ASEAN
dan Laut China Selatan
CPF Luhulima ; Peneliti pada Pusat Penelitian Politik, LIPI
|
KOMPAS,
28 April 2014
Upaya
menuju penyelesaian masalah Laut China Selatan masih jauh, bahkan hanya bisa
sampai tahap pengelolaannya saja, tidak sampai penyelesaiannya.
Perwujudan
Declaration on the Conduct of Parties
in the South China Sea (DOC) harus dilakukan atas dasar terms of reference ASEAN-China Joint
Working Group (JWG). JWG ini ditugasi untuk merumuskan rekomendasi bagi
suatu rencana aksi bagi pelaksanaan DOC, yang mencakup kerja sama di bidang-
bidang proteksi lingkungan laut, penelitian kelautan, navigasi dan komunikasi
di laut, search and rescue (SAR),
dan memerangi kejahatan transnasional.
Ketika
ASEAN pada pertemuan pertama JWG mengajukan bahwa ASEAN akan melanjutkan
kebiasaannya untuk berunding di antara mereka sendiri terlebih dahulu sebelum
bertemu RRT, negara itu menolaknya. Tiongkok tetap teguh pihak-pihak yang
bersengketa di Laut China Selatan (LCS) harus menyelesaikan masalah
kedaulatan dan yurisdiksinya secara bilateral dengan Tiongkok, tidak
multilateral, dalam kerangka ASEAN. Karena ASEAN menolak permintaan ini,
pembahasan tentang masalah di LCS tidak mencapai sasaran.
Pedoman
bagi pelaksanaan DOC baru dapat disetujui setelah ASEAN mengorbankan sikap
untuk konsolidasi diri terlebih dahulu dan mengubah butir 2, yang menegaskan
bahwa ”ASEAN will continue its curent
practice of consulting among themselves before meeting China”. Perubahan
butir 2 sangat mengecilkan ASEAN dalam perundingan ini karena diubah menjadi ”The parties to the DOC will continue to
promote dialogue and consultations in accordance with the spirit of the DOC”.
Semua pihak pada DOC akan berdialog dan berkonsultasi bersama, bukan dalam
bentuk 10+1, melainkan 11. Lalu, ke mana ASEAN Centrality yang dibanggakan
itu?
Dalam
kerangka ini ASEAN telah melanggar Piagam ASEAN yang menegaskan ASEAN harus
mempertahankan sentralitas dan perannya sebagai penggerak utama dalam
hubungan dan kerja sama dengan mitra eksternalnya. Dengan mengalah pada RRT,
ASEAN telah mengorbankan keutuhan dalam berkiprah dengan mitra dialognya.
Peristiwa
yang sangat menyedihkan terjadi pada Sidang Ke-45 Menteri-menteri Luar Negeri
ASEAN di Phnom Penh, Kamboja. Pertentangan yang terjadi tentang LCS antara
Menteri Luar Negeri Albert del Rosario dan Pham Binh Minh di satu pihak dan
Hor Nam Hong (sebagai tuan rumah) di pihak lain sangat kental diwarnai oleh
pihak-pihak yang memegang teguh pada ASEAN
Centrality pada satu pihak dan ASEAN serta Tiongkok sebagai satu kesatuan
pada lain pihak. Perpecahan sikap tentang LCS di antara anggota ASEAN tidak
dapat dibenarkan.
Di sini
pun RRT ”mendikte” bagaimana konflik yang terjadi di LCS harus dihadapi,
bukan secara hukum, melainkan secara politik. RRT sudah melakukan itu sejak
permasalahan LCS muncul karena negara itu tidak dapat dan tak mau menentukan
koordinat 9 garis putusan-putusan itu, yang baginya adalah batas teritorial
negara itu. Itu adalah final!
Peran Indonesia
ASEAN
mencoba terus untuk merumuskan versi Code
of Conduct-nya di LCS, ASEAN
Proposed Elements of a Regional Code of Conduct in the South China Sea
(COC), dan kemudian Indonesia keluar dengan Zero Draft tentang COC, untuk menetapkan tata perilaku di LCS.
Tapi,
RRT tak memperhatikannya, bahkan tak menggubrisnya. Dengan demikian, kemajuan
dalam pembahasan COC tak bergerak, berjalan di tempat, betapa pun ASEAN
berupaya untuk mengajukan draf mereka, yang merupakan inti pemikiran ASEAN
untuk berperilaku di LCS.
Di
sinilah pentingnya sikap dan peran Indonesia. Permintaan Sekretaris ASEAN Le
Luong Minh kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membantu dalam
menghadapi sengketa LCS seharusnya ditanggapi secara positif. Masalah LCS
antara ASEAN dan RRT tak bisa dikelola lagi pada tingkat menteri luar negeri.
Permasalahan yang terjadi pada upaya tingkat menteri telah membawa ASEAN pada
balkanisasi, pemecahbelahan ASEAN untuk kepentingan RRT.
Pendekatan
pada tingkat menteri sudah mencapai batasnya. Upaya luar biasa yang dilakukan
menteri-menteri luar negeri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei,
Thailand, dan Vietnam untuk menggalang kesatuan ASEAN di Phnom Penh tidak
mampu untuk menggiring Kamboja kembali ke dalam posisi ASEAN.
Upayanya
kini harus dilakukan pada Konferensi Tingkat Tinggi, pada format Summit Diplomacy. Indonesialah
satu-satunya negara ASEAN yang harus mengambil inisiatif ini. Indonesia sudah
seharusnya membalikkan kecenderungan dalam pengelolaan LCS. RRT memang
merupakan ancaman, mulai dengan dominasinya dalam pengelolaan LCS melalui DOC
dengan tidak memperhatikan COC ASEAN
sama sekali, bahkan mempermainkan ASEAN.
Apabila
mereka berhasil, dan ASEAN menyerah, balkanisasi akan berlanjut dengan segala
akibatnya bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Kalau proses ini
berlanjut, siapa dapat mengatakan bahwa pada satu hari RRT tidak akan
mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna, dengan kekuatan politik dan
angkatan lautnya.
Karena
itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus (menjelang akhir jabatannya)
melibatkan diri secara langsung dalam pembangkitan kesatuan sikap untuk
menghadapi situasi LCS. Indonesia harus bertindak untuk melanggengkan suatu
Asia Tenggara yang ”integrated” dalam bentuk Komunitas Politik dan Keamanan
ASEAN. Kedua upaya Indonesia itu adalah inisiatif untuk melawan balkanisasi
Asia Tenggara, ASEAN.
Indonesia
harus mulai dengan merangkul Filipina dalam rangka merumuskan sikap terhadap
RRT di LCS. Indonesia harus pula mempertimbangkan penggunaan istilah Laut
China Selatan menjadi Laut Tiongkok Selatan, atas dasar pertimbangan Keppres
Nomor 12/2014, yang berlaku mulai 14 Maret 2014.
Filipina
sudah mulai dengan mencetuskan istilah West Philippine Sea, Yayasan Nguyen
Thai Hoc, yang berkedudukan di California, mencetuskan istilah South East
Asia Sea. Mengapa kita tidak langsung saja menggunakan istilah Laut ASEAN
(Riefqi Muna) untuk memproyeksikan Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN ke
laut di utara, timur, dan barat ASEAN. Waktu sudah tiba untuk melepaskan diri
dari penguasaan RRT dan mengembalikan jati diri ASEAN dalam pengelolaan laut
yang penting bagi kita.
Di sini
inisiatif Indonesia paling menentukan karena RRT mengakui kedudukan negara
kita sebagai primus inter pares,
yang pertama di antara sesama, dan
pemimpin de facto ASEAN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar