Presiden
dan Kepresidenan
Ignas Kleden ; Ketua Badan
Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
|
KOMPAS,
29 April 2014
“The institution of the presidency is more important
than the person who holds it—lembaga kepresidenan lebih penting daripada
orang yang menjabatnya.” Kalimat itu ditulis Presiden George W Bush dalam
otobiografinya berjudul Decision Points
(2010) yang menjadi bestseller.
Dia
selalu menyebut dirinya Presiden Bush 43 untuk membedakan diri dari ayahnya,
Presiden Bush 41. Ayahnya, Presiden AS ke-41 dan dia sendiri Presiden AS
ke-43. Pikiran itu rupanya muncul ketika dia baru saja diresmikan sebagai
presiden pada 20 Januari 2001. Suatu pagi tatkala dia sedang membenahi kamar
kerjanya di Gedung Putih dia mendapat kunjungan ayahnya. Sang ayah memberikan
selamat kepadanya dengan ucapan ”Mr President” dan spontan dia menjawab
dengan hormat ”Mr President”. Dalam pidato pengukuhan pertama pada Januari
itu dia berkata, ”Kadangkala
perbedaan-perbedaan di antara kita demikian dalamnya sehingga kita tampaknya
menghuni bersama suatu benua, tetapi bukannya suatu negeri.”
Karena
itu, dia meneruskan, ”Keadaan ini tidak
kita terima dan tidak kita inginkan terjadi. Persatuan dan kesatuan kita
merupakan tugas berat bagi para pemimpin dan para warga negara dalam tiap
generasi. Maka inilah sumpah mulia saya: Saya akan bekerja membangun suatu
bangsa yang memberi keadilan dan kesempatan (a nation of justice and
opportunity)”.
Presiden dan lembaga kepresidenan
Distingsi
yang dibuat antara pribadi presiden dan institusi kepresidenan sangat mungkin
masih cukup asing bagi pengertian politik di Indonesia. Dalam membicarakan
kemungkinan calon-calon presiden Indonesia saat ini seluruh perhatian seakan
tersedot pada pribadi seorang calon. Hampir tak ada refleksi tentang lembaga
kepresidenan dengan tanggung jawab dan martabat yang seyogianya dijunjung
tinggi oleh siapa pun yang menjabatnya.
Hal sama
terjadi dalam pembicaraan tentang para calon anggota legislatif. Pertukaran
pendapat cenderung fokus pada pribadi calon tertentu dan bukan pada lembaga
perwakilan rakyat tempat orang-orang itu menjalankan tugas. Presiden Bush 43
dalam otobiografinya menulis bahwa setiap orang yang ingin bekerja dalam
bidang politik berkewajiban to serve a
cause larger than oneself. Politikus mana pun harus melayani suatu tujuan
dan kepentingan yang lebih besar dan lebih penting daripada dirinya sendiri.
Kita
tahu, dalam tata negara Indonesia yang menganut sistem presidensial, presiden
adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebagai kepala
pemerintahan, dia melaksanakan berbagai kebijakan publik, setelah mendapat
persetujuan DPR dan bertanggung jawab kepada DPR. Sebagai kepala negara, dia
berkewajiban menjaga kesatuan bangsa dan memberikan jaminan bagi kelangsungan
hidup bangsanya dalam suatu kesatuan teritorial negara. Dalam tugas ini dia
tak hanya bertanggung jawab kepada DPR, tetapi juga kepada seluruh bangsa dan
rakyat.
Sebagai
kepala pemerintahan, presiden menjadi chief
executive atau eksekutif utama dan tertinggi bagi pelaksanaan semua
kebijakan publik. Meski tak mungkin seorang presiden sebagai kepala
pemerintahan dapat menguasai semua masalah teknis yang ada dalam tugasnya,
dengan asistensi menteri sebagai pembantu presiden dan dengan nasihat dan
input berbagai lembaga yang membantunya serta dengan mendengar pendapat umum
yang tersiar di berbagai media, sebagai eksekutif tertinggi dia akan dan
harus mengambil keputusan tentang apa yang harus dilaksanakan dan memikul
tanggung jawab politik atas tepat atau tidak tepatnya kebijakan yang
ditetapkan.
Dalam
ekonomi, presiden akan memutuskan apakah sebaiknya mencukupkan suplai beras
dengan mengimpor beras yang lebih murah dari luar negeri atau membantu para
petani dalam memperkuat sektor pertanian agar lambat laun dalam jangka waktu
yang diperhitungkan para petani dapat memproduksi beras dengan harga
bersaing. Hal yang sama dapat dikatakan tentang gula dan penguatan usaha
petani tebu. Dalam bidang politik, presiden harus bersikap dan memutuskan
apakah pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) tetap
dilaksanakan secara langsung atau menerima desakan untuk memberlakukan
kembali pemilihan bupati dan wali kota oleh DPRD.
Secara
umum presiden diharuskan memilih apakah dia berani mengambil keputusan yang
tidak populer meski dalam keyakinannya keputusan itu perlu dibuat demi
kepentingan orang banyak atau dia selalu terombang-ambing di antara pro dan
kontra pendapat umum tentang masalah yang harus diputuskannya. Dalam sejarah,
menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945 muncul
ketegangan tinggi antara Soekarno sebagai seorang pemimpin dan kaum muda
revolusioner yang tidak sabar menunggu dan enggan berkompromi.
Para
pemuda menghendaki agar kemerdekaan direbut melalui suatu perang terbuka
dengan Jepang sesegera mungkin untuk menunjukkan kepada dunia internasional
bahwa kemerdekaan itu hasil perjuangan dan pengorbanan dan bukan sekadar
hadiah dari pihak Jepang. Sementara itu, Soekarno amat yakin bahwa militer
Jepang masih kuat di Pulau Jawa sehingga sebuah perang dan konflik bersenjata
akan menimbulkan pertumpahan darah yang luar biasa dan malahan menimbulkan
komplikasi baru soal kemerdekaan. Di bawah todongan senjata para pemuda,
Soekarno bertahan pada pendiriannya dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
tanpa pertumpahan darah yang tak perlu.
Sebagai
suatu dalil, eksekutif utama seperti presiden diandaikan mampu menerjemahkan
semua pertimbangan teknis menjadi kesimpulan politis dan selanjutnya berani
menerjemahkan kesimpulan politis (sebagai kategori teoretis) menjadi
keputusan politik (sebagai kategori praktis) melalui tindakan yang harus
dilaksanakan. Dalam praktiknya presiden dapat memutuskan sesuatu berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan teknis yang ada (because of technical considerations), tetapi dapat juga
memutuskan sesuatu bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis yang
diajukan (in spite of technical
considerations). Ini terjadi karena politik tak identik hal-hal teknis
saja sehingga seorang petinggi setingkat presiden dapat mengambil keputusan
berdasarkan intuisi politiknya yang berlainan atau melampaui pertimbangan
teknis. Secara psikologis ini dapat menjelaskan mengapa presiden sebagai
eksekutif utama punya beberapa prerogatif atau hak khusus yang dibenarkan
oleh UU.
Tiga kemampuan
Singkat
kata, sebagai eksekutif tertinggi presiden diharapkan mempunyai minimal tiga
kemampuan. Secara intelektual dia harus sanggup menerjemahkan segala detail,
kerumitan, dan komplikasi teknis menjadi suatu kesimpulan politis yang jelas
dan dapat dikomunikasikan. Secara mental dia diharapkan mempunyai keberanian
dan keteguhan hati untuk menerjemahkan kesimpulan politis menjadi keputusan
politis yang dapat dilaksanakan. Seterusnya, secara moral dia harus mampu
mempertahankan semacam netralitas terhadap berbagai desakan kepentingan
pragmatis dan tuntutan ideologis berbagai kelompok politik yang dapat
menghambat eksekusi keputusannya. Dalam bentuk ideal, presiden sebagai kepala
pemerintahan menjadi gabungan seorang analis, seorang pengambil keputusan (decision-maker), seorang eksekutor
yang efektif, dan seorang pribadi dengan independensi moral yang tinggi.
Tentu
saja tak semua presiden selalu unggul dalam semua persyaratan itu. Ada yang
sangat menonjol dalam analisis, tetapi lemah dalam mengambil keputusan. Ada
yang sangat berani dalam mengambil keputusan, tetapi lemah dalam analisis.
Ada pula yang efektif sebagai eksekutor, tetapi mudah terseret oleh tekanan ideologi
atau tarikan kepentingan pragmatis.
Jika
sebagai kepala pemerintahan seorang presiden tampil sebagai pengambil
keputusan dan pelaksana keputusannya, sebagai kepala negara dia bertugas
menjaga integrasi nasional ke dalam dan menjadi representasi negara dan
bangsanya ke dunia internasional. Para anggota DPR juga menjalankan fungsi
representasi, tetapi mereka mewakili rakyat, khususnya rakyat yang telah
memilih mereka. Berbeda dari seorang anggota DPR, presiden mewakili negara
dan bangsanya dalam berhadapan dengan negara dan bangsa lain. Memang sebagai
kepala negara presiden tetap harus dibedakan dari negara yang dipimpin dan
bangsa yang harus dilindunginya. Meski demikian, karena fungsi
representasinya demikian kuat, dia, dalam praktik dipandang sebagai
personifikasi negara dan bangsanya.
Fungsi
kepala negara ini menjadi lebih jelas di negara-negara yang menerapkan sistem
parlementer dalam tata negara mereka. Dalam sistem ini fungsi kepala
pemerintahan dipisahkan dari fungsi kepala negara. Ratu Inggris, Ratu
Belanda, Presiden Jerman, Raja Thailand, tak punya kekuasaan eksekutif,
tetapi rakyat di negara-negara tersebut merasa kedudukan raja, ratu, atau
presiden mereka sebagai kepala negara tetap penting sebagai faktor pemersatu
seluruh bangsa dan penjamin integrasi politik dan kerukunan nasional. Tugas
seperti itu rupanya diharapkan dilaksanakan oleh seorang presiden sebagai
kepala negara dalam sistem presidensial.
Dilukiskan
dalam kontras yang dipertajam: presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagai
eksekutif tertinggi, diharapkan melaksanakan tugasnya dengan mengeksekusi
keputusan politiknya, berbuat dan bertindak atas dasar suatu kompetensi,
mengambil risiko yang mungkin merugikan kedudukannya, tetapi diperhitungkan
untung ruginya, teguh dan konsisten dalam sikap, dan relatif independen dari
tekanan kepentingan-kepentingan pragmatis dan ideologis. Keberhasilannya
sebagai kepala pemerintahan akan diukur berdasarkan tingkat implementasi
kebijakan yang telah diputuskannya. Jelas dia akan mendapat kritik dan
perlawanan dari pihak-pihak yang tidak sepaham dengan keputusan dan
kebijakannya.
Di sini,
kontra kritik seorang kepala pemerintahan tak dilakukan secara verbal dengan
pernyataan-pernyataan publik yang defensif, tetapi dengan determinasi yang
konsisten dalam mendorong pelaksanaan kebijakannya sampai terbukti bahwa
kebijakan itu lebih membawa manfaat, menjawab kebutuhan masyarakat luas, dan
tidak merugikan kepentingan publik. Seorang kepala pemerintahan
mempertaruhkan kebijakannya dalam eksekusi yang berhasil dan bukannya dengan
turut serta dalam riuh rendah polemik dan debat pro kontra, atau membela diri
dari mimbar kepresidenan.
Sebaliknya,
presiden sebagai kepala negara diharapkan tak banyak berbuat dan bertindak
secara politik. Semakin dia menahan diri dari berbagai kontroversi politik
atau konflik-konflik kepentingan, semakin dia mengukuhkan wibawa dan
pengaruhnya. Sebagai kepala pemerintahan dia diharapkan bertindak, tetapi
sebagai kepala negara dia diharapkan hadir di tengah bangsanya. Kepala
pemerintahan memerintah rakyatnya, kepala negara mengayomi semua warga negara
dengan rasa aman. Kepala pemerintahan memberikan kepastian hukum, kepala
negara mengusahakan kepastian moral. Kepala pemerintahan mengelola kekuasaan,
kepala negara mengelola nilai-nilai dalam kebudayaan. Kepala pemerintahan
berbicara tentang naik turunnya angka pertumbuhan ekonomi, kepala negara
berbicara tentang naik turunnya penghormatan kepada martabat dan hak asasi
manusia. Kepala pemerintahan bekerja dengan mengikuti intuisi politik, kepala
negara hadir untuk menciptakan ambiance
etis.
Jika
sekarang ini seluruh kalangan di Indonesia sibuk membicarakan calon-calon
presiden, sebaiknya diingat bahwa dalam sistem presidensial presiden
Indonesia mempunyai dua sisi tugas yang berbeda tanggung jawabnya, tetapi tak
banyak berbeda dalam kepentingannya. Kita akan memilih bukan hanya kepala
pemerintahan, melainkan juga kepala negara. Mengomentari kepresidenan Richard
von Weizsaecker di Jerman ketika Helmut Kohl menjadi kanselir (kepala
pemerintahan), seorang penulis Jerman memberi komentar bahwa tatkala kanselir
memerintah dengan Autoritaet der Macht
atau otoritas kekuasaan Weizsaecker berhasil mengayomi rakyat dan masyarakat
Jerman dengan Autoritaet der
Machtlosigkeit atau otoritas yang lahir dari keadaan tanpa kuasa. Ini
dilakukannya dengan menjadi ein mann
fuer schwierige zeiten yang selalu hadir dan mendampingi bangsanya pada
saat sulit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar