Kamis, 19 Juni 2014

Anak sebagai Saksi Korban

Anak sebagai Saksi Korban

Irwanto  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya;
Co-director Pusat Perlindungan Anak FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS,  19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DENGAN semakin banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terungkap, akan semakin besar kemungkinan anak akan diajukan sebagai saksi korban dalam sistem peradilan nasional. Karena sifat permasalahannya, memang sering kali bukti utama dari tindak kejahatan seksual adalah korban itu sendiri berapa pun usianya. Kenyataan ini menjadi sangat dilematis bagi aktivis dan orang-orang yang peduli pada perlindungan anak. Kontak dengan sistem peradilan merupakan pengalaman yang traumatis bagi orang dewasa, apalagi anak-anak. Karena itu, dibutuhkan persiapan kelembagaan dan profesional untuk mengampu kepentingan terbaik anak.

Perlindungan anak sebagai saksi dalam UU

Pasal 64 Ayat (3) Huruf c UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menekankan jaminan keselamatan anak sebagai saksi. UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban tidak secara spesifik membahas mengenai saksi korban yang masih anak-anak (di bawah 18 tahun). UU ini hanya memastikan adanya jaminan terhadap harkat dan martabat, keselamatan, tidak ada tindakan diskriminatif, dan adanya kepastian hukum (Pasal 3).

Pasal 1 Ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan, ”Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”.

Dalam Pasal 5 Ayat (2) Huruf b UU No 11/2012, tidak ditentukan berapa batas usia anak yang dianggap layak untuk memberikan kesaksian. Yang jelas anak dapat diajukan sebagai saksi dalam sistem peradilan umum yang menyangkut anak. Tidak ada penjelasan khusus mengenai prosedur acara untuk melindungi saksi korban.

Perlindungan secara umum dilakukan melalui upaya melindungi identitas anak (dari media massa) dari perlakuan pemaksaan dan intimidasi. Pemeriksaan dilakukan di ruangan tertutup (dapat dibuat sidang tertutup untuk umum) dan dipisahkan dari orang dewasa dan perlu pendampingan profesional.

Pasal 58 UU No 11/2012 menyatakan, anak sebagai saksi dapat didengar pendapatnya melalui perekaman elektronik yang dilakukan pembimbing kemasyarakatan yang dihadiri penyidik, jaksa penuntut umum, dan advokat. Selain itu, keterangan saksi dapat diperoleh melalui pemeriksaan jarak jauh melalui alat komunikasi audiovisual dengan pendampingan orangtua dan pembimbing kemasyarakatan.

Kesiapan lembaga peradilan

Salah satu kekhawatiran penulis adalah tidak siapnya lembaga peradilan yang terbiasa memeriksa saksi korban dewasa. Dalam Pasal 43 Ayat (2) Huruf a, b, dan c UU No 11/2012 memang dicantumkan syarat-syarat hakim (berpengalaman, mempunyai minat, dedikasi tentang anak, dan sebagainya) jika memimpin sidang peradilan anak. Bagaimana dengan memimpin sidang kriminal dewasa dengan saksi anak? Bagaimana dengan syarat-syarat penyidik (polisi dan jaksa)?

Semua masih di area abu-abu. Apakah kantor pengadilan yang ditunjuk mempunyai fasilitas perlindungan bagi anak (ruang terpisah, peralatan audio visual, dan lain-lain)? Mampukah lembaga peradilan mengisolasi sidangnya dari pemburu berita?

Orangtua, advokat, pekerja sosial profesional, dan pekerja balai pemasyarakatan adalah pihak-pihak yang mempunyai mandat hukum untuk mendampingi anak. Apakah mereka siap melakukan tugas mereka secara profesional untuk mencegah dampak terburuk pada anak saat penggelaran perkara dan proses kesaksian ketika anak diingatkan kembali mengenai peristiwa traumatis yang menimpanya?

Sering kali orangtua yang sangat bersemangat, terapis, dan penasihat hukumnya akan ”membantu” atau meng-coach anak untuk memberikan keterangan tertentu dengan cara tertentu dengan tujuan untuk memenangi perkara. Mereka tidak sadar sedang melakukan kekerasan dalam bentuk pemaksaan dan intimidasi halus.

Di bawah tekanan seperti itu, pengalaman sebagai saksi akan lebih traumatis. Apalagi jika keterangannya kemudian tidak dipercaya karena dianggap sudah direkayasa atau coached, anak akan hancur harga dirinya. Kejadian seperti ini sering terjadi karena fokusnya adalah untuk memenangi perkara, bukan untuk melindungi anak.

Perlu sangat hati-hati
Jika perlindungan anak yang menjadi prioritas, orangtua akan berpikir seribu kali sebelum memperbolehkan anak bersaksi. Saksi dibutuhkan jika probabilitas untuk menangkap pelaku kejahatan sangat tinggi. Jika tidak, lebih baik diupayakan bukti-bukti lainnya dahulu.

Sebagai tanggung jawab etis lembaga peradilan, polisi, jaksa, dan hakim juga harus ekstra hati-hati dalam memproses kesaksian anak. Pertama, memastikan bahwa anak mampu dan layak untuk memberikan kesaksian berdasarkan usia, kecerdasan, kesehatan emosi, dan stabilitas berpikir anak. Siapa yang memastikan hal ini? Psikolog mungkin dapat membantu, tetapi mereka yang mempunyai kapasitas seperti ini tidak banyak.

Kajian komprehensif berbagai penelitian dan perkara yang melibatkan anak-anak sebagai saksi (Ceci dkk, 1993 dalam tulisannya berjudul Lost of Innocence) menunjukkan, anak-anak adalah sumber data yang dapat dipercaya, tetapi sekaligus sangat rentan terhadap sugesti dan tekanan. Hasil akhirnya adalah anak dapat menjadi saksi korban yang dipercaya, tetapi risiko dan ongkosnya sangat tinggi karena dengan mudah kesaksian akan dianulir oleh ahli hukum.

Para peneliti mewanti-wanti praktisi hukum untuk mempertimbangkan akibat-akibat yang merugikan anak jangka panjang dibanding apa yang dapat dicapai di hadapan hukum. Jika semua ini tidak dapat dihindari, marilah memastikan bahwa perlindungan terhadap anak menjadi
pertimbangan pertama dan utama.

Menarik untuk disimak bahwa Kementerian Kehakiman di Inggris menerbitkan booklet berjudul Your Child is a Witness (2011) untuk membantu orangtua menyiapkan diri dan anaknya menghadapi proses hukum di pengadilan. Semoga best practice seperti ini dilakukan oleh lembaga peradilan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar