Ujian
Nasional, Cermin Buruk Wajah Pendidikan
Benny Susetyo ; Pemerhati
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 28 April 2014
Ujian Nasional (UN) terus digelar. Kontroversi yang mengendap
di dalamnya dibiarkan begitu saja berlalu tanpa perbincangan di areal publik
secara mendalam. Bahkan sejak puluhan tahun lalu
sepanjang Reformasi, kendati
begitu banyak kritik tajam pada pelaksanaan UN, toh pemerintah tidak
bergeming. Tidak terlalu dihiraukan beberapa
pertanyaan mendasar dan menyangkut sesuatu yang paradigmatik, misalnya
tentang kebenaran UN sebagai tolok ukur keberhasilan sekolah.
Pemerintah juga seperti menutup mata, bahwa dengan UN kini
timbul beragam cara hitam yang dihalalkan demi kelulusan. Banyak kritikus
pendidikan tak henti-henti bersuara, UN sejauh ini tidak meningkatkan mutu
pendidikan. Bahkan dengan negara-negara tetangga, kita semakin ketinggalan.
Ada pula tentang kesenjangan Jawa dan luar Jawa yang
terus-menerus diabaikan. Belum lagi tentang guru yang pada akhirnya hanya
berorientasi mengajar daripada mendidik siswa hanya demi prestasi semu.
Itulah sedikit hal tentang UN yang hingga kini masih terus dipertahankan.
Ujian akhir itu tampak hanya mengukur satu komponen kelulusan,
yakni aspek kognitif. Program ini mengabaikan aspek lain, seperti
keterampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif). Padahal, sudah nyata
penilaian aspek pendidikan yang tidak komprehensif tidak menghasilkan
pendidikan yang berkualitas di masa depan.
Nyatalah sudah, ujian akhir yang diselenggarakan dengan biaya
teramat mahal, bahkan mengeksploitasi masyarakat miskin, itu hanya berfungsi
di permukaan. Pada pelaksanaannya, belum juga diperhitungkan UN ini sangat
mungkin lebih menguntungkan daerah-daerah yang mutu pendidikannya lebih
tinggi di satu pihak dan lebih merugikan daerah-daerah yang mutu
pendidikannya lebih rendah.
Tetapi atas dasar mutu nasional, semua disamaratakan begitu
saja, tanpa upaya mendasar sebelumnya untuk membuat sama kualifikasi anak
didik dari berbagai daerah.
Kekuasaan Mendikte
Lebih buruk dari itu, semua adalah saat kekuasaan terlalu jauh
campur tangan dalam dunia pendidikan. UN menjadi bukti kekuasaan yang terlalu
jauh mendikte pendidikan. Akibatnya, pendidikan termanifestasikan dalam wajah
buruk kekuasaan.
Bila sejauh ini kekuasaan identik dengan pencapaian aspek
material belaka, pun demikian dengan pendidikan. Anak didik menjadi korban
“perploncoan” yang telah direkayasa sistematis, melalui berbagai kebijakan
pendidikan yang centang perenang. Semua demi nafsu serakah para penguasa,
dalam mana pemahaman tentang cara mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini
dipertanyakan secara tajam.
Visi pendidikan tak jarang tidak diindahkan. Polemik soal
kurikulum nasional dan UN belakangan ini menjadi bukti negeri ini telah gagal
berperan sebagai alat menjadikan kehidupan bangsa yang cerdas.
UN sudah lemah secara konsep untuk menciptakan anak didik lebih
cerdas. Pemerintah kerap dituding tidak berkonsep jelas. Konsep UN bahkan
sudah mendapatkan kritik tajam jauh-jauh hari. Kebijakan ini hanya menjadikan
anak didik sebagai sapi perahan penguasa, demi sebuah gengsi dan prestasi
yang tidak jelas. UN lebih pada sebentuk penghakiman anak didik daripada
tujuan meningkatkan mutu pendidikan.
Ini semakin ironis karena pengaruh UN bukan saja kepada anak
didik, melainkan juga kepada cara pandang seluruh orang tua di Nusantara yang
mempersepsikan UN laiknya ujian masuk surga.
Potensi diri anak didik yang sangat variatif tidak pernah
diperhatikan dalam ragam kebijakan pemerintah. Pemerintah mengambil konklusi
sepihak, anak pandai dan layak mendapat apresiasi adalah mereka yang bernilai
matematika 10.
UN terlalu simplifikatif menjadi ukuran keberhasilan pendidikan
nasional. Padahal, sama sekali tidak. Pada praktiknya, UN justru sering
membuat sibuk para dukun, menjadikan siswa semakin stres karena beban pelajaran
yang bertumpuk, joki bertebaran mengajari tips menyontek, para makelar
mencari untung dari jual-beli kunci jawaban, dan guru-guru di sekolah
berpikir keras bagaimana anak didiknya lolos dari jurang maut ini.
Semua orang berpikir keras untuk lolos dari jurang maut ini.
Kalau perlu, menghalalkan segala acara agar terbebas dari penghakiman UN.
Inikah yang dikehendaki UN? Ujian ini lebih pada sekadar justifikasi, bukan
apresiasi kemampuan siswa. Itulah yang terjadi dan menjadi fakta bahwa
penguasa terlalu arogan dalam menilai anak didiknya.
UN mendidik ketidakjujuran. Guru jujur malah dipecat. Anak
berperilaku jujur, orang tuanya malah dikucilkan. Peristiwa-peristiwa seperti
ini kerap dianggap sepele, padahal senyatanya itulah yang begitu banyak terjadi
di lapangan.
UN berkontribusi besar melatih semua komponen pendidikan negeri
bertindak tidak jujur, tidak jujur terhadap kemampuan diri sendiri dan nilai
buruk merupakan derita tiada akhir sepanjang hayat di kandung badan.
UN melahirkan para penguasa bermental tidak jujur, penyelenggara
ujian tidak jujur, guru pun terpaksa pasang badan tidak jujur. Siswa menjadi
korban dari lingkaran setan ketidakjujuran ini. Oleh karena itu, lakukanlah
segala cara bukan untuk meningkatkan kemampuan, melainkan menghindarkan diri
dari nista yang memalukan.
Ya, proses evaluasi pendidikan untuk mengukur sejauh mana
pendidikan telah berhasil mencetak anak didik yang cerdas memang diperlukan,
namun semua harus dilakukan dengan proses yang adil dan seimbang.
Evaluasi untuk karakteristik wilayah satu tentu berbeda dengan
wilayah lain. Kualitas anak didik yang satu berbeda dengan lainnya. Karena
semua dilakukan dalam proses seragam, justru banyak masalah baru muncul.
Penyeragaman bentuk evaluasi dalam UN bukan saja semakin menghilangkan fungsi
evaluasi, melainkan juga terbukti melahirkan masalah baru yang lebih parah
dan bahkan mencederai visi pendidikan nasional. Lengkap sudah penderitaan
anak didik dalam beragam kebijakan pendidikan nasional.
Mereka hanya menjadi robot dan kelinci percobaan. Tidakkah kita
semua berpikir apa yang terjadi sesaat setelah anak didik menjalani UN,
keluar dari gedung sekolah mereka tawuran, mengganggu ketertiban masyarakat,
dan merusak sarana umum? Mereka beramai-ramai membajak bus kota di Jakarta
yang kira-kira dilakukan sebagai pesta pembebasan diri. Siswa corat-coret dan
berkonvoi di mana-mana. Ini bukan problem sepele. Itu menjadi cermin buruk
kualitas pendidikan kita.
UN tidak akan mampu mengukur etika, karakter, dan moral. Ia
hanya mampu menghakimi anak didik dengan nilai dan kelulusan. Semuanya hanya
soal rekayasa angka.
Atas semua refleksi di atas, dapat kita tarik benang merahnya.
Paradigma pendidikan negeri ini belum menyentuh esensi dasar pendidikan,
yakni sebagai proses memanusiakan manusia.
Pendidikan seharusnya mencetak sumber daya yang cerdas, kritis,
dan mampu mengaktualisasikan diri dalam masyarakat. Anak didik tereduksi
dalam sistem pendidikan yang berperilaku mekanis dan membuat siswa merasa
sekolah adalah neraka. Kita pun tak sanggup membayangkan saat apresiasi
tinggi pendidikan hanya ditentukan dalam hitungan jam lewat UN.
Anak didik negeri ini mengalami overdosis karena saat
bersekolah hanya dibebani target kelulusan. Orang tua, guru, kepala sekolah,
kepala dinas, kepala daerah, dan seterusnya tanpa disadari telah membebani
anak didik dengan klaim prestasi berdasarkan angka belaka. Inilah
ketidakadilan yang terjadi dalam pendidikan kita. Masihkah kita pelihara
terus ketidakadilan ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar