Pemilik
Narasi
Anonim (Sukardi Rinakit) ;
Pengamat Politik dari
SSS
|
KORAN
JAKARTA, 29 April 2014
Dalam
pendekatan budaya politik, pemimpin dambaan rakyat adalah pemilik narasi
politik. Dia mendapat dukungan rakyat bukan karena kekayaan, kekuatan, dan
kepandaiannya, tetapi lantaran menjadi cermin dari peri kehidupan rakyat. Dia
hadir karena menjadi pertemuan sungai-sungai budaya yang sedang deras
mengalirkan simbol, harapan, dan optimisme.
Semua
itu bisa dikonfirmasi dari lahirnya Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, Megawati,
Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini arah narasi tampaknya bermuara pada
Jokowi. Secara umum, pemilik narasi secara otomatis selalu berada dalam
regangan antara values expectation dan capabilities.
Semakin
lebar jarak regangan, tambah lemah kekuatan narasinya. Ini terjadi bukan
semata-mata karena pemimpin tersebut berkinerja lemah, tetapi karena
sosialisai dan konsultasi publik tidak dilakukan secara optimal. Fungsi
komunikasi dan informasi pemerintah lemah. Akibatnya, rakyat tidak mengetahui
apa yang sudah dilakukan pemerintah.
Sehubungan
dengan hal tersebut, historiografi Indonesia menunjukkan bahwa pemilik narasi
itu berjalan seiring dengan preferensi politik masyarakat. Era Orde Lama,
misalnya, preferensi politik rakyat mengarah pada kentalnya muatan ideologi.
Pemilihan tokoh maupun partai politik ditentukan daya tarik ideologi.
Fenomena
tersebut hancur ketika Orde Baru lahir. Preferensi politik masyarakat
mendangkal karena dikandangi dalam bangunan tiga partai politik: Partai
Persatuan Pembangunan, Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia. Keterikatan
pada partai ini mementahkan sosialisasi Pancasila, jika tidak boleh disebut
indoktrinasi, sehingga sulit untuk dikatakan bahwa preferensi masyarakat pada
ideologi Pancasila ketika itu kuat.
Pada era
Reformasi, daya tarik ideologi dan keterikatan pada partai politik menjadi
semakin dangkal berganti pada pesona figur. Kekuatan pesona figur ini menjadi
semakin menghebat ketika bertemu dengan budaya pop (pencitraan) dan rezim
pemilihan langsung.
Sejarah Kampung
Namun
demikian, figur tersebut baru menjadi daya magnit dan memunyai magnitude
apabila dia secara simbolik cocok dengan alam bawah sadar masyarakat, yang
preferensinya ditentukan sejarah kampung. Misalnya, preferensi masyarakat
yang tumbuh di lingkungan pertanian padi berbeda dengan yang tumbuh di
perkebunan utamanya tebu.
Preferensi
pertama lebih dipengaruhi suasana siklis dan klenik, sedangkan pada kelompok
masyarakat kedua, preferensinya lebih ke idologi.
Kecocokan simbolik sesuai sejarah kampung itulah yang membuat seseorang
akhirnya menjadi pemilik narasi.
Meskipun
seorang figur sudah menjadi pemilik narasi politik, tetapi langkah politiknya
tergantung pada para “pemilik” partai. Mencermati manuver partai-partai
politik saat ini yang berkehendak menjalin kerja sama satu sama lain, semakin
lama tambah tampak bahwa sejatinya tokoh yang menjadi penentu arah kerja sama
partai-partai politik agar bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil
presiden adalah Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Mereka
bukan saja berpengalaman panjang dalam politik, tetapi juga menjadi
pengendali tunggal sebuah partai politik besar. Dalam konfigurasi seperti
ini, apabila Partai Gerindra dan Golkar salah langkah, salah satu dari mereka
kemungkinan akan teraliniasi dengan
sendirinya.
Dari
seluruh calon presiden yang namanya gencar beredar, seperti ditunjukkan oleh
hasil survei lembaga-lembaga independen, setidaknya hingga saat ini, Jokowi
secara hipotesis memunyai narasi lebih kuat dibandingkan dengan Prabowo
Subianto dan calon presiden lainnya.
Ini
disebabkan, sama seperti Megawati Soekarnoputri (1999), Susilo Bambang
Yudhoyono (2004; 2009), geliat dan fisik Jokowi tertanam dalam relung
masing-masing sejarah kampung (alam bawah sadar mereka).
Di
wilayah pertanian padi, “kerempeng” dan sederhana menandakan orang yang suka
“tirakat” dan jujur, sedangkan tinggi gagah dianggap kesatria. Di perkebunan
utamanya tebu, “kerempeng” menjadi cermin dari pemanggul gerakan konflik
kelas dan gagah menjadi representasi “waker”
yang berwibawa.
Di
pertanian sayur, alam bawah sadar mereka diisi preferensi orang yang detail,
nelayan, dan perkotaan. Preferensi mereka pada orang yang kerja keras,
terbuka, dan jujur, sedangkan pada saat-saat krisis, seluruh relung sejarah
kampung akan diisi preferensi figur perempuan (karena dianggap
menenteramkan). Itulah political brain
(Drew Westen, 2007). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar