Urgensi
Zaken Kabinet Setelah 2014
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti Bidang Politik Nasional di Pusat Penelitian Politik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 26 April 2014
Hasil
pemilihan legislatif (pileg) yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang versi quick
count telah mengubah konstelasi politik di kalangan partai politik
(parpol).
Sesegera
mungkin setelah melihat perolehan suara masing-masing, partai-partai mulai
merapatkan diri untuk menjalin koalisi dengan partai pemenang ataupun
membentuk kekuatan poros alternatif dalam mengajukan kandidat presiden pada
pemilihan presiden (pilpres).
Jika
meninjau hasil Pileg 9 April 2014, kans parpol secara tunggal untuk
mengajukan calon presiden (capres) belum memenuhi persyaratan 20 persen kursi
di DPR maupun 25 persen suara nasional.
Hal itu
memotivasi upaya pembentukan koalisi untuk membangun pemerintahan di
Indonesia. Tendensi koalisi dalam struktur pemerintahan di Indonesia
sebenarnya adalah hasil ambiguitas yang terjadi setelah Pemilu 1999.
Premis
tunggal dihadirkannya sistem multipartai di Indonesia setelah 1999 sebenarnya
adalah menghindari dan mereduksi sindrom legislative-excecutive complex
(Duverger, 1968). Sindrom itu menempatkan adanya satu parpol secara tunggal
untuk menguasai pemerintahan di level eksekutif maupun legislatif.
Pemerintahan
presidensialisme Orde Baru sebenarnya dibangun atas logika tersebut demi
menciptakan stabilitas politik maupun ekonomi dengan menempatkan Golkar
sebagai mesin politik utama.
Implikasinya,
pola pembentukan kabinet yang merupakan manifestasi dari hak preogratif
presiden secara benar dan nyata dijalankan. Oleh karena itu, kabinet
“Pembangunan”
yang dihasilkan selama pemerintahan Orde Baru dibangun atas logika
teknokratis dan logika rasionalisme dalam pemilihannya. Karena itu, tidak
mengherankan apabila kehidupan kabinet tidaklah mengalami politik tambal
sulam dan fluktuatif seperi pemerintahan kontemporer sekarang ini.
Dalam
pembentukan kabinet setelah pilpres dan pileg selama 1999-2009, sangat jelas
memperlihatkan banyaknya kepentingan politis dalam pemilihan kursi menteri
dalam kabinet. Penyebabnya, adanya dua sistem pemerintahan yang dianut
setelah 1999. Kaki pertama, parlementarianisme bejalan di ranah legislatif.
Kaki kedua, yakni presidensialisme berjalan di arena eksekutif.
Kuatnya
pemerintahan legislatif yang melebihi kekuatan presidensialisme inilah yang
menjadikan kekuasaan presiden menjadi tersandera dan melemah di hadapan
koalisi parpol. Contohnya adalah pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jilid
I. Demokrat menjadi penguasa presidensialisme eksekutif, sedangkan Golkar
menjadi penguasa parliamentarian legislatif.
Dalam
nalar politik teoritis maupun konstitusional, harusnya Demokrat yang menjadi
political bossism atas Golkar di arena legislatif. Kenyataannya, pembentukan
koalisi menjadi suatu keniscayaan yang sulit dihindari, baik Demokrat maupun
Golkar dalam mencapai dukungan politik yang sifatnya resiprokal.
Karena
itu, kondisi riil lapangan adalah pemilihan kursi menteri didasarkan pada
pola consensus building maupun trust building yang dibangun demi menjamin
sikap saling percaya dan patuh tersebut.
Artinya,
terdapat pengesampingan minimalis terhadap logika teknokratis yang ada dalam
pembentukan kabinet. Menteri dipilih berdasarkan afiliasi politik demi
menciptakan harmonisasi artifisial dalam tubuh pemerintahan kabinet maupun
relasi antara parpol ke depannya.
Dalam
pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II juga setali uang dengan
pembentukan kabinet pertama. Bedanya, Demokrat tampil sebagai patronage party
yang bertindak sebagai pembentuk pemerintahan secara kuat. Dalam logika
politik, sebenarnya koalisi tidaklah dibutuhkan banyak partai untuk menjadi
pemantik dalam pemilihan kursi kabinet.
Namun,
karakter koalisi di Indonesia cenderung pasifis dan meminimalkan risiko
konflik maupun oposisi sehingga merangkul semua parpol menjadi anggotanya.
Yang kita lihat kemudian adalah kekuasaan presiden sangatlah tersandera
dengan banyaknya kepentingan politik bermain dalam pemerintahan.
Presiden
menjadi lebih banyak berperan sebagai negosiator dibandingkan eksekutor
kebijakan yang seharusnya menjadi domain kekuasaannya. Implikasinya adalah
konsensus maupun trust building yang semula diharapkan pada pembentukan
koalisi melalui pemilihan anggota kabinet menjadi tidak relevan kembali.
Namun
yang ada, kemudian timbulnya konsensus rente dalam politik koalisi selama
ini, yakni membesarnya praktik korupsi, kolusi, maupun nepotisme yang semakin
meninggi selama pemerintahan ini. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila
dalam beberapa survei persepsi korupsi, baik lembaga eksekutif maupun
legislatif selalu masuk dalam lima besar lembaga korupsi.
Oleh
karena itu, pembentukan kabinet yang berbasiskan zaken kabinet adalah sesuatu
yang urgen dan signifikan setelah 2014 ini. Hal tersebut mengingat konstelasi
global dalam menghadapi regionalisme ASEAN pada 2015 maupun semakin
terbukanya koneksi antarnegara pada 2020.
Ini
sangatlah membutuhkan kemampuan teknokratis maupun rasional dalam
mengoperasionalkan negara. Logika politik dalam pembentukan koalisi, terlebih
lagi kabinet, jelas masih dibutuhkan. Namun, akan lebih baik jikalau logika
zaken kabinet yang berisikan orang berkompeten di bidangnya menjadi menteri.
Tentunya
logika kompetensi sebagai pembantu presiden akan lebih baik ketimbang
menduduki menteri hanya sebagai jabatan politis. Komposisi zaken kabinet
antara teknokrat dan politikus sebaiknya 2:1 saja. Jadi, kesan berburu kursi
seperti yang selama ini diperlihatkan parpol tidak lagi terulang pada
pemerintahan setelah 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar