Catatan
Sembilan Tahun Asas Cabotage
Carmelia
Hartoto ; CEO Andhika Lines, Ketua Umum INSA,
Wakil Ketua Umum
Kadin Bidang Logistik
|
KORAN
SINDO, 03 Juni 2014
Dalam
diskursus kemaritiman, istilah asas cabotage (kegiatan angkutan laut dalam
negeri wajib menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak
berkebangsaan Indonesia) sesungguhnya sudah tidak asing lagi.
Negara
maju seperti Amerika Serikat (AS), China, Jepang, Kanada, Brasil, Australia,
sejumlah negara di Eropa, bahkan Afrika, sudah menerapkan asas cabotage jauh
sebelum Indonesia. Dengan demikian, sebagai sebuah bangsa dan negara maritim
(archipelago), Indonesia bukanlah
negara pertama yang menganut prinsip cabotage
atas angkutan lautnya. Namun, pelaksanaan asas cabotage di Indonesia memiliki catatan yang sangat menarik karena
diberlakukan di tengah derasnya arus liberalisasi perdagangan global. Meski
demikian, dalam sembilan tahun asas cabotage , negara dan masyarakat
Indonesia sudah menerima dampak positifnya, baik dari sisi ekonomi maupun
pertahanan dan keamanan.
Asas Kedaulatan
Asas
cabotage di Indonesia diterapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun
2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inpres ini kemudian
diperkuat dengan UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran. Pasal 8 ayat 1 UU Nomor
17/2008 menegaskan, kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh
perusahaan angkutan laut nasional menggunakan kapal berbendera Indonesia
serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Di dalam
penjelasannya, undangundang itu menegaskan, penggunaan kapal berbendera
Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dimaksudkan dalam rangka
pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignty) dan mendukung perwujudan
wawasan Nusantara sekaligus memberikan kesempatan berusaha bagi perusahaan nasional.
Dalam
konteks kehidupan bernegara, pelaksanaan asas cabotage bagi negara-negara
yang memiliki wilayah laut yang sangat luas merupakan implementasi dari
kedaulatannya. Inilah yang menjadi alasan mengapa banyak negara di dunia,
termasuk Indonesia, menganut asas cabotage. Sebab, negara sangat diuntungkan
ketika sektor pelayaran dipegang oleh bangsanya sendiri. Kapal-kapal yang
melayani angkutan dalam negerinya juga dimiliki oleh warga negaranya sendiri
sehingga ketika negara dalam kondisi darurat kapal-kapal tersebut siap
dikerahkan untuk mempertahankan kedaulatan. Kondisi ini akan berbeda jika
kapal-kapal yang melayani kegiatan angkutan domestik dimiliki oleh perusahaan
luar negeri karena pada saat negara dalam kondisi darurat, mereka dengan mudah
dapat kembali ke negara masing-masing. Mereka akan mudah menyatakan situasi
di negeri ini sudah tidak menguntungkan lagi.
Dampak Ekonomi
Dalam
konteks perekonomian, pelaksanaan asas cabotage memiliki dampak yang sangat
besar. Tidak hanya sektor kemaritiman, sektor ekonomi lain seperti perbankan,
keuangan, asuransi, tenaga kerja, logistik, perdagangan dan usaha bongkar
muat turut merasakan dampak positif kebijakan ini. Sulit membayangkan
bagaimana kondisi sektor transportasi laut di Indonesia tanpa asas cabotage .
Indonesian National Shipowners Association (INSA) mencatat, 10 tahun lalu
populasi kapal asing di perairan Indonesia lebih dominan dibandingkan kapal
berbendera Merah Putih. Kapal-kapal berbendera selain Merah Putih menguasai
44,5% volume muatan laut dalam negeri, bahkan mengendalikan 95% volume muatan
laut luar negeri (ekspor dan impor).
Kondisi
itu menyebabkan Indonesia kehilangan potensi ekonomi dari ongkos angkut
hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun. Kondisi itu cukup menjadi
keprihatinan kita bersama sebagai bangsa. Penguasaan asing atas kegiatan
transportasi laut dalam negeri telah menimbulkan kerugian yang berlipat ganda
bagi masyarakat Indonesia. Sebagai gambaran, tarif pengiriman barang pada
angkutan laut domestik sebelum asas cabotage jauh lebih mahal dibandingkan
sekarang. Data INSA mengungkapkan, pada 2005, tarif pengiriman peti kemas
pada rute Jakarta- Belawan mencapai Rp7 juta- 8 juta per TEUs, sedangkan
sekarang turun menjadi Rp4 juta hingga Rp4,5 juta per TEUs. Kondisi yang sama
juga terjadi pada rute-rute lain seperti pengiriman peti kemas ke Jayapura,
Sulawesi, dan sebagainya.
Penurunan
ongkos angkutan laut itu bukan karena didorong oleh penurunan tarif di
pelabuhan maupun peningkatan produktivitas pelabuhan, tetapi karena
meningkatnya volume perdagangan sehingga memicu terjadinya evolusi penggunaan
kapal ke yang lebih besar. Selain itu, pelaku usaha pelayaran juga melakukan
subsidi silang dari kegiatan lainnya seperti ship management , keagenan
hingga crew mining . Bisa dikatakan, dinamika ekonomi berbasis kemaritiman
mengalami perubahan, bahkan pelayaran telah tumbuh menjadi backbone
pertumbuhan perekonomian dari sektor maritim sehingga kapal berbendera Merah
Putih kini telah mengendalikan kegiatan angkutan laut domestik dan mulai
merangsek ke angkutan ekspor dan impor.
Di sisi
lain, masyarakat sudah bisa menikmati akses konektivitas nasional, tarif
angkutan yang semakin kompetitif, infrastruktur transportasi laut yang terus
berkembang, aktivitas perdagangan yang meningkat hingga lapangan pekerjaan
yang terus bertumbuh. Hanya saja, kemajuan industri pelayaran saat ini belum
diimbangi percepatan peningkatan infrastruktur logistik seperti pelabuhan,
akses jalan dari dan ke pelabuhan hingga konektivitas logistik di darat.
Akibatnya, meskipun tarif angkutan laut sudah sangat kompetitif, biaya
logistik secara keseluruhan masih tinggi.
Penguatan Kebijakan
Terlepas
dari dialektika yang ada dan success story asas cabotage , pelaksanaan
prinsip ini di Indonesia sesungguhnya masih belum optimal. Sebab akselerasi
pelayaran dapat dimaksimalkan jika ada kemauan politik yang lebih besar untuk
memberdayakan industri pelayaran dan perkapalan. Sebagai gambaran, banyak
kebijakan fiskal yang tidak lazim diterapkan pada sektor pelayaran di dunia,
tetapi hingga kini masih dibebankan kepada pelayaran dan perkapalan nasional
seperti pengenaan PPN atas kegiatan bongkar muat barang/kontainer dan PPN
atas pembelian BBM kapal.
Di
sektor moneter, beban bunga pinjaman dari perbankan atau lembaga pembiayaan
di Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain, bahkan
tidak sedikit perusahaan pelayaran yang mendapatkan bunga pinjaman pembiayaan
untuk pembelian kapal hingga 13%. Karena itu, diperlukan kerangka kebijakan
yang lebih kuat dan setara sebagaimana negara-negara penganut asas cabotage
di belahan dunia lain, baik mencakup kebijakan fiskal dan perpajakan, moneter
dan keuangan, maupun kebijakan teknis serta infrastruktur penunjang lainnya.
Penulis optimistis, kebijakan yang kuat dan setara akan mendorong
akselerasi pelayaran sehingga konektivitas antarpulau di Indonesia semakin
efektif dan mampu mendorong investasi industri di luar Pulau Jawa. Ke depan,
sektor ini harus memiliki daya saing yang kuat di dalam negeri maupun luar
negeri sebagai representasi atas kedaulatan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar