Informasi
Arkeologi melalui Situs
Djulianto Susantio ; Sarjana Arkeologi
|
TEMPO.CO,
26 April 2014
Pekerjaan
arkeologi (ilmu purbakala) yang disebut ekskavasi (penggalian) terbilang
sangat khas. Ekskavasi dilakukan dengan metode khusus, lengkap dengan
pencatatan dan perekaman.
Sesuai
dengan amanat undang-undang, ekskavasi hanya boleh dilakukan oleh instansi
arkeologi atau dengan pengawasan arkeolog berkompeten. Karena kegiatan
arkeologi dibiayai oleh pajak masyarakat melalui APBN/APBD, proses dan
penelitian tersebut harus dipublikasikan.
Pada
1970-an, di dunia Barat berkembang ilmu public archaeology (arkeologi
publik). Prinsip dasar ilmu ini adalah "masa lalu milik setiap
orang". Tentu bukan berarti setiap orang boleh merusak warisan-warisan
masa lalu. Namun perusakan warisan-warisan masa lalu masih terjadi hingga
kini. Penghancuran bangunan lama, penggalian liar untuk mencari harta karun,
dan corat-coret (gravitisme/vandalisme) merupakan sebagian kecil dari
tindakan negatif yang teridentifikasi.
Tindakan
negatif itu mungkin terjadi karena kurangnya informasi atau sosialisasi yang
diberikan oleh pihak arkeologi. Misalnya Pusat Arkeologi Nasional dengan Unit
Pelaksana Teknis Balai Arkeologi di bidang penelitian dan Direktorat
Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman dengan Unit Pelaksana Teknis Balai
Pelestarian Cagar Budaya di bidang pelestarian. Di luar itu ada dinas
terkait, Balai Pelestarian Nilai Budaya, kampus, dan museum-museum di
sejumlah daerah.
Pada
zaman modern ini, publikasi dan apa pun bentuk komunikasi tidak bisa
dilepaskan dari komputer dan Internet. Internet bersifat cepat dan murah,
bahkan bisa diakses kapan saja, oleh siapa saja, dan di mana saja. Masyarakat
atau publik seharusnya berhak menuntut para arkeolog untuk menginformasikan
apa yang telah dikerjakannya dan manfaat apa yang mereka dapatkan terhadap
hasil penelitian tersebut (Tjahjono
Prasodjo, 2004).
Arkeolog
Defri Elias Simatupang (2008) mengatakan ada beberapa manfaat yang bisa
diperoleh instansi pemerintah dengan memiliki laman, antara lain untuk
memperkenalkan profil instansi, sehingga memiliki nilai jual di mata
masyarakat global; sebagai media untuk menginformasikan data, dan sebagai
media untuk mengembangkan database berbagai data penelitian.
Pada
masa kini jelas laman ataupun blog merupakan ujung tombak penyampaian
informasi kepada khalayak. Hal itu pernah disampaikan arkeolog muda Harry
Octavianus Sofian dalam kegiatan Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi
(2011).
Sebenarnya
sejumlah instansi pernah dan masih punya laman arkeologi. Namun kelangsungan
hidup laman sering terganggu karena ketidak-profesionalan pengelolanya.
Biasanya laman tersebut hanya muncul pada tahun anggaran tertentu. Setelah
itu mati karena pengelola tidak memperpanjang (membayar) iuran tahunan.
Ironisnya
lagi, pengelolaan laman dilakukan oleh pihak ketiga melalui sistem tender
(lelang), sehingga penyampaian informasi kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Kalaupun ada laman yang hidup, biasanya jarang melakukan pembaruan (update) tulisan. Sebuah laman milik
instansi tertentu pernah bergonta-ganti domain karena sistem lelang itu.
Pemborosan ini terjadi karena laman mati-hidup berkali-kali. Laman
sesungguhnya bisa dibangun oleh SDM setiap instansi yang memiliki kemampuan
khusus. Pilihan lain adalah bekerja sama dengan penyedia jasa yang
berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar