Uang
Bicara, Rakyat Menang(is)
Iman Sugema ; Ekonom IPB
|
REPUBLIKA,
16 April 2014
Berkaitan
dengan pemilu legislatif kali ini, seorang teman bertanya-tanya apakah bisa
uang dipakai untuk "membeli" hati rakyat? Dia menilai bahwa
kehadiran para pengusaha kelas kakap sebagai "pembesar"
partai-partai tertentu sudah sangat mengkhawatirkan. Katanya, demokrasi yang
susah payah kita bangun sebagai buah reformasi terancam gagal menghasilkan
wakil-wakil rakyat yang mampu merepresentasikan kepentingan rakyat. Katanya,
yang akan dikedepankan adalah kepentingan bisnis para cukong.
Pertanyaan
itu bisa kita jawab dari dua sisi, yakni sisi normatif teoretis dan secara
empiris melalui pengamatan terhadap realitas yang terjadi dalam pemilu.
Secara teoretis, ilmu ekonomi memiliki kerangka analisis yang bisa digunakan
untuk mencermati fenomena tersebut. Teori yang dipakai adalah principal-agent problem. Secara
empiris, walaupun kita tidak memiliki data kuantitatif, bisa saja kita menarik
kesimpulan kualitatif mengenai efektivitas pengaruh uang terhadap perolehan
suara.
Ilmu
sosial memiliki metode induksi untuk menjawab ini. Pertama, secara teoretis principal-agent problem mengatakan
bahwa tidak selamanya orang yang menjadi representasi atau wakil (agent) memiliki
kepentingan yang sama dengan orang yang diwakilinya (principal). Kata tidak selamanya perlu digarisbawahi karena
merupakan kata kunci dan memiliki frekuensi dari jarang atau kadang-kadang
sampai sering kali. Secara harfiah kita bisa menafsirkan bahwa wakil rakyat
yang kita pilih bisa jadi kadang-kadang atau seringkali tidak memiliki
kepentingan yang sama dengan rakyat.
Teori
ini cukup powerful dalam
menjelaskan mengapa keputusan dan tindakan yang diambil oleh para anggota DPR
dan DPRD tidak mengedepankan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Jawabannya
sederhana, itu karena secara alamiah bisa terjadi conflict of interest antara wakil rakyat dan rakyat. Kepentingan
pribadi atau kelompok dipandang lebih penting dibandingkan dengan memperjuangkan
kepentingan rakyat. Keuntungan pribadi atau kelompok, baik secara moneter
maupun nonmoneter, bisa jadi merupakan insentif utama dalam proses
pengambilan keputusan di parlemen. Kita sudah banyak menyaksikan peristiwa
semacam ini. Buktinya sederhana, sudah banyak politikus kondang yang menjadi
"tamu" di KPK.
Teori
itu sendiri sebetulnya berlaku umum, tidak memandang apakah sebuah partai dicukongi
oleh para pengusaha atau tidak. Tidak pula peduli apakah seorang politikus merangkap
sebagai pengusaha atau tidak. Semua politikus memiliki "potensi"
untuk tidak amanah. Kalau kita lihat "tamu politikus" di KPK ternyata
tidak semuanya yang berlatar belakang pengusaha. Ada juga politikus murni
yang "memonetisasi" kekuasaan yang mereka pegang.
Untuk
mengurangi akibat buruk dari konflik kepentingan antara wakil rakyat dan
rakyat yang diwakilinya, di negara-negara yang sistem demokrasinya sudah
mapan, partai politik pada umumnya memiliki ideologi dan arah kebijakan yang
jelas. Di Amerika Serikat, misalnya, Partai Demokrat selalu mengedepankan
kebijakan ekonomi yang konservatif, sedangkan Partai Republik lebih liberal.
Dalam
isu sosial, Partai Demokrat lebih liberal dibandingkan Partai Republik yang
biasanya cenderung konservatif. Namun, tetap saja dalam sistem yang sudah
mapan sekalipun, selalu ada kasus di mana kepentingan publik dimanipulasi
sedemikian rupa untuk kepentingan bisnis atau kepentingan kelompok. Bukankah
suap politik kadang juga terjadi di negara maju? Bedanya, mereka tidak
separah dengan yang terjadi di negeri kita.
Kedua,
secara empiris di lapangan kita setidaknya meng amati dua fenomena yang
menarik untuk dikaji. Fenomena yang pertama adalah membeludaknya ribuan
pengusaha yang menjadi calon anggota legislatif, baik DPR maupun DPRD.
Fenomena yang kedua adalah pengusaha kelas kakap saat ini "lebih terang-terangan"
aktif di partai politik dengan mengerahkan kekuatan bisnisnya secara penuh.
Ada yang menjadi capres, cawapres, dan ada juga yang menempati posisi puncak
partai secara instan.
Fenomena
yang pertama dapat dijelaskan secara sederhana bahwa apa pun motif pribadinya,
pengusaha lokal atau nasional adalah pihak yang memiliki sumber daya keuangan
untuk membiayai kampanye minimal untuk dirinya. Sistem demokrasi yang kita
terapkan memang terlalu mahal. Sistem dapil telah menyebabkan biaya kampanye
menjadi begitu besar karena wilayah yang harus diperebutkan mencakup tujuh
sampai sembilan kursi. Untuk itu, sistem distrik dengan hanya satu kursi yang
diperebutkan bisa menjadi alternatif. Dengan sistem ini, seorang politikus
cukup berkampanye di wilayah yang sempit.
Dalam
konteks lokal, politikus seringkali terjebak dengan kenyataan praktis bahwa
suara rakyat bisa dibeli dengan uang dan sembako. Kalau sudah begini, uang
menang, rakyat menangis. Karena suara bisa dibeli, selesai sudah kewajiban
politikus untuk memperjuangkan rakyat yang diwakilinya. Yang jadi perhatian
utama adalah bagaimana mengembalikan modal yang tercebur selama kampanye.
Fenomena
yang kedua bisa dijelaskan dengan menggunakan tiga motif utama konglomerat
aktif di partai, yaitu motif suci, motif proteksi bisnis, dan motif
pengembangan bisnis. Motif suci adalah yang selalu didengungkan oleh pengusaha-politisi,
yakni ingin berkontribusi secara lebih nyata pada kepentingan yang lebih
besar, yaitu kepentingan bangsa. Kalau Anda tanya 100 pengusaha mengenai hal
ini, akan ada 200 pengusaha yang memberikan jawaban motif suci. Intinya, motif
ini tidak bisa diuji dengan mengajukan pertanyaan. Jawabannya hanya bisa
ditemukan ketika mereka sedang ikut berkuasa. Setahu saya, ada segelintir
pengusaha yang secara genuine sudah
terbukti memiliki motif ini.
Motif
proteksi bisnis muncul karena pengusaha yang bersangkutan merasa lebih murah
untuk membiayai partai ketimbang melayani praktik "minta sumbangan"
dari berbagai pihak. Ini bisa dilihat dengan cara menelusuri informasi apakah
yang bersangkutan sedang mengalami masalah hukum-bisnis, atau apakah bisnisnya
sangat rentan terhadap perubahan peta politik. Kalau bisnisnya sangat
tergantung pada peta politik, dia harus mencari pelindung yang cukup kuat.
Dalam situasi di mana kepastian hukum kurang terjamin, proteksi politik
menjadi alternatif yang murah.
Motif pengembangan
usaha merupakan hal yang sangat berbahaya. Karena, negara memiliki sumber
daya yang begitu melimpah untuk di monetisasi melalui kekuatan politik, menjadi
sangat mungkin bagi sekelompok orang untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya
melalui aktivitas politik. Pengusaha jenis ini, dalam berbagai skala,
merupakan ancaman bagi demokrasi. Kalau ini yang terjadi, rakyat wajib
menangis sederas hujan yang terjadi di Bogor setiap hari.
Fenomena
mana yang banyak terjadi sekarang ini? Tanyalah pada hati Anda sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar