Menjaga
Suara
Sidik Pramono ; Peneliti Pol-Tracking Institute
|
TEMPO.CO,
24 April 2014
"Menjaga suara jauh lebih berat daripada
mencari suara," begitu kurang-lebih status BlackBerry Messenger
(BBM) seorang anggota DPR 2009-2014 setelah 9 April. Pernyataan itu
mencerminkan keluhan dari para calon anggota legislatif, termasuk dari banyak
inkumben di parlemen, tentang dahsyatnya persaingan internal para calon dalam
Pemilu 2014. Kondisi ini bahkan disinyalir lebih berat ketimbang saat Pemilu
2009, apalagi Pemilu 2004. Inilah salah satu konsekuensi dari pemilu dengan
sistem proporsional terbuka dan penetapan calon terpilih berdasarkan
perolehan suara terbanyak.
Dengan
kondisi para calon (secara tidak langsung harus) bekerja sama untuk
mengamankan perolehan kursi bagi partainya, penentuan calon menjadi tahapan
berikutnya yang krusial. Boleh saja total perolehan suara partai politik
(berikut calonnya) tidak berubah, namun pergerakan suara antarcalon dalam
satu partai sangat mungkin terjadi. Antarpartai bisa saling kontrol untuk
memastikan perolehan kursi mereka tidak hilang ke partai lain. Di lingkup
internal, para calon sendirilah yang harus memastikan suaranya tak susut dan
beralih ke calon lain dari partainya sendiri. Itulah yang membuat para calon
(dan tim suksesnya) pada saat-saat ini tak kalah sibuk di daerah pemilihannya
dibandingkan dengan saat kampanye dan hari H pemungutan suara.
Selain
karena faktor "saling-menggembosi", bisa jadi perubahan itu terjadi
karena kesepakatan sukarela antarcalon sendiri. Keharusan menjaga
"marwah" partai, misalnya, menjadikan seseorang fungsionaris partai
yang secara struktural memiliki posisi lebih tinggi bisa saja dikatrol
perolehan suaranya dengan transfer suara dari calon yang lainnya. Bisa juga
karena pertimbangan untuk meloloskan calon yang dinilai sebagai calon
terbaik, suara pemilih yang hanya mencoblos tanda gambar partai dialihkan ke
calon bersangkutan. Meski sulit dibuktikan, tentunya model seperti itu tidak
benar-benar terjadi secara sukarela. Mekanisme penggantian antarwaktu (PAW)
di tengah masa jabatan bisa menjadi alternatif kompensasi pengalihan suara
tersebut.
Paparan
di atas memperlihatkan bahwa popularitas dan elektabilitas ataupun tingkat
publikasi di media massa memang penting bagi seorang calon. Namun pertarungan
tidak hanya terhenti saat pemilih sudah memberikan suaranya di bilik suara.
Tidak ada jaminan bahwa perolehan suara akan mulus sampai ke tahapan
penetapan hasil akhir pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum-serta penetapan
perolehan kursi dan penetapan calon terpilih.
Seturut
dengan rekapitulasi yang bertahap, kesempatan untuk menggugat hasil pemilu
pun terbuka dari tingkat tempat pemungutan suara (TPS) sampai ke Mahkamah
Konstitusi. Rekapitulasi perolehan suara di setiap tingkatan memungkinkan
pengajuan keberatan dan koreksi.
Akhirnya,
peran rakyat pemilih tentu tidak boleh berhenti sebatas di bilik suara.
Menjaga suara semestinya bukan melulu kewajiban para calon yang masih
khawatir bisa-tidaknya mereka mendapatkan kursi di parlemen. Rakyat tentu
tidak mau diwakili oleh anggota parlemen yang tidak berhak, bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar