Senin, 21 April 2014

Uang Bicara, Rakyat Menang(is)

Uang Bicara, Rakyat Menang(is)

Iman Sugema  ;   Ekonom IPB
REPUBLIKA, 16 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Berkaitan dengan pemilu legislatif kali ini, seorang teman bertanya-tanya apakah bisa uang dipakai untuk "membeli" hati rakyat? Dia menilai bahwa kehadiran para pengusaha kelas kakap sebagai "pembesar" partai-partai tertentu sudah sangat mengkhawatirkan. Katanya, demokrasi yang susah payah kita bangun sebagai buah reformasi terancam gagal menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mampu merepresentasikan kepentingan rakyat. Katanya, yang akan dikedepankan adalah kepentingan bisnis para cukong.

Pertanyaan itu bisa kita jawab dari dua sisi, yakni sisi normatif teoretis dan secara empiris melalui pengamatan terhadap realitas yang terjadi dalam pemilu. Secara teoretis, ilmu ekonomi memiliki kerangka analisis yang bisa digunakan untuk mencermati fenomena tersebut. Teori yang dipakai adalah principal-agent problem. Secara empiris, walaupun kita tidak memiliki data kuantitatif, bisa saja kita menarik kesimpulan kualitatif mengenai efektivitas pengaruh uang terhadap perolehan suara.

Ilmu sosial memiliki metode induksi untuk menjawab ini. Pertama, secara teoretis principal-agent problem mengatakan bahwa tidak selamanya orang yang menjadi representasi atau wakil (agent) memiliki kepentingan yang sama dengan orang yang diwakilinya (principal). Kata tidak selamanya perlu digarisbawahi karena merupakan kata kunci dan memiliki frekuensi dari jarang atau kadang-kadang sampai sering kali. Secara harfiah kita bisa menafsirkan bahwa wakil rakyat yang kita pilih bisa jadi kadang-kadang atau seringkali tidak memiliki kepentingan yang sama dengan rakyat.

Teori ini cukup powerful dalam menjelaskan mengapa keputusan dan tindakan yang diambil oleh para anggota DPR dan DPRD tidak mengedepankan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Jawabannya sederhana, itu karena secara alamiah bisa terjadi conflict of interest antara wakil rakyat dan rakyat. Kepentingan pribadi atau kelompok dipandang lebih penting dibandingkan dengan memperjuangkan kepentingan rakyat. Keuntungan pribadi atau kelompok, baik secara moneter maupun nonmoneter, bisa jadi merupakan insentif utama dalam proses pengambilan keputusan di parlemen. Kita sudah banyak menyaksikan peristiwa semacam ini. Buktinya sederhana, sudah banyak politikus kondang yang menjadi "tamu" di KPK.

Teori itu sendiri sebetulnya berlaku umum, tidak memandang apakah sebuah partai dicukongi oleh para pengusaha atau tidak. Tidak pula peduli apakah seorang politikus merangkap sebagai pengusaha atau tidak. Semua politikus memiliki "potensi" untuk tidak amanah. Kalau kita lihat "tamu politikus" di KPK ternyata tidak semuanya yang berlatar belakang pengusaha. Ada juga politikus murni yang "memonetisasi" kekuasaan yang mereka pegang.

Untuk mengurangi akibat buruk dari konflik kepentingan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya, di negara-negara yang sistem demokrasinya sudah mapan, partai politik pada umumnya memiliki ideologi dan arah kebijakan yang jelas. Di Amerika Serikat, misalnya, Partai Demokrat selalu mengedepankan kebijakan ekonomi yang konservatif, sedangkan Partai Republik lebih liberal.
Dalam isu sosial, Partai Demokrat lebih liberal dibandingkan Partai Republik yang biasanya cenderung konservatif. Namun, tetap saja dalam sistem yang sudah mapan sekalipun, selalu ada kasus di mana kepentingan publik dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan bisnis atau kepentingan kelompok. Bukankah suap politik kadang juga terjadi di negara maju? Bedanya, mereka tidak separah dengan yang terjadi di negeri kita.

Kedua, secara empiris di lapangan kita setidaknya meng amati dua fenomena yang menarik untuk dikaji. Fenomena yang pertama adalah membeludaknya ribuan pengusaha yang menjadi calon anggota legislatif, baik DPR maupun DPRD. Fenomena yang kedua adalah pengusaha kelas kakap saat ini "lebih terang-terangan" aktif di partai politik dengan mengerahkan kekuatan bisnisnya secara penuh. Ada yang menjadi capres, cawapres, dan ada juga yang menempati posisi puncak partai secara instan.

Fenomena yang pertama dapat dijelaskan secara sederhana bahwa apa pun motif pribadinya, pengusaha lokal atau nasional adalah pihak yang memiliki sumber daya keuangan untuk membiayai kampanye minimal untuk dirinya. Sistem demokrasi yang kita terapkan memang terlalu mahal. Sistem dapil telah menyebabkan biaya kampanye menjadi begitu besar karena wilayah yang harus diperebutkan mencakup tujuh sampai sembilan kursi. Untuk itu, sistem distrik dengan hanya satu kursi yang diperebutkan bisa menjadi alternatif. Dengan sistem ini, seorang politikus cukup berkampanye di wilayah yang sempit.

Dalam konteks lokal, politikus seringkali terjebak dengan kenyataan praktis bahwa suara rakyat bisa dibeli dengan uang dan sembako. Kalau sudah begini, uang menang, rakyat menangis. Karena suara bisa dibeli, selesai sudah kewajiban politikus untuk memperjuangkan rakyat yang diwakilinya. Yang jadi perhatian utama adalah bagaimana mengembalikan modal yang tercebur selama kampanye.

Fenomena yang kedua bisa dijelaskan dengan menggunakan tiga motif utama konglomerat aktif di partai, yaitu motif suci, motif proteksi bisnis, dan motif pengembangan bisnis. Motif suci adalah yang selalu didengungkan oleh pengusaha-politisi, yakni ingin berkontribusi secara lebih nyata pada kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa. Kalau Anda tanya 100 pengusaha mengenai hal ini, akan ada 200 pengusaha yang memberikan jawaban motif suci. Intinya, motif ini tidak bisa diuji dengan mengajukan pertanyaan. Jawabannya hanya bisa ditemukan ketika mereka sedang ikut berkuasa. Setahu saya, ada segelintir pengusaha yang secara genuine sudah terbukti memiliki motif ini.

Motif proteksi bisnis muncul karena pengusaha yang bersangkutan merasa lebih murah untuk membiayai partai ketimbang melayani praktik "minta sumbangan" dari berbagai pihak. Ini bisa dilihat dengan cara menelusuri informasi apakah yang bersangkutan sedang mengalami masalah hukum-bisnis, atau apakah bisnisnya sangat rentan terhadap perubahan peta politik. Kalau bisnisnya sangat tergantung pada peta politik, dia harus mencari pelindung yang cukup kuat. Dalam situasi di mana kepastian hukum kurang terjamin, proteksi politik menjadi alternatif yang murah.

Motif pengembangan usaha merupakan hal yang sangat berbahaya. Karena, negara memiliki sumber daya yang begitu melimpah untuk di monetisasi melalui kekuatan politik, menjadi sangat mungkin bagi sekelompok orang untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya melalui aktivitas politik. Pengusaha jenis ini, dalam berbagai skala, merupakan ancaman bagi demokrasi. Kalau ini yang terjadi, rakyat wajib menangis sederas hujan yang terjadi di Bogor setiap hari.

Fenomena mana yang banyak terjadi sekarang ini? Tanyalah pada hati Anda sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar