Menanti
Aksi Politisi Beken
Achmad Firdaus ; Pengurus ISS
National University of Singapore
|
REPUBLIKA,
29 April 2014
Ketika
pintu kebebasan dibuka lebar, bukan hanya potensi kebaikan yang menyeruak,
tapi juga berbagai realita menggelikan terkadang membuat bingung. Dalam
logika manusia, kenyataannya demokrasi membuat kita "tak habis
pikir" seolah segala sesuatu yang tak mungkin secara kasat mata bisa
`dipaksakan' menjadi mungkin. Tapi, seperti inilah paradoks demokrasi,
sebagaimana yang dikhawatirkan Plato, vox
populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan), akan berubah menjadi vox populi vox diaboli (suara rakyat
suara setan) jika memilih orang-orang yang tak berkompeten.
Memang, tak
bisa dimungkiri bahwa pesta demokrasi di negeri ini telah menjadi `pasar
bebas' yang memungkinkan setiap orang untuk ikut berkompetisi.
Namun, basis
kompetisi dalam pesta demokrasi di Indonesia lebih mengandalkan popularitas
figur dan kemampuan finansial. Sehingga, sistem proporsional dengan daftar
terbuka melalui penetapan keterpilihan atas dasar suara terbanyak memberi
peluang besar bagi setiap figur yang populer, seperti artis, keluarga
pejabat, atau pesohor lainnya meraih kemenangan dalam pertarungan politik.
Soal apakah
ia memahami dan memiliki kemampuan mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai
wakil rakyat itu urusan nomor sekian. Secara konstitusional, memang tidak ada
larangan setiap warga negara mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Seperti
halnya di Amerika Serikat, mantan presiden Ronald Reagan dan Gubernur Arnold
Schwarzenegger juga masuk ke dunia politik dengan latar belakang artis. Tapi,
mereka tidak hanya mengandalkan popularitas sebagai pesohor, karena
sebelumnya mereka pun telah aktif berpolitik dalam berbagai program kerja
parpol.
Vote getter
Jika
membandingkan suasana perpolitikan di negara demokrasi yang lain, tentu
sangat berbeda dengan percaturan politik di negeri ini, karena artis dan para
pesohor di Indonesia bisa secara tiba-tiba diusung menjadi caleg partai
politik tertentu dengan modal ketenaran dan kemampuan finansial. Inilah yang
menimbulkan praduga negatif bahwa kehadiran artis-artis ini tak lebih dari
sekadar vote getter (pengumpul
suara) bagi parpolnya.
Vote getter ini memang amat penting bagi
setiap parpol, terlebih lagi jika melihat sikap apatis yang ditunjukkan masyarakat
akibat buruknya kinerja parpol dibarengi pula dengan berbagai kasus korupsi
yang melibatkan wakil rakyat.
Oleh
karena itu, dalam kondisi seperti ini parpol membutuhkan solusi instan untuk
mendongkrak suara dan kepercayaan rakyat. Salah satu solusi yang paling
praktis adalah dengan mengorbitkan artis atau para pesohor ke panggung
politik. Tak peduli apakah sang artis berasal dari kader partai atau bukan,
yang penting orang terkenal dan memiliki modal untuk `dijual' ke masyarakat.
Partai
politik memang terkesan `memaksa' para artis bertransformasi secara instan
menjadi anggota dewan. Para pesohor itu dipolitisasi untuk maju sebagai caleg
demi mendukung suara partai politik agar lolos dari parlemen threshold, hasilnya pun tidak
mengecewakan karena tidak sedikit para pesohor itu berhasil lolos ke Senayan.
Namun faktanya, tidak semua legislator beken ini memiliki kinerja yang baik
sebagai wakil rakyat, mereka secara umum sama saja dengan sebagian besar
anggota legislatif nonartis yang juga kinerjanya tenggelam di balik hiruk-pikuk
dan persaingan politik.
Lakon politik
Hasil
rekapitulasi suara pada pemilu legislatif lalu mencatatkan beberapa nama
artis yang berhasil melenggang ke Senayan. Figur-figur yang sering kita lihat
wara-wiri di layar kaca menghibur masyarakat lewat perannya sebagai pemain
sinetron, penyanyi, presenter, model, dan pemain film kini harus bersiap melayani
masyarakat lewat lakon politiknya di parlemen.
Fenomena
artis yang menjadi anggota dewan sebenarnya bukanlah hal baru di dunia
perpolitikan Indonesia. Yang menjadi titik perhatian adalah double job yang mereka perankan kadang
tidak efektif. Jangan sampai para artis yang duduk di Senayan hanya bisa
`setuju' dalam suara mayoritas partai di setiap rapat komisi dan pleno, tanpa
mau mela kukan perubahan yang lebih baik bagi negeri ini, atau paling tidak,
mereka peka ketika membahas isu-isu perbaikan nasib rakyat.
Para
artis yang `telanjur' masuk dalam dunia politik harus memahami bahwa dunia
baru mereka saat ini bukanlah panggung sandiwara. Jika selama ini mereka
terbiasa dengan seni peran, dunia imajinasi, dan basa-basi, maka setelah
menjadi wakil rakyat mereka harus menjalankan perannya sebagai politisi tanpa
ada rekayasa, karena dunia politik membutuhkan integritas moral dan kejujuran.
Jangan sampai para artis yang terjun ke dunia politik ikut terciprat kotornya
lumpur politik lalu mereka menjadi koruptor-koruptor andal yang pintar
bermain peran.
Dengan
demikian, para politisi beken ini harus sadar bahwa menjadi anggota dewan
bukanlah sebuah status sosial yang harus dibanggakan, tapi sejatinya, itu adalah
sebuah pengabdian kepada masyarakat sekaligus sebagai amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Wallahu a'lam bish shawaab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar