Pemimpin
Bervisi Kelautan
Andi Perdana Gumilang ; Mahasiswa
Program Pascasarjana
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB
|
REPUBLIKA,
29 April 2014
Artikel
APG dengan Topik yang Sama pernah dimuat di KORAN JAKARTA 20 Februari 2014
Mengingat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi lautan maka penting
kiranya membahas masalah kelautan menjelang pergantian kepemimpinan nasional
pada 2014. Pemerintahan baru mendatang perlu mendapatkan nakhoda sosok
pemimpin yang memiliki visi dan perhatian besar dalam mengelola potensi
sumber daya kelautan yang ada untuk kesejahteraan rakyatnya.
Fakta
geografis menunjukkan wilayah laut Indonesia memiliki nilai strategis bagi
perekonomian dunia. Potensi wi layah laut Indonesia sebesar 5,8 juta km2
lebih besar dibandingkan wilayah darat serta memiliki garis pantai sepanjang
95.200 km dan potensi lestari sumber daya ikan laut 6,5 juta ton per tahun
atau 8,1 persen potensi ikan laut dunia (FAO, 2008). Hal ini menjadikan
Indonesia punya modal dasar potensi pembangunan yang jauh lebih besar dan
beragam daripada negara-negara lain.
Dalam
buku Our Blue Economy : An Odyssey to
Prosperity, Indonesia memiliki potensi kekayaan laut mencapai 1,2 triliun
dolar AS per tahun, baik yang berkaitan dengan sumber daya alam maupun jasa
kelautan. Namun, di sisi lain sumbangan sektor kelautan nasional terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB)
masih
rendah, hanya sekitar 22 persen.
Sementara,
negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil ketimbang Indonesia,
seperti Korea Selatan, Jepang, Cina, Thailand, Norwegia, dan Islandia,
sumbangan sektor kelautan bagi PDB-nya rata-rata lebih dari 35 per sen. Tentu
ini menjadi ironis mengingat besarnya potensi kelautan negeri ini belum
berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya
nelayan.
Seiring
dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia-Pasifik.
Sekitar 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik dan
sekitar 75 persen dari produk komoditas yang diperdagangkan ditransportasikan
melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS setiap
tahunnya (Dahuri, 2012).
Dari
kacamata oseanografi-atmosfer, pergerakan arus laut dari Samudra Pasifik ke
Samudra Hindia melalui perairan dalam Indonesia, Indonesian Through - flow atau Arus Lintas Indonesia (ARLINDO),
memegang peran penting dalam mengontrol iklim global. Beberapa penelitian
menunjukkan setiap tahun rata-rata 10 juta meter kubik per detik massa air
mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melalui Selat Lombok, Selat
Ombai, dan Laut Timor. Terganggunya keseimbangan sistem arus laut ini
menimbulkan efek yang besar terhadap dinamika laut --atsmofer di kedua samudra
ini yang dikenal dengan istilah fenomena El Nino-La Nina dan Indian Ocean Dipole.
Lebih
dari itu, dengan terus bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia
dan semakin menipisnya SDA dan lingkungan di daratan maka laut akan menjadi
tumpuan harapan manusia masa depan sebagai sumber pangan, obat-obatan,
kosmetik, bahan baku industri, energi sumber daya mineral, pariwisata, transportasi,
dan komunikasi. Bila negeri ini mampu mendayagunakan potensi kelautan dan
perikanan secara produktif maka masalah pengangguran dan kemiskinan
diharapkan bisa terpecahkan. Namun, hal itu hanya menjadi impian belaka bila
setiap pergantian pemimpin di negeri ini masih belum menggeser paradigmanya
ke laut sebagai kekuatan (sea power).
Koalisi berorientasi bahari
Dalam
mengelola potensi bahari atau kelautan maka diperlukan akselerasi dan
terobosan dari seluruh komponen koalisi politik yang ada untuk mewujudkan
laut sebagai kekuatan, beberapa faktor perlu menjadi perhatian bersama.
Pertama,
pemerintahan baru mendatang perlu mereorientasi pembangunan nasional dari
yang berbasis daratan ke kelautan. Artinya, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
harus dibangkitkan dengan membangun infrastruktur dan kluster-kluster industri
terpadu berbasis kelautan yang ditopang oleh pelabuhan perikanan atau niaga
yang memadai di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sarana transportasi
laut perlu diperkuat agar mampu memecahkan masalah konektivitas antarwilayah
pulau yang selama ini membuat ekonomi nasional kurang efisien. Pada saat yang
sama, teknologi dalam pendayagunaan sumber daya laut dalam, perikanan, migas,
dan mineral lainnya di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) bagian
Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik perlu dioptimalkan.
Kedua,
perlunya memberikan pembinaan pendidikan sumber daya manusia (SDM) sejak dini
kepada generasi muda mengenai kelautan. Kurikulum pendidikan kelautan perlu
dimasukkan agar dapat memacu peningkatan iptek kelautan. Pemerintah perlu
mengembangkan dan memperluas lembaga penelitian dan perguruan tinggi di
bidang kelautan secara memadai.
Sejarah
mencatat bahwa ketangguhan maritim adalah pilar-pilar utama untuk kejayaan
nusantara. Selain penguasaan iptek kelautan dalam menghidupkan kembali
kejayaan maritim nusantara, lebih penting dibutuhkan visi dan strategi yang
tepat untuk mengubah paradigma pembangunan, dari paradigma daratan menuju
paradigma kelautan.
Ketiga,
segala permasalahan di sektor kelautan seperti penyelesaian batas- batas
wilayah, pencemaran, pencurian ikan, keamanan laut, penyelamatan sumber daya
ikan, dan penegakan kedaulatan wilayah saatnya diatasi. Pemerintah perlu
memberi kemudahan rakyat dalam kelompok usaha kecil (UMKM) sektor perikanan
untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha, baik dalam aspek
produksi, industri pengolahan, maupun perdagangan hasil produksi.
Peningkatan
kapasitas nelayan kecil dan pembudi daya ikan agar mereka mampu menjalankan
usaha dengan baik dan menghasilkan produk berkualitas berdaya saing perlu
menjadi agenda secara berkelanjutan. Akhirnya, sudah saatnya Indonesia
memiliki pemimpin bervisi kelautan di dalam negara berjulukan bahari ini. Karena
itu, pemimpin RI periode 2014-2019 mendatang perlu `melek' pembangunan
bervisi kelautan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar