Impian
Zaken Kabinet
Bambang Arianto ; Peneliti
Bulaksumur Empat Yogyakarta
|
TEMPO.CO,
28 April 2014
Politik
elektoral post-Soeharto semakin mengarah ke sistem multipartai yang kian
terfragmentasi (highly fragmented
multiparty system), implikasinya membangun koalisi dalam sistem
presidensial-multipartai menjadi semakin sulit dan ribet. Kesalahan poros
koalisi pada pemerintahan SBY kerap menghantui calon presiden (capres) dalam
kontestasi pilpres 2014.
Itulah
mengapa, capres Joko Widodo (Jokowi) kerap mengartikan koalisi sebagai bentuk
kerja sama antar-partai yang mengedepankan kesamaan platform dan ideologi
partai. Bukan sebatas bagi-bagi jatah kursi kekuasaan dan transaksional.
Pilihan
dilematis ini dibenarkan oleh Mainwaring dan Shugart (1997) yang menilai
ketika presidensialisme dikombinasikan dengan sistem partai yang
terfragmentasi atau sistem multi-partai, maka kecenderungan muncul presiden
minoritas dengan dukungan legislatif yang lemah. Implikasinya, presiden kerap
berhadapan dengan lembaga legislatif yang antagonistik dan tidak mampu
menggerakkan agenda pemerintahan dengan baik, bahkan menggiring pada
kegaduhan.
Kecemasan
juga dapat dilihat ketika beberapa partai yang memiliki dukungan suara
lumayan di pemilihan legislatif tapi minim figur, dan karena itu mereka acap
kali berpikir untung-rugi. Akibatnya, beberapa partai mulai mendompleng dan
menggantungkan nasibnya pada figur Jokowi dan Prabowo yang memiliki magnet terbesar.
Masih
tingginya elektabilitas personal Jokowi membuat daya tawarnya masih sangat
menggiurkan partai-partai lain untuk berkoalisi. Eksesnya dapat kita lihat,
konflik internal mulai terjadi di beberapa partai. Sebut saja, sengkarut
internal yang tengah menghinggapi PPP akibat keberpihakan kepada salah satu
capres tertentu. Begitu pula internal Partai Golkar, di mana terdapat faksi
yang ingin mencongkel pencapresan Aburizal Bakrie, akibat kalah jauh dari
elektabilitas Jokowi dan Prabowo.
Singkat
kata, persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sudah terlalu berat, sehingga
yang dibutuhkan adalah koalisi yang dapat melahirkan kabinet profesional,
bukan kabinet transaksional-berisikan elite partai yang minus kompetensi.
Pembentukan zaken kabinet yang berisikan para teknokrat yang memiliki
kompetensi di bidangnya sebagai pembantu presiden akan lebih baik ketimbang
berisi menteri-sebatas kepentingan koalisi.
Namun,
dalam historiografi ketatanegaraan Indonesia, zaken kabinet (kabinet ahli)
bisa berjalan efektif hanya terjadi dalam hasil Pemilu 1972, 1977, 1982,
1987, dan 1992. Kala itu, perolehan suara Golongan Karya (Golkar) di atas 70
persen pada rezim Presiden Soeharto, sehingga Presiden Soeharto bisa
membentuk zaken kabinet.
Zaken
kabinet hasil Pemilu 1997 juga akhirnya tumbang satu tahun kemudian, yakni
pada 21 Mei 1998, setelah Presiden Soeharto dipaksa mundur dari kursi
presiden. Sedangkan zaken kabinet yang pernah dibentuk di era pemerintahan
Presiden Sukarno (Kabinet Djuanda, 1957) juga mengalami nasib tragis akibat
situasi politik di dalam negeri yang terus bergolak akibat terjadinya
pemberontakan dan isu perebutan Irian Barat.
Singkat
kata, impian zaken kabinet versi Jokowi memang bukan hal yang mudah, apalagi
raihan suara PDIP tidak memenuhi 50 persen. Walhasil, semoga usul ini bukan sebatas isapan jempol belaka di tengah
sengkarut wajah partai politik yang cenderung bermuka dua dan enggan menjadi
oposisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar