Restorasi
dan Revolusi Mental
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 28 April 2014
ADA pernyataan menarik dari
Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) yang juga calon presiden dari PDIP. Ketika
didesak oleh beberapa kalangan dan wartawan tentang visi dan misi seorang
capres, dengan gaya khasnya Jokowi menjawab
bahwa saat ini
yang dibutuhkan Indonesia bukan sekadar visi dan misi, melainkan perubahan
sikap, yaitu revolusi mental. Bangsa yang besar dan memiliki semua sumber
daya yang dibutuhkan ini, kata Jokowi, harus bisa berubah dari kebiasaan
berpikir negatif ke arah yang lebih positif. Tanpa perubahan cara pandang
ini, Indonesia diyakini tak akan mampu mewujudkan cita-cita masyarakat yang
adil dan sejahtera.
Kata ‘revolusi mental’
mengesankan akan ada usaha yang sungguh-sungguh dan sangat serius dari
Jokowi, jika ia nanti terpilih sebagai presiden, untuk mengubah cara pandang
masyarakat. Namun, pertanyaannya ialah dari sektor dan aspek apa kira-kira
Jokowi harus memulai? Karena berkaitan dengan mentalitas, titik awalnya harus
dimulai dari pendidikan. Bukan sebatas membentuk karakter melalui jargon
pendidikan karakter, melainkan jauh dari itu ialah bagaimana menteri
pendidikan yang akan ditunjuknya nanti harus memiliki cara pandang yang sama
dengan Jokowi, terutama dalam mengevaluasi sekaligus mengkritisi setiap
kebijakan pendidikan yang antisosial dan antiperubahan.
Pendidikan harus memiliki road map yang jelas dan komprehensif,
mulai desain perencanaan yang detail hingga proses implementasi yang bisa
diukur. Selain itu, mentalitas budaya birokrasi pengelola pendidikan jelas
harus menjadi sasaran utama perubahan. Dalam lanskap perubahan budaya, target
utama pemerintahan ke depan ialah bagaimana seluruh potensi difokuskan untuk
mengubah perilaku masyarakat, bukan cara pandang (mind-set). Mengubah perilaku akan lebih riil jika dilakukan
melalui proses penubuhan karakter anak di sekolah. Mengapa?
Karena sepanjang sejarah
kemanusiaan, karakter selalu menjadi domain penting untuk ditelaah dan
dikemukakan sebagai dasar terciptanya tatanan sosial yang beradab. Bahkan
hampir semua agama menitahkan para penganutnya untuk memiliki keadaban dalam
perilaku dan memperlakukan sesama, serta didasari pandang an dan nilai-nilai
yang positif. Semua nilai positif pasti berasal dari sikap jiwa atau karakter
yang positif. Karena itu, ada benarnya jika Jokowi bilang kita perlu revolusi
mental, setara misalnya dengan jargon restorasi seperti yang diusung tandem
koalisi PDIP, yaitu Partai NasDem.
Restorasi dan revolusi, jika
diartikan sebagai pemulihan kembali suatu kondisi seperti sediakala secara
ekstrem, jelas mempunyai banyak peluang untuk diinterpretasi. Kondisi
sediakala yang semacam apa yang pernah dicapai Indonesia? Hal mana dan sektor
apa yang dulu pernah membanggakan kita sebagai bangsa dan ingin dihidupkan
kembali melalui sebuah partai? Pertanyaan-pertanyaan itu, jika dianalisis
secara mendalam dan benar, pasti akan menempatkan PDIP dan NasDem sebagai
partai paling serius yang akan mengubah jalannya sejarah Indonesia.
“History is a race between education and catastrophe,” kata HG Wells. Jika PDIP dan NasDem
ingin dikenang sepanjang masa, titik pangkal perjuangan mereka harus
dinisbatkan kepada keyakinan untuk memperbaiki kondisi pendidikan di tanah
air. Sepanjang sejarah Indonesia, pendidikan belum pernah menjadi
sektor paling membanggakan bagi bangsa ini. Malah
sebaliknya, jika kita becermin dalam-dalam, kita akan sadar bahwa
kekarut-marutan kondisi Indonesia merupakan mata rantai yang tak putus dari
rendahnya kualitas pendidikan anak bangsa.
Ada banyak anak yang kurang
beruntung dalam hal pendidikan. Mereka gagal bukan hanya karena faktor sistem
yang tidak menempatkan anak sebagai pusat perhatian, melainkan banyak juga
kegagalan dibentuk kelemahan guru dan manajemen sekolah yang tidak becus
dalam mendidik. Ada banyak juga anak yang berhasil, bahkan untuk contoh yang
satu ini lebih banyak datang dari sisi kemampuan anak yang memperoleh
dukungan, baik secara fi nansial maupun moral, dari orangtua, guru, dan
lingkungan sekolah yang sehat.
Pendidikan, dalam diaspora yang
sangat luas, memang memberi banyak kesempatan dan peluang bagi masa depan
anak-anak. Keyakinan itulah yang harus terlihat dari visi besar Partai NasDem
dalam memperjuangkan kesetaraan kondisi untuk masa depan anak-anak Indonesia.
Jika kesetaraan adalah fitrah yang secara normatif merupakan kebutuhan
manusia secara keseluruhan, benar adanya jika UUD 1945 telah menyebutnya
secara kasatmata. Partai politik harus memiliki platform pendidikan yang
cerdas dan bermutu, terutama dalam memahami dan memaknai gagasan tentang
kesetaraan.
Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action
memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya,
kesetaraan kondisi (equality of
condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan
partisipasi. Dalam equality of
condition fokus kita berikan bukan hanya terhadap tujuan dan proses
pendidikan itu sendiri, melainkan juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap
sumber daya, kesetaraan dalam pengakuan dan penghargaan, kesetaraan dalam kekuasaan,
dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas dan cinta. Semua jenis
kesetaraan itu jelas membutuhkan kecerdasan partai politik seperti NasDem
untuk merealisasikannya.
Kesetaraan sumber daya harus
dibuktikan dengan penciptaan sistem pendidikan yang lebih terbuka dan
nondiskriminatif, sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan respek harus
diciptakan bukan hanya dengan membangun budaya sekolah yang menghargai
perbedaan, melainkan juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema
pedagogis dan desain kurikulum yang efektif. Sementara itu, kesetaraan
kekuasaan harus dilihat dalam relasi guru-siswa yang semakin peduli dengan
proses belajar-mengajar yang demokratis sehingga implikasi dari pandangan itu
akan membawa keterbukaan pandangan untuk saling menghargai posisi dan peran
masing-masing dalam proses belajar.
Bagi saya, membuat partai itu
harus kurang lebih sama dengan membangun sebuah sekolah atau lembaga
pendidikan. Dalam membuat sekolah, yang terpenting ialah keyakinan bahwa apa
yang kita buat hari ini ialah untuk kemenangan dan kesuksesan anakcucu kita
ke depan. Alangkah indahnya jika seluruh partai,
tidak terkecuali PDIP dan NasDem, menjadikan partai politik sebagai lembaga
pendidikan yang akan menciptakan generasi penerus yang cerdas dan beriman serta
membanggakan ibu pertiwi.
Tentu kita ingin restorasi dan revolusi
mental yang dapat menggerakkan perubahan seperti dikumandangkan Jokowi dan Surya Paloh melihat persoalan
pendidikan ini secara serius dengan membuat sayap kajian bidang pendidikan
yang komprehensif. Have a nice try. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar