Menghukum
Partai Politik
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum
Transparency International Indonesia
|
TEMPO.CO,
29 April 2014
Penyelenggaraan
pemilihan umum (pemilu) untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD telah
dilangsungkan pada 9 April lalu. Hasil perolehan suara masing-masing partai
politik versi hitung cepat (quick count)
juga telah dirilis oleh beberapa lembaga. Meskipun hasil hitung resmi Komisi
Pemilihan Umum (KPU) belum selesai, setidaknya hasil penghitungan cepat
sedikit-banyak bisa menggambarkan pilihan politik publik.
Awalnya,
begitu banyak harapan agar hasil pemilu akan mengubah wajah parlemen
Indonesia lima tahun mendatang. Namun beberapa politikus
"bermasalah" di daerah pemilihan tertentu masih saja memperoleh
suara dan berkemungkinan terpilih lagi sebagai anggota parlemen (Koran Tempo, 21/4).
Dalam
konteks ini, maraknya politik uang yang dilaporkan oleh lembaga swadaya
masyarakat dan terpilihnya calon "bermasalah" seolah menjadi
pembenar bahwa pilihan politik begitu mudah dibeli. Namun, di sisi lain,
publik juga memperlihatkan betapa rasionalnya mereka ketika menilai kinerja
partai politik.
Berdasarkan
data hitung cepat Pemilu 2014, Partai Demokrat ditempatkan sebagai
satu-satunya partai politik dengan perolehan suara yang begitu jauh dari
pemilu sebelumnya. Jika dibandingkan, menurut data KPU, pada Pemilu 2009
Partai Demokrat mendapatkan 20,81 persen suara. Namun, pada Pemilu 2014,
berdasarkan hitung cepat litbang Kompas, perolehannya turun hingga 9,43
persen suara.
Menurunnya
perolehan suara Partai Demokrat tentu bukanlah tanpa sebab. Menjadi leader
selama 10 tahun (2004–2014) dalam pemerintah, partai ini begitu dikenal
publik. Namun, sayangnya pada akhir periode kedua ini, skandal korupsi begitu
kuat menggerogoti Partai Demokrat dan sukses membawa partai ini dalam posisi
yang dramatis.
Namun
fakta lain yang tidak bisa diabaikan adalah bahwa Partai Demokrat bukanlah
satu-satunya partai politik yang kadernya terjerat kasus korupsi. Sebab,
hampir sebagian besar partai politik pemegang kursi di parlemen hasil Pemilu
2009 terjerat kasus korupsi.
Menurunnya
pilihan publik terhadap partai politik yang dipersepsikan korup adalah sebuah
hukuman yang paling mungkin dilakukan oleh publik itu sendiri. Sebab, secara
regulasi, ada upaya untuk mengisolasi publik (pemilih) atas setiap
pengambilan keputusan di kalangan internal partai politik.
Mekanisme
pengawasan oleh publik dalam mengawasi partai politik sebaiknya dipakai untuk
membangun sistem demokrasi yang lebih sehat. Selama ini, publik terpinggirkan
dalam isu-isu strategis yang diusung partai politik. Padahal, hal tersebut
menyangkut hajat hidup publik.
Peran
partai politik sebagai penghubung antara publik dan pemerintah seolah
kehilangan makna. Padahal, mekanisme ini seharusnya didesain oleh partai
politik tanpa harus menunggu upaya paksa melalui sebuah regulasi yang
mengikat.
Penguatan
peran publik dalam (partai) politik seperti dikerangkeng dalam sebuah desain
yang sempit. Setiap orang akan dilibatkan dalam pengambilan keputusan jika
memegang posisi strategis dalam partai politik, atau setidaknya menjadi
anggota partai politik.
Fakta
yang tak bisa diabaikan juga adalah ketika partai politik seolah mengambil
jarak dengan publik selepas penyelenggaraan pemilu. Parahnya, hal itu seolah
menjadi lumrah. Pada saat pemilu, partai politik (dan caleg) berubah menjadi
sangat alim dan dermawan. Ada banyak fasilitas pribadi yang dijadikan
fasilitas umum. Misalnya, mobil pribadi yang "disulap" menjadi
ambulans, lalu selepas pemilu tiba-tiba hilang ditelan bumi, dan seterusnya.
Ini
hanyalah sekelumit gambaran betapa partai politik kehilangan akarnya manakala
mereka mengesampingkan publik dalam kerja-kerja partai. Untuk itu, pada masa
mendatang, publiklah yang "dipaksa" untuk bersama-sama mengontrol
partai politik. Tentu ini tidak hanya dalam konteks pemilu, tapi juga selepas
pemilu.
Publik
tentu memiliki cukup banyak waktu (lima tahun) untuk mengawasi kinerja partai
politik. Sekalipun tidak ada mekanisme baku yang dibuat untuk melibatkan
publik secara luas dalam pengambilan keputusan partai politik, publik secara
mandiri dapat membuat mekanisme sendiri. Ada banyak saluran yang bisa
digunakan untuk menyampaikan hal tersebut. Misalnya, melalui media massa.
Instrumen-instrumen
hukum yang disediakan melalui undang-undang, seperti undang-undang
keterbukaan informasi publik, bisa saja digunakan untuk memaksa institusi
partai politik supaya mau membuka diri. Wilayah yudisial juga bisa dimanfaatkan
untuk "melawan" keputusan yang dibuat secara sewenang-wenang oleh
partai politik melalui anggotanya di parlemen dan pemerintahan.
Publik,
sebagai pemilih yang cerdas dan rasional, tidak hanya diukur dengan bagaimana
menggunakan hak politiknya saat pemilu, tapi juga bagaimana mereka
bertanggung jawab untuk mengawasi kinerja orang/partai politik yang
dipilihnya. Jika tidak, publik justru mendukung anggapan bahwa mereka memang
hanya digunakan dan dimanfaatkan saat pemilu untuk meraup suara.
Dengan
semua usul ini, publik seharusnya tidak lagi hanya muncul ketika di awal dan
di akhir, tapi juga muncul dalam setiap segmen untuk mengawasi kerja-kerja
partai politik. Sebab, dalam demokrasi, publiklah yang seharusnya menjadi
"tuan", sementara partai politik hanya menjadi instrumen (alat).
Publik akan berada pada posisi yang jelas, yaitu memilih, mengawasi, dan
menghukum partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar