Petahana,
Pemodal, dan Pesohor
Agus Sudibyo ; Direktur
Eksekutif Matriks Indonesia
|
TEMPO.CO,
28 April 2014
Bagaimana
profil para wakil rakyat terpilih yang akan memimpin negeri ini lima tahun
mendatang? Menjawab pertanyaan ini sebenarnya lebih penting dari sekadar
meributkan pasangan capres-cawapres yang akan bertarung pada Juli 2014. Empat
persoalan di bawah ini dapat dijadikan titik tolak untuk menjawabnya.
Pertama,
pemilihan legislatif dilaksanakan di tengah-tengah rendahnya tingkat
pengetahuan masyarakat tentang tata cara pemungutan suara. Sosialisasi tata
cara coblosan dan pengawasannya sangat kurang. Padahal ada banyak segi yang
perlu dijelaskan ke masyarakat: perubahan dari sistem contreng menuju sistem
coblos, jumlah dan bentuk surat suara, surat suara yang sah, serta potensi
kecurangan yang mesti diantisipasi. Kondisi yang demikian ini memberi peluang
lebih besar kepada pihak-pihak yang berpengalaman dalam memobilisasi massa,
melakukan politik uang, dan memanipulasi suara dalam berbagai bentuknya.
Kedua,
masyarakat umumnya belum mengenal calon wakil rakyat yang harus mereka pilih.
Bagaimana masyarakat dapat mengenali kualitas caleg jika mereka hanya hadir
di spanduk, baliho, poster, dan stiker yang penuh dengan janji-janji dan
puja-puji diri? Tidak banyak sarana yang dapat diakses masyarakat untuk
sungguh-sungguh mengidentifikasi mana caleg yang layak dipilih. Para
politikus kawakan tampaknya juga banyak yang berpikir pragmatis: politik uang
lebih efektif untuk memenangi pemilu dibandingkan dengan kampanye dan
pendekatan intensif ke masyarakat.
Ketiga,
gegap-gempita kampanye juga tidak ditujukan untuk memperkenalkan caleg ke
masyarakat. Yang lebih banyak diperkenalkan dalam kampanye adalah partai
politik. Alih-alih memperkenalkan para caleg, gegap-gempita kampanye itu
justru banyak "menjual" kandidat presiden masing-masing partai.
Keempat,
ruang publik politis kita mengalami lompatan waktu dan fokus. Media massa terlalu
banyak menggunjingkan kontestasi antar-calon presiden. Sesuatu yang baru
terjadi paling cepat 9 Juli 2014 terlalu banyak diulas, sementara yang
terjadi pada 9 April 2014 dibahas sambil lalu. Lompatan waktu dan fokus ini
berperan dalam menurunkan animo masyarakat terhadap pemilihan legislatif.
Dengan
kondisi seperti ini, realitas seperti apakah yang akan tecermin dari hasil
pemilihan legislatif 2014? Para inkumben masih akan mendominasi perolehan
kursi. Memang tidak semua dari 80 persen anggota DPR/DPRD/DPD yang
mencalonkan diri kembali akan terpilih kembali. Perubahan kekuatan dan
elektabilitas partai politik menyebabkan beberapa inkumben tidak terpilih
kembali. Namun secara umum peluang mereka untuk terpilih tetap lebih besar
daripada pendatang baru. Mereka memiliki kesempatan berkampanye lebih
panjang. Ibaratnya mereka telah melakukan kampanye secara rutin selama lima
tahun dalam bentuk temu konstituen atau temu kader pada masa reses
persidangan DPR/DPRD/DPD. Mereka juga lihai memanfaatkan program-program
eksekutif untuk menyenangkan masyarakat daerah pemilihan, serta pengalaman
yang lebih banyak dalam penggalangan massa dan memenangi pemilu. Para
inkumben juga masuk kategori kedua kelompok caleg yang berpotensi memenangi
pemilu: pemilik modal.
Determinasi
uang jauh lebih kuat dalam pemilu legislatif kali ini. Untuk dapat bersaing
memperebutkan satu kursi DPR RI, seorang caleg harus menyiapkan dana minimal
Rp 3,5 miliar untuk kampanye, tim sukses, membayar saksi, mempengaruhi
panitia, biaya survei, politik uang, dan lain-lain. Siapakah yang sanggup
menyediakan dana sebesar itu tanpa jaminan terpilih? Bukan sekadar kelas
menengah, tapi juga harus kelas atas: pengusaha, mantan pejabat atau
keluarganya, inkumben DPR, dan para pesohor. Dana sebesar itu sungguh tidak
realistis bagi para caleg aktivis dan intelektual pada umumnya. Selain modal
ekonomi yang dimilikinya, para caleg pesohor atau selebritas mempunyai
peluang publisitas yang jauh lebih besar daripada rata-rata caleg. Para
selebritas memiliki daya magnetik yang membuatnya selalu menjadi pusat
perhatian publik dan pemberitaan media.
Pemilu
yang mahal dan materialistis hanya menguntungkan kaum borjuis, para inkumben,
serta keluarga pejabat dan pesohor. Modal ekonomi dan modal simbolik yang
menentukan, bukan kredibilitas dan integritas. Bukan berarti mereka semua
tidak memiliki kualifikasi wakil rakyat berkualitas. Tapi kita patut prihatin
bahwa pemilihan legislatif 2014 ternyata tidak banyak berbeda, bahkan lebih
buruk daripada pemilu sebelumnya dalam hal politik uang, manipulasi
penghitungan suara, dan tipisnya peluang bagi para caleg pendatang baru yang
bermodalkan kejujuran serta integritas.
Dengan
demikian, dibutuhkan waktu yang lebih lama dan perjuangan yang lebih keras
lagi untuk mewujudkan lembaga legislatif yang lebih transparan, akuntabel,
dan berdedikasi pada kepentingan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar