Networking
Rhenald Kasali ;
Guru Besar FEUI,
Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 29 April 2014
SUATU
kali saya membawa keluarga untuk makan malam bersama di sebuah resto di kawasan
Ancol, Jakarta. Saya tidak melakukan reservasi terlebih dahulu karena saya
pikir pengunjungnya bakal biasa-biasa saja. Dugaan saya ternyata meleset.
Pengunjung membeludak.
Saya
akhirnya melakukan reservasi, tapi resepsionis tak bisa menjanjikan karena
sudah ada rombongan lain yang konon kenalan pimpinan. Saya sempat menyerah
dan berencana membatalkan acara makan malam tersebut. Namun, karena
perjalanan sudah jauh dan kalau dibatalkan banyak anggota rombongan yang
kecewa, saya tidak tega.
Akhirnya,
saya menelepon Budi Karya, sahabat saya yang ketika itu masih menjadi salah
seorang direktur di Ancol.
Semula
saya hanya ingin bertanya nomor telepon pemilik resto tersebut. Tapi, yang
saya dapat ternyata lebih dari itu, nama saya dipanggil waitress dan diberi tempat duduk spesial. Singkatnya, rombongan
kami pun bisa masuk. Acara makan malam kami berakhir dengan menyenangkan.
Malam itu juga saya langsung menelepon Budi Karya, menyampaikan terima kasih
atas bantuannya.
Pengalaman
seperti di Ancol tadi ternyata tak hanya sekali saya alami. Saya pernah
menghadapi masalah yang terkait dengan pengurusan paspor, visa di kedutaan
asing, perubahan itinerary di
bandara, izin kegiatan di pemda atau kepolisian, dan sebagainya yang semuanya
beres dalam waktu sekejap.
Anda
mungkin bisa dengan mudah menyebut pengalaman saya tadi dengan satu kata: koneksi. Tetapi, saya menyebutnya
sebagai networking. Sebagian kita
menganggap networking adalah
semacam jaringan persahabatan. Saya menganggapnya lebih dari itu. Bagi saya, networking adalah aset. Nilainya bisa
setara atau bahkan lebih ketimbang aset-aset lainnya, seperti bahan baku,
mesin, atau peralatan kerja lainnya.
Sebagaimana
layaknya sumber daya lain, aset yang berupa networking juga mesti kita pelihara. Persis seperti mesin, kalau
lama tidak kita gunakan dan tak pernah diberi pelumas, ia mungkin macet.
Lalu, bagaimana memelihara aset yang berupa networking?
Hubungan Jangka Panjang
Saya
punya cerita lain lagi. Suatu pagi saya terima BBM yang bunyinya begini: "Seorang pemerkosa girang setengah
mati, karena hanya dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Tapi, ia kemudian
pingsan ketika diberitahu bahwa alat bukti kejahatannya disita oleh negara
untuk dimusnahkan."
Anda
tahu, BBM itu saya terima dari seorang CEO BUMN papan atas di Indonesia. Saya
mengenalnya sekitar tiga tahun lalu. Sejak pertama kali berkenalan, setiap
dua minggu atau sebulan sekali, ia selalu menyapa saya dengan bertanya apa
kabar.
Seiring
waktu, ia terus berkirim BBM. Mulanya saya berpikir mungkin dia hanya akan
bertahan terus berkirim BBM selama setahun. Setelah itu mulai berkurang,
semakin jarang, dan akhirnya berhenti sama sekali. Nyatanya tidak. BBM-nya
terus mengalir.
Saya tahu,
kadang BBM humor yang dia kirimkan adalah copy
paste dari humor yang juga diterimanya via BBM. Meski begitu, saya sama
sekali tidak merasa ia sedang menganggap remeh. Saya juga tidak terganggu.
Malah senang. Bayangkan ketika kepala tengah pening memikirkan urusan
pekerjaan, kita menerima BBM humor yang bisa membuat kita tersenyum-senyum
sendiri. Menyegarkan.
Sesekali
saya juga membalasnya dengan humor yang lain. Kali lain cukup merespons
dengan mengetik hahaha atau ikon smiley.
Apa yang
dilakukan oleh sahabat saya itu adalah ibarat memberikan pelumas pada mesin networking kami. Kita tahu, dalam
dunia bisnis, tidak pernah ada makan siang yang gratis. Dan, BBM humor tadi
adalah salah satu menu "makan
siang" yang murah.
Lantas,
apa yang biasa saya pakai untuk memelihara hubungan? Tentu saya juga senang
mengoleh-olehi sahabat saya dengan apa saja yang saya dapatkan dari luar
negeri. Di Jakarta, kalau tidak air embun Purence,
saya biasa mengirim Tempe Embun
buatan Rumah Perubahan atau buku-buku karya saya. Dan saya menyenangi
hubungan yang seperti ini. Di rumah saya kadang menerima kiriman buku, kopi,
buah-buahan, atau bahkan nasi tumpeng dari para mantan mahasiswa saya di masa
lalu.
Rasanya,
hubungan seperti ini bukan gratifikasi, toh nilainya tak seberapa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar