Esensi
Konvensi Partai Demokrat
DRI Utari CR ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 26 April 2014
SELURUH
masyarakat Indonesia masih dibuat penasaran dengan hasil konvensi yang sedang
dan hanya dilakukan oleh Partai Demokrat (PD) untuk memilih calon presiden
(capres)-nya untuk pemilu presiden (pilpres) 2014. Konvensi nasional tersebut
setidaknya berjalan selama delapan bulan sejak September 2013 sampai dengan
April 2014, tepatnya setelah pengumuman hasil pilihan legislatif (pileg).
Sejarah
mencatat bahwa konvensi mulai disosialisasikan pada 1800-an di negara Amerika
Serikat (AS) sehingga bisa dinyatakan bahwa konvensi adalah tradisi AS.
Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebab, konvensi juga dilakukan oleh
negara-negara Amerika Latin dan negara-negara Eropa. Perbedaannya adalah
konvensi di negara AS dan Amerika Latin difokuskan untuk memilih calon
eksekutif (penganut sistem presidensial), sedangkan konvensi di Eropa
digunakan untuk memilih calon legislatif (penganut sistem parlementer).
Dimas
Oky Nugroho menerangkan bahwa konvensi adalah sebuah proses mengumpulkan
pengurus partai yang dianggap representatif untuk memilih tokoh yang akan
diusung dalam pilpres. Esensi konvensi adalah sebuah mekanisme yang
transparan, akuntabel, dan demokratis sehingga menjamin pemenangnya nanti
adalah pemimpin hasil pemilihan yang dilakukan secara objektif dan merit.
Konvensi menjadi salah satu mekanisme penting dalam memilih capres dari
sebuah parpol setidaknya karena keuntungan yang didapat dari pemilihan
konvensi jika dibandingkan dengan proses-proses internal yang (terasa) kurang
begitu objektif, yaitu mekanisme rapimnas, munas, muktamar, dan mukernas atau
nama lainnya.
M.
Faishal Aminuddin mengungkapkan dua keuntungan besar (bagi partai) jika
mekanisme konvensi dipilih untuk menghasilkan figur pemimpin yang
menjanjikan. Pertama, partai mempunyai peluang untuk mengusung dan
memenangkan capres yang benar-benar lahir dari seleksi dan kompetisi politik
yang sehat sehingga pemilih akan menentukan pilihan untuk membeli
"barang dagangan" yang benar-benar bermutu. Kedua, secara internal,
partai mempunyai kesempatan untuk memperbaiki seleksi kandidat atau
regenerasi kader jika figur dari eksternal terbukti lebih baik.
Konvensi
nasional yang dilakukan oleh PD saat ini untuk memilih capres bukan yang
pertama di Indonesia. Partai Golkar (PG) telah memulainya di tahun 2003 untuk
persiapan pilpres di tahun 2004. Menarik membandingkan perbedaan proses
konvensi yang dilakukan oleh dua partai ini, tetapi persamaan konvensi antara
PD dan PG adalah konvensi dilakukan saat dua partai berada pada posisi yang
tidak diuntungkan secara politis. PG yang sebelumnya menguasai pemerintahan
selama 32 tahun dapat "digeser" oleh massa reformasi di tahun 1998
sehingga pilpres tahun 2004 adalah merupakan proses usaha dan ajang
pembuktian diri untuk dapat menggenggam kekuasaan politik lagi. Pada akhir
periode kepemimpinannya, PD banyak tidak diuntungkan oleh kondisi internal
partai dan perilaku kader partai yang banyak berurusan dengan hukum.
Elektabilitas partai yang semakin turun menjelang pileg dan pilpres perlu
mendapat perhatian dan strategi khusus dari PD untuk dapat mempertahankan
posisinya sebagai the "ruling
party" selama sepuluh tahun.
Alasan
yang mendorong PD untuk mengubah mekanisme penentuan capresnya menjadi
mekanisme konvensi yang tampaknya demokratis dapat ditinjau dari berbagai sisi.
Alasan elektabilitas dan popularitas PD yang semakin menurun akibat proses
hukum yang dialami oleh kader partai yang mempunyai posisi strategis, antara
lain: ketua umum (Anas Urbaningrum), bendahara umum (M. Nasaruddin), dan
Wasekjen (Angelina Sondakh). Kurangnya kader internal partai untuk
menggantikan "karisma" Presiden SBY dalam proses pendulangan people
vote di pileg dan pilpres juga tampak dari sebelas nama kandidat konvensi. Di
antara itu, empat nama adalah kader PD, sedangkan tujuh nama sisanya adalah
nonkader PD. Pendapat tersebut juga dibenarkan oleh Ketua Harian DPP Demokrat
Syarif Hasan yang mengakui bahwa tidak adanya kader PD yang mendekati
popularitas dan elektabilitas SBY dalam pemilu 2004 dan 2009 menjadikan
konvensi sebagai strategi yang jitu.
Namun,
meskipun tampak demokratis, masih terlihat kuatnya "campur tangan"
SBY dalam setiap langkah partai (termasuk dalam konvensi). Hal ini dibuktikan
dengan sistem konvensi yang semi terbuka telah memberikan kesempatan kepada
SBY untuk memilih 1 dari 11 nama kandidat konvensi -hanya satu kandidat di
luar undangan SBY, yaitu Ali Masykur Musa (anggota BPK). Penentuan pemenang
yang tidak semata-mata ditentukan oleh kader partai (beda dengan PG) tetapi
hasil survei juga terasa tidak berguna ketika kewenangan untuk menentukan
capres PD tetap kembali lagi di tangan SBY selaku ketua Majelis Tinggi Partai
Demokrat (yang juga sekaligus ketua umum dan presiden RI). Meskipun 10 dari
17 orang anggota komite konvensi adalah orang di luar PD, tetap ada keraguan
bahwa mereka hanyalah lembaga penyetempel keinginan SBY.
Akhirnya,
meskipun motivasi diadakannya konvensi tidak setulus dengan keuntungan yang
diharapkannya, pertanyaan yang layak diajukan adalah siapa yang diuntungkan
dalam pelaksanaan pilpres secara langsung? Rakyat atau hanya sekelompok orang
dalam elite parpol? Dengan diadakannya pilpres secara langsung, setidaknya
diharapkan kedaulatan rakyat akan berbanding lurus dengan terpilihnya
kandidat yang benar-benar berkualitas serta berkompeten, bukan kandidat yang
hanya mengandalkan angka-angka popularitas dan elektabilitas hasil
lembaga-lembaga survei yang "katanya" independen.
Harapan
kita, konvensi ini bukan hanya topeng bagi SBY dan klannya untuk kembali
menguatkan regenerasi oligarki dalam partai yang notabene merupakan partai
bentukan SBY. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar