Tionghoa
Menjelang Pemilu
Prasetyadji ; Pemerhati Masalah Tionghoa
|
SINAR
HARAPAN, 25 April 2014
Setiap
menjelang pemilihan umum (pemilu), isu yang terkait etnis Tionghoa tetap
seksi dikemas. Sejak kampanye Pemilihan Legislatif (Pileg) 5 April 2004,
kemudian kampanye pemilihan presiden (pilpres) putaran pertama pada 5 Juli
2004 serta putaran kedua pada 20 September 2004, telah banyak janji partai
politik (parpol) maupun calon presiden (capres) dan calon wakil presiden
(cawapres) untuk mendapatkan simpati dari konstituen.
Salah
satu janji manis yang selalu ditawarkan, khususnya kepada komunitas Tionghoa
adalah masalah surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Kenapa? Ini karena jumlah mereka yang signifikan, sekitar 9-10 juta orang.
Belum lagi dukungan dana maupun jaringan yang dimiliki.
Baik
calon anggota legislatif (caleg) maupun capres dan cawapres dalam setiap
pertemuan dengan peranakan Tionghoa hampir selalu menegaskan, bagi anak-anak
yang orang tuanya warga negara Indonesia, tidak perlu lagi membuat SBKRI yang
identik dengan perlakuan diskriminasi. Mereka mendesak ada tindakan tegas
terhadap aparat pemerintah yang masih mengharuskan pembuatan SBKRI yang
dianggap bertentangan dengan undang-undang.
Isu
SBKRI sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan pemerintah Orde Baru dengan
wujud mengeluarkan beberapa peraturan yang berkesan menaruh simpati dan
memerhatikan keluhan atau keprihatinan komunitas ini. Contohnya, menjelang
Pemilu 1982 dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 2/1980 tentang Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dalam
praktiknya oleh menteri terkait sebagai pelaksana, kebijakan ini dibatasi
hanya di lima wilayah (Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Jabotabek,
sebagian Sumatera Selatan, Pangkal Pinang, dan Bangka Belitung). Kebijakan
ini didukung Yayasan Prasetya Mulya (YPM) dan Bakom-PKB pusat, serta mendapat
apresiasi karena telah memberi SBKRI sekitar 500.000 kepala keluarga (KK).
Menjelang
Pemilu 1992, pemerintah melalui Menteri Kehakiman waktu itu mengeluarkan
kebijakan No M.02-HL.04.10 dan No M.UM.01.06-109, keduanya tertanggal 10 Juli
1992. Kebijakan itu menegaskan, anak-anak yang orang tuanya pemegang SBKRI
tidak perlu lagi memiliki SBKRI sendiri. Kebijakan ini mendapat dukungan YPM
dan Bakom-PKB pusat, walaupun dalam praktik di lapangan, semua instansi masih
tetap meminta SBKRI.
Mendekati
Pemilu 1997, dalam rangka Pesta Emas 50 Tahun Kemerdekaan RI, pemerintah
mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Inpres No 6/1995, memberi kemudahan
kepada pemohon naturalisasi/pewarganegaraan Indonesia.
Kebijakan
ini telah mewarganegaraan sekitar 180.000 kepala keluarga; disusul Keputusan
Presiden (Keppres) No 56/1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia, yang salah satu pasalnya (Pasal 4 Ayat 2) menegaskan, bagi warga
negara Indonesia yang telah berkartu tanda penduduk, berkartu keluarga, atau
berakta kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu
cukup menggunakan kartu tanda penduduk, kartu keluarga, atau akta kelahiran.
Dari
kebijakan ini, minimal terkumpul uang jasa hukum dan uang pewarganegaraan
sebesar Rp 220.000x180.000 = Rp. 39.600.000.000 (kurs US$ ketika itu Rp
2.199).
Menjelang
Pemilu 2004, Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman dan HAM tertanggal 9 Juli
2002 menebitkan Surat Edaran No F-UM.06.01-845, serta Surat Edaran No
F-UM.01.10-0626 tertanggal 14 April 2004. Di sana dijelaskan untuk penerbitan
paspor, tidak diwajibkan melampirkan SBKRI.
Begitu
pula jajaran Departemen Dalam Negeri tertanggal 18 Juni 2002 mengeluarkan
Surat Edaran kepada para gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia guna
melaksanakan Keppres No 56/1996 dengan memberikan perlakuan dan pelayanan
yang sama kepada masyarakat, tanpa membedakan suku, agama, ras, maupun asal.
Namun
demikian, dalam kesehariannya, anak-anak warga negara Indonesia peranakan
Tionghoa yang telah dewasa (18 tahun) dari orang tua pemegang SBKRI tetap
saja diminta memiliki SBKRI atas namanya sendiri.
Lantas,
bagaimana menjelang Pemilu 2014? Kemarin, 12 Maret 2014, terbit Keppres Nomor
12/2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Nomor
SE-06/Pres.Kab/6/1967 tentang Penghapusan istilah Cina. Istilah itu kemudian
diganti dengan menyebutnya suku Tionghoa. Sementara itu, penyebutan negaranya
adalah Tiongkok. Istilah ini penting karena faktor kesejarahannya menyangkut
harga diri sebuah bangsa.
Penyelesaian Masalah
Masalah
prinsip yang dihadapi etnis Tionghoa (generasi tua) yang lahir di Indonesia
beserta keturunannya adalah meminta diperlakukan sebagai warga negara
Indonesia. Saat ini banyak ditemukan di beberapa daerah, etnis Tionghoa eks
korban terbitnya Peraturan Presiden (PP) No 10/1959 tidak memiliki dokumen
apa pun. Sebagaimana disadari, PP 10/1959 melarang orang asing berdagang di
kecamatan atau desa.
Namun
dalam praktiknya, orang-orang Tionghoa diusir dari desa atau kecamatan,
dikumpulkan di ibu kota kabupaten. Mereka diberi exit permit only (EPO) untuk
pulang ke negeri leluhur. Ketika itu, ada sekitar 170.000 pemegang EPO, namun
yang kembali ke Tiongkok hanya sekitar 40.000 orang. Selebihnya menjadi
permasalahan sampai sekarang. Oleh karena itu, setiap menjelang pemilu, ada
kebijakan-kebijakan yang memberi angin surga kepada mereka.
Sesuai
pendataan Departemen Dalam Negeri pada 1992, ada 208.802 orang Tionghoa.
Sementara itu, yang diselesaikan melalui program naturalisasi, serta
dipercepat dan dipermudah persyaratannya pada 1995 sekitar 180.000 orang.
Jumlah yang mendapat kebijakan penegasan kewarganegaraan yang dipelopori
Menteri Hamid Awaludin ada 4.500 orang. Jadi, yang masih tersisa 24.302 orang
dan keturunannya, tersebar di seluruh Indonesia.
Dari permasalahan
itu, apabila pemerintah benar-benar ingin menyelesaikan, diperlukan kebijakan
yang menyeluruh dan tuntas. Undang-undang yang melindungi sudah seabrek (UU
39/1999 HAM; UU 23/2002 Perlindungan Anak; UU 12/2006 Kewarganegaraan; UU
40/2008 Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis), bahwa mereka adalah warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri wajib menerbitkan
dokumen kependudukannya. Ini jika kita bicara hukum dan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar