang menduduki jabatan struktural secara penuh di luar jabatan akademik, tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik dirangkap dengan jabatan fungsional maupun jabatan struktural lainnya.

Sebaliknya, penafsiran dengan pendekatan teleologikal atau secara liberal tentu akan memberikan pemahaman berbeda. Dengan subjek pada PNS-nya, yang ejaannya ”dosen, pegawai negeri sipil aktif”, maka penekanannya adalah pada status PNS yang masih aktif dari seorang dosen.

Artinya, dosen yang sekalipun sedang ditugaskan secara penuh dalam jabatan struktural, yang tidak kehilangan statusnya sebagai PNS aktif, masih berhak untuk menjadi calon rektor. Hal itu disebabkan, dosen tersebut tidak sedang dalam pembebasan sementara dari jabatan strukturalnya itu, yaitu suatu jabatan organik atau jabatan negeri PNS atau tidak sedang diberhentikan sementara dari jabatan negeri PNS.

Demikian pula untuk dosen yang sedang menjalani tugas belajar lebih dari enam bulan, bisa dianggap masih memenuhi syarat sebagai calon rektor karena statusnya masih diakui sebagai PNS aktif .

Hal ini tentu akan bertentangan dari syarat umum lainnya yang telah ditentukan yaitu ”tidak sedang menjalani tugas belajar lebih dari enam bulan atau izin belajar dalam rangka studi lanjut yang meninggalkan tugas Tri Darma Perguruan Tinggi.” Jika tafsir ini dipertahankan, implikasi yang lebih luas lagi, siapa pun pejabat struktural atau bukan, asalkan statusnya masih PNS aktif yang kebetulan juga menjadi dosen meskipun dosen tidak tetap di suatu PTN, akan berhak pula menjadi calon rektor.

Nalar dan Nurani

Pada akhirnya, semua pihak yang berkepentingan sebenarnya masih mempunyai nurani yang bersih, dan tahu penafsiran mana yang dapat digunakan secara benar untuk kepentingan dan kemajuan institusi secara bersama. Secara filosofi, moral, dan sosiologis syarat ”dosen PNS aktif” menuntut bahwa calon rektor mempunyai pemahaman yang lebih mendalam mengenai situasi dan kondisi serta kebutuhan aktual dari institusi yang akan dipimpinnya.

Hal itu diperlukan untuk menentukan ke mana arah institusi pendidikan tinggi itu dibawa dalam masa depan. Bukankah setidak-tidaknya dia selalu bergumul secara internal dan intens di institusinya, dibanding dosen yang sementara nonaktif dan mengabdi di luar institusi? Resistensi internal bisa saja memicu kegaduhan andai tibatiba masuk calon dari luar hanya karena statusnya masih sebagai PNS sekaligus dosen.

Semoga semua pihak yang berkepentingan dapat secara arif dan bijak mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan rektor sebagai suatu proses demokratisasi di kampus, tanpa dramatisasi koalisi kontraktual yang perlahan diyakini memang sudah mulai basi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar