Demi
Taman Bunga Indonesia
Mochtar
Pabottingi ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
20 Juni 2014
DI
pengujung Mei kembali terjadi dua aksi kekerasan atas rumah ibadah atau
kegiatan beribadah. Semua terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kali ini,
kedua laku zalim itu menimpa saudara-saudara kita dari umat Katolik. Setiap
kali yang demikian terjadi kita sungguh prihatin. Lagi-lagi ini menuntut kita
semua—para pelaku, aparat keamanan, pemuka agama setempat, dan seluruh
komponen masyarakat—untuk kembali merenungkan keniscayaan, arti, etika, dan
tujuan pendirian negara kita, terutama pada hari-hari menjelang pesta
demokrasi guna membawa bangsa kita ke jalan kehidupan politik yang luhur.
Sangat
perlu ditekankan Republik Indonesia adalah kolektivitas negara-bangsa yang
tumbuh dari dan menghormati keberagaman; suatu keniscayaan di mana pun di
zaman modern. Di pengujung abad ke-19, Ernest Renan sudah merumuskan bahwa
bangsa pasti beragam. Sejak Sumpah Pemuda 1928, beragam suku, ras, daerah,
dan agama telah bertekad bersatu setara. Hanya di bawah prinsip kebangsaan
kita bisa hidup, berkiprah, serta maju bersama secara adil dan bermartabat.
Meninggalkan prinsip itu berarti merisikokan lenyapnya rasa-rasio kebajikan
persatuan serta rahmat hidup bersama dalam kehangatan keadaban dan
perdamaian.
Impian tunggal
Bersyukurlah
kita bahwa Indonesia ditegakkan kukuh oleh para Bapak Bangsa di atas prinsip
kesatuan dalam keberagaman. Melanjutkan tradisi Bhinneka Tunggal Ika yang
sejak abad ke-14 sudah bersemi di Nusantara, dengan prinsip itu pula para
Bapak Bangsa bersama-sama membayangkan, memperjuangkan, dan mengantar kita ke
alam Indonesia merdeka. Pada 1924, Bung Hatta sudah mencanangkan bahwa kita mustahil
merdeka tanpa menjalin persatuan lintas suku, etnis-ras, dan agama. Di atas
tekad itu pulalah Bung Karno merumuskan Pancasila. Cerdas menangkap
keniscayaan sejarah, mereka semua memiliki impian tunggal: keindonesiaan
sebagai taman bunga.
Indonesia
memang berevolusi, dibentuk, diperjuangkan, dan dipertahankan secara
multisuku bangsa, multiagama, multibahasa (dengan satu bahasa persatuan),
multisuku budaya, bahkan multiras. Kita mustahil merdeka dan tetap
mempertahankan kemerdekaan hingga kini tanpa menjunjung prinsip keberagaman
dalam berbangsa. Tanpa itu mungkin sudah sejak puluhan tahun lalu Indonesia
terhapus dari peta sejarah.
Begitu
kita semua kembali ke dalam kubangan primordial masing-masing itu sekaligus
berarti pengerdilan inklusivisme dan pembesaran laku ”seperti katak dalam
tempurung”. Simpulnya adalah pencampakan Pancasila. Pepatah leluhur ”bersatu
kita teguh bercerai kita runtuh” bukanlah omong kosong. Sekali kita pecah,
perpecahan akan menggelinding bagai bola salju dan menggilas kita semua ke
dalam kemusnahan. Prospek terbesar dari pembubaran bangsa tak lain adalah
kembalinya kita ke alam penjajahan sepenuhnya oleh negara-negara atau
kekuatan-kekuatan ekonomi-politik raksasa.
Di sini
gagasan Bung Hatta kembali bergema: hanya dengan persatuan kita bisa merebut
kemerdekaan. Makna ikutannya, hanya dengan persatuan pula kita bisa
mempertahankan kemerdekaan. Dan persatuan yang kita maksud selalu adalah
persatuan dalam keikhlasan menerima dan bertolak dari sikap saling menerima,
saling peduli, dan saling memuliakan harkat lintas sekat-sekat primordial.
Hidup di
dalam keberagaman bukanlah pilihan. Itu keniscayaan. Itu hukum Tuhan.
Seniscaya dan sehukum dengan matahari terbit di timur dan terbenam di barat.
Umat manusia berbeda-beda bukan hanya dalam arti bahwa Tuhan memang
menciptakan mereka demikian, melainkan juga bahwa Tuhan mengodratkan kimiawi
jiwa manusia untuk gandrung dan bolak-balik pada hasrat akan kesamaan dan
hasrat akan perbedaan itu. Selain itu, setiap saat bergantung pada tingkat kematangan
atau kekerdilan akal budinya.
Dibawakan
ke iman Islam, Allah menegaskan—di dalam Al Quran—bahwa andai kata Dia
menciptakan umat manusia hanya sebagai satu umat, mereka akan tetap saling
bertikai. Penyebabnya tak lain adalah hawa nafsu untuk mendaku Tuhan sebagai
milik umat atau golongan sendiri. Dalam hal ini, Al Quran kembali memancarkan
cahaya kearifannya: ”Tak boleh ada paksaan dalam agama. Kebenaran sudah
tampak terang benderang dibandingkan dengan kesesatan”.
Dalam
konteks inilah pesan terdalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebetulnya tak
lain adalah kemahapengasihan Tuhan meliputi seluruh umat dan makhluk.
Lantaran zat atau eksistensi-Nya tak terbatas, Dia mustahil didaku sendiri
oleh umat atau golongan mana pun. Sebab, begitu suatu umat mendaku Tuhan
sebagai miliknya sendiri, pada saat itu pula mereka melecehkan Tuhan sebagai
bisa dimiliki dan karena itu terbatas. Pada saat itu pula iman mereka
tersesat. Tuhan yang lebih dekat dari urat leher kita itu adalah ”Ada” yang
mustahil terjangkau, apalagi terangkum oleh makhluk-Nya yang mana pun.
Sejarah
umat Islam sendiri, terutama begitu Rasulullah SAW wafat, beratus tahun
bersimbah darah pertikaian karena dorongan hawa nafsu pendakuan Islam untuk
pihak sendiri. Dan di dunia Muslim kenyataan hitam kelam ini berlangsung
hingga kini. Contoh paling mutakhir adalah perilaku Boko Haram di Nigeria dan
saling bantai Sunni-Syiah di Irak. Sulit mencari yang lebih biadab, yang
lebih tak Islami daripada rangkaian laku keji dan nista demikian.
Kembali ke Pancasila
Di Tanah
Air, masih ingatkah kita bagaimana warga Muhammadiyah pernah pecah ke dalam
dua kubu: Partai Amanat Nasional dan Partai Matahari Bangsa? Atau bagaimana
sesama warga nahdliyin, dari Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Kebangkitan
Ummat ”saling bunuh” pada Pemilu 1999? Kita bisa memastikan bahwa kaum
Muslimin bukanlah satu-satunya umat beragama yang tiada hentinya saling
bertikai, baik terbuka maupun diam-diam. Mayoritas penyebabnya tak lain
adalah laku saling mengafirkan ataupun tarikan kepentingan-kepentingan
materi.
Satu-satunya
jalan untuk membangun ”Taman Bunga
Keindonesiaan” bukan hanya menolak terjebak dalam penajaman perbedaan
primordial, melainkan juga kembali kepada semangat Pancasila. Kita dituntut
mewujudkan secara ideal setiap sila di dalamnya yang memberikan ruang hidup
setara dan bermartabat bagi segenap warga-bangsa.
Di sini
sangatlah penting bagi kita untuk sepakat dalam dua penempatan filosofis atas
Pancasila. Pertama, setiap sila di dalamnya harus diterima dalam artinya yang
lapang dan inklusivistik. Kedua, kelima sila di dalamnya juga harus diterima
dalam keterpaduan atau konvergensinya satu sama lain, bukan dalam hierarki
atau potensi keterpecahan dan divergensinya. Kedua penempatan filosofis ini
pula yang membuat Pancasila diterima oleh semua pihak dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni
1945.
Penyerangan
terhadap umat ataupun rumah ibadah agama apa pun, yang secara konstitusional
memiliki hak hidup di negeri kita, pastilah sangat tak patut dan bisa
mengancam keselamatan republik kita. Apalagi di tengah suasana pemilihan umum
presiden. Begitu pula penggunaan metafor ”perang” yang sungguh tidak pada
tempatnya dalam kaitan dengan mekanisme utama demokrasi tersebut karena
metafor demikian sangat mudah tergelincir atau menggelincirkan.
Pemilihan
umum haruslah kita jadikan momentum untuk menjernihkan kembali ideal-ideal
kita bernegara dan berbangsa. Dengan demikian, kita dapat memilih pasangan
kandidat kepresidenan yang paling setia membela prinsip keberagaman,
inklusivisme, dan semangat persaudaraan sebangsa. Sebab, hanya dengan jalan
itu bangsa kita bisa selamat.
Hanya
dengan kehangatan solidaritas kebangsaan kita bisa menemukan modus vivendi
bagi koeksistensi kita pada ranah dan bidang apa pun. Segenap memori teror
yang masih atau berpeluang melekat pada diri kita masing-masing, apalagi pada
salah satu atau pada kedua pasangan kandidat kepresidenan, segenap
tanda-tanda masih bertahannya militerisme atau kecenderungan otoriter, setiap
indikasi pengkhianatan pada amanat Reformasi, haruslah dihadapkan pada
tuntutan transparansi dan dimintai pertanggungjawaban sebelum terlambat.
Saat
menyongsong Pilpres 2014, momentum bagi ”Taman Bunga Keindonesiaan” akan
lebih mudah tercapai jika semua warga negara memilih secara bertanggung
jawab. Patut ditekankan bahwa dalam iman agama mayoritas di negeri ini (yang
di tingkat menengah ke bawah banyak dijadikan ladang kampanye sarat fitnah),
memilih tak lain adalah bersaksi. Salah satu pesan sentral Tuhan dalam Al
Quran tak lain agar kita berlaku seperti tuntutan untuk menegakkan timbangan
dalam jual-beli, kita pun dituntut bersaksi secara adil dan benar dalam
soal-soal yang jauh lebih besar. Sebab, pada hari kemudian semua timbangan dan
kesaksian akan dituntut pertanggungjawabannya.
Hanya
dengan tingkat kewaspadaan demikian bangsa kita bisa tetap terjamin melangkah
menuju ”Taman Bunga Keindonesiaan”.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar