Heboh
Nama Jokowi di Soal Ujian Nasional
Elin Driana ; Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Prof Dr HAMKA Jakarta, Salah seorang Koordinator Education Forum
|
MEDIA
INDONESIA, 28 April 2014
ADA nama Jokowi di soal bahasa
Indonesia UN SMA/SMK tahun ini! Soal yang dimaksud pun menyebar dengan cepat,
antara lain melalui media sosial. Meskipun namanama tokoh lain pun muncul di
paket-paket soal yang berbeda, nama Jokowi-lah yang menyulut reaksi publik.
Berbagai spekulasi pun berkembang, misalnya, mengaitkan munculnya nama Jokowi
di soal UN dengan pencapresan beliau oleh PDIP.
Upaya perwakilan dari
Kemendikbud dan BSNP untuk menjelaskan pada masyarakat bahwa soal tersebut
telah dibuat jauh sebelum pencapresan Jokowi dan telah melalui berbagai
tahapan analisis, baik kualitatif maupun kuantitatif, tampaknya belum mampu
menjernihkan persoalan. Terlebih lagi, di hari ketiga pelaksanaan UN SMA/SMK,
nama Jokowi kembali muncul di soal UN bahasa Inggris. Sebagian masyarakat pun
bertanya-tanya: apakah ada kesengajaan?
Spekulasi yang mengaitkan
munculnya nama Jokowi dengan kampanye menjelang pilres tampaknya lebih
didasarkan pada prasangka seiring dengan memanasnya suhu politik di Tanah Air
menjelang pilpres. Kemendikbud dan BSNP, sebagai penanggung jawab pelaksanaan
UN, sepatutnya mengklarifikasi kembali dan membuka hasil-hasil pengujian
soal-soal UN agar masyarakat mendapatkan informasi yang utuh sebelum
bersikap. Terlepas dari berbagai spekulasi yang muncul, melalui tulisan ini,
saya ingin meletakkan keriuhan soal UN pada tempatnya dengan lebih
memfokuskan pada aspek-aspek pengukuran pendidikan itu sendiri.
Kredibilitas UN
Mencuatnya soal yang memuat
nama Jokowi semestinya dijadikan peluang untuk mengevaluasi kebijakan UN,
antara lain melalui kajian terhadap kualitas soal-soal UN. Terlebih lagi,
mulai tahun ini nilai UN akan dijadikan salah satu kriteria penerimaan
mahasiswa baru di PTN. Di samping itu, proporsi nilai UN dalam penentuan
kelulusan siswa pun masih lebih besar jika dibandingkan dengan nilai yang
diberikan sekolah (masing-masing 60% dan 40%). Nilai UN pun dijadikan
kriteria penerimaan siswa baru ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tidakkah
terlalu riskan menggunakan alat ukur dengan kredibilitas yang meragukan untuk
membuat keputusan yang akan berdampak besar bagi masa depan siswa?
Soal yang memuat biografi
Jokowi dan tokoh-tokoh lain tampaknya digunakan untuk mengukur kemampuan
siswa dalam memahami secara kritis berbagai wacana tulis dengan indikator
‘Memahami isi/keteladanan/keistimewaan dalam teks biografi tokoh’. Ketika
soal tersebut beredar di media sosial, saya mencoba menanyakan kepada
teman-teman saya--sebagian bahkan sudah berpendidikan S-3, manakah pilihan
jawaban yang paling tepat atas pertanyaan tentang keteladanan Jokowi
sebagaimana digambarkan dalam wacana yang diberikan?
Ternyata, sebagian besar
jawaban yang mereka berikan tidak sama dengan kunci jawaban yang disampaikan
salah seorang perwakilan dari BSNP di salah satu stasiun TV. Apakah hal itu
menunjukkan pengecoh yang dibuat benar-benar berfungsi? Belum tentu. Mungkin
saja hal itu terjadi karena pilihan-pilihan jawaban yang diberikan sangat bergantung
pada subjektivitas dalam memahami wacana yang diberikan.
Saya pun meminta teman-teman
saya untuk menilai aspek-aspek lainnya dari soal tersebut. Ternyata, logika
dan tata bahasa yang digunakan dalam soal tersebut pun banyak dipertanyakan.
Dengan 20 paket soal yang
dipersiapkan dengan harapan dapat mencegah kebocoran kunci jawaban UN,
tantangan penyusunan dan pengujian soal-soal UN menjadi semakin besar. Apakah
Kemendikbud dan BSNP dapat menjamin bahwa paket-paket soal tersebut telah
memenuhi, setidak-tidaknya kriteria teknis, seperti reliabilitas, validitas,
kesetaraan paket-paket soal yang berbeda, ataupun kemungkinan adanya item
soal yang bias? Satu contoh butir soal yang tengah menimbulkan kegaduhan di
sebagian masyarakat ternyata bermasalah bila ditinjau dari kaidah-kaidah
penulisan soal. Bagaimana dengan butir-butir soal lain?
Soal pilihan ganda memang
sangat efisien untuk digunakan pada tes berskala luas, seperti UN, karena
kemampuannya untuk mengukur berbagai tingkatan kecakapan kognitif dan beragam
indikator kompetensi yang tercakup dalam kurikulum serta efisiensi dari sisi
waktu dan tenaga dalam memeriksa hasil ujian siswa. Akan tetapi, membuat
soal-soal pilihan ganda yang berkualitas tidaklah mudah. Hal itu dapat
diamati dari soal-soal UN yang beredar saat ini. Bisakah Kemendikbud dan BSNP
menjamin bahwa 20 paket soal yang ada benar-benar setara?
Soal-soal UN SMA 2014 juga
mulai mengadopsi standar internasional sebagaimana yang diujikan dalam PISA (Programme in International Student
Assessment) dan TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Studies). Apakah materi yang
diujikan dalam soal tersebut sudah diajarkan di kelas? Apakah pembelajaran
yang dilakukan di kelas telah mengembangkan juga model-model pembelajaran
yang memungkinkan siswa untuk melatih penalaran mereka dengan tingkatan yang
setara dengan soal-soal UN tersebut?
Sejak adanya UN, pembelajaran
di ruang kelas, terutama di tahun terakhir suatu jenjang pendidikan, telah
direduksi menjadi latihan-latihan soal sehingga siswa terampil dalam
mengenali bentuk-bentuk soal. Kalau perlu, sampai hafal dengan isi soalnya
dengan harapan yang diujikan dalam UN sama dengan yang mereka dapatkan saat
latihan di kelas ataupun try-out
UN. Di lain pihak, soal-soal PISA lebih mengedepankan kemampuan dalam
menggunakan pengetahuan siswa dalam menyelesaikan masalah yang baru.
Masa depan UN
Semakin terungkapnya
permasalahan permasalahan soal-soal UN semestinya membuka peluang yang lebih
besar bagi masyarakat untuk meminta penyelenggara UN membeberkan secara
terbuka hasil hasil pengujian yang dilakukan atas butir butir soal yang akan
diujikan. Penyelenggaraan UN tahun ini pun masih mengalami kendala-kendala
teknis. Sebagai contoh, di beberapa daerah, ada siswa yang mendapatkan lembar
jawaban yang hanya berisi empat pilihan jawaban, padahal soal yang diberikan
memiliki lima pilihan jawaban. Selain itu, laporan-laporan indikasi
kecurangan pun masih banyak diterima posko-posko yang menerima pengaduan
tersebut. Pihak PTN selayaknya tidak terburu-buru untuk menggunakan hasil UN
sebagai kriteria seleksi ke PTN karena kredibilitas UN yang patut
dipertanyakan.
Di samping itu, persoalan lebih serius UN sebetulnya tidak hanya terpaku pada
masalah-masalah teknis semata-mata. Secara yuridis, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat telah memerintahkan Presiden, Wakil Presiden, Ketua BSNP, dan Mendiknas
untuk meningkatkan kualitas guru, sarana prasarana, dan akses informasi yang
memadai sebelum melaksanakan kebijakan ujian nasional lebih lanjut. Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta menolak banding pemerintah dan Mahkamah Agung
menolak kasasi pemerintah. Namun, UN jalan terus, sementara layanan
pendidikan yang berkualitas masih belum merata.
Efektivitas kebijakan UN
sebagai pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan sepatutnya dievaluasi
secara cermat dan penuh keterbukaan. Dampak-dampak negatifnya pun perlu
dipertimbangkan. Perubahan kebijakan terkait
dengan UN tampak sulit diharapkan dari pemerintahan yang ada saat ini. Semoga
pemimpin-pemimpin yang akan datang, baik eksekutif maupun legislatif,
memiliki keterbukaan dan keberanian untuk mereposisi UN dengan menggunakannya
hanya sebagai pemetaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar