Politik
Buruh 2014
Surya Tjandra ; Dosen Fakultas Hukum
Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
30 April 2014
Tahun politik 2014 ini
membawa pengaruhnya sendiri pada gerakan buruh.
Meski belum
mencerminkan adanya perpecahan akut, seiring orientasi politik masing-masing,
berbagai kelompok utama gerakan buruh pun melakukan aksi peringatan Hari
Buruh Sedunia tidak secara bersama-sama.
Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI), misalnya, memilih melakukan May
Day Fiesta pada 1 Mei di Gelora Bung Karno, melibatkan seratusan ribu
buruh yang didahului demonstrasi di depan Istana Presiden. Pada saat yang sama, mereka juga berencana mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo
Subianto sebagai calon presiden (capres).
Konfederasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (KSBSI) memilih melakukan demonstrasi yang melibatkan puluhan ribu
buruh pada 2 Mei. KSPSI dan KSBSI jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan dukungan
kepada Joko Widodo sebagai capres dan membentuk ”Relawan Buruh Sahabat Jokowi”.
Sementara itu,
Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh, yang merupakan gabungan berbagai serikat
buruh kecil dan menengah, memilih aksi mereka sendiri pada 1 Mei, khususnya
di kawasan-kawasan industri. Mereka tak mendukung salah satu capres, tetapi
menyebutkan syarat calon presiden harus ”bukan pelanggar hak asasi manusia”.
Eksistensi buruh
Berbeda dengan
deklarasi dukungan terhadap pencalonan Jokowi, dukungan terhadap pencalonan
Prabowo adalah yang paling kontroversial. Kritik dan pertanyaan muncul dari
banyak kalangan, khususnya dari aktivis HAM dan sesama aktivis buruh.
Sebagian mereka
berpendapat dukungan kepada capres tertentu seharusnya tidak boleh mengurangi
eksistensi buruh itu sendiri. Atau buruh seharusnya menawarkan calonnya
sendiri, yang datang dari kalangan mereka, dan bukan orang lain yang belum
tentu paham persoalan buruh.
KSPI menjelaskan
sikapnya mendukung Prabowo adalah untuk kepentingan buruh juga. Bagi mereka,
Prabowo-lah capres yang bersedia secara terbuka menerima 10 tuntutan buruh,
seperti menaikkan upah secara layak, menghapuskan sistem kerja alih daya yang
melanggar hukum, dan melaksanakan jaminan sosial khususnya jaminan kesehatan
dan jaminan pensiun bagi buruh formal tepat waktu.
KSPI juga mengklaim
mendapat tawaran kursi menteri tidak semata untuk jabatannya, tetapi untuk
memastikan agar tuntutan buruh tersebut dilaksanakan pemerintah jika kelak
Prabowo menjadi presiden. Sementara dukungan KSPSI dan KSBSI terhadap Jokowi
tidak terlalu mengundang kontroversi, tetapi terkesan juga tidak membawa
dampak banyak.
Dari perspektif buruh,
boleh jadi dukungan terhadap Prabowo dan kontroversi yang menyertainya itulah
yang dianggap lebih edukatif. Bagi kebanyakan buruh, pemahaman politik yang
”abstrak” seperti isu pelanggaran HAM dan sebagainya, atau figur populis yang
mendapat perhatian media massa, tidak terlalu menarik selama itu tidak
langsung dirasakan hasilnya oleh mereka.
Perjuangan menaikkan upah
50 persen melalui mogok nasional, misalnya, dirasa lebih ”bunyi” dibandingkan
sasaran tidak langsung seperti meningkatkan daya beli buruh dengan mengurangi
pengeluaran melalui subsidi perumahan dan transpor bagi buruh. Dalam konteks
itulah, keberhasilan menaikkan upah minimum lebih dari 40 persen dibanding
tahun sebelumnya pada 2013 dirasa sebagai keberhasilan luar biasa bagi
kebanyakan buruh. Karena itu pula kenaikan upah yang hanya 10 persen tahun
2014 dirasa sebagai kegagalan besar yang menimbulkan sentimen negatif pada
Jokowi yang dianggap paling bertanggung jawab.
Dalam konteks itu
pula, dukungan kepada capres tertentu dengan tuntutan spesifik untuk
kepentingan buruh, dengan target yang jelas seperti kursi menteri, dirasa
jadi lebih masuk akal. Di sini aspirasi personal pemimpin buruh pun ikut
bermain.
Manuver serikat buruh
Sebagian pemimpin
buruh mulai menyadari bahwa pendekatan ”langsung”, seperti tuntutan kenaikan
upah tinggi, tidak selamanya bisa dilakukan karena itu membutuhkan tenaga dan
stamina gerakan yang amat besar. Sementara basis politik mereka sendiri masih
lemah.
Untuk itulah, sebagian
serikat buruh mulai masuk ke dalam percaturan politik praktis melalui pemilu
dengan mengirimkan kader-kadernya sebagai calon anggota legislatif dari berbagai
parpol yang ada. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), misalnya,
mendorong perjuangan ”buruh go politik”. Melalui cabangnya di
beberapa kota industri, mereka terlibat aktif secara organisasional dalam
kampanye untuk caleg dari buruh lewat berbagai parpol yang ada.
Mereka
menginstruksikan anggotanya untuk memilih hanya calon mereka sendiri,
dikombinasi dengan pelatihan pemilih dan relawan ”go politik” di
kantong-kantong buruh di Bekasi. Melibatkan bukan hanya buruh, melainkan juga
LSM seperti Trade Union Rights Centre,
Omah Tani Batang, dan Fakultas
Fisipol Universitas Gadjah Mada untuk mendukung dengan pelatihan.
Meski sebagian besar
calon mereka gagal masuk parlemen, praktis dengan hanya mengandalkan kekuatan
suara anggota di tengah politik uang yang merajalela, FSPMI berhasil
memasukkan dua caleg dari buruh ke DPRD Kabupaten Bekasi melalui Partai
Amanat Nasional dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bila melihat rekam
jejak keduanya dan organisasi mereka, kehadiran kedua caleg ini rasanya akan
membawa pengaruh amat berbeda pada percaturan politik lokal nantinya. Ini
akan menjadi catatan sejarah tersendiri.
Gerakan buruh—berkat
keberhasilannya menampilkan diri sebagai sebuah kekuatan alternatif di luar
oligarki politik yang sudah ada, khususnya dengan keberhasilan mereka
melaksanakan dua kali mogok nasional—tampaknya mulai jadi sasaran parpol
ataupun capres untuk didekati dan diminta dukungannya.
Cepat atau lambat,
seiring meningkatnya pamor buruh berkat ”go politik” ini, buruh akan mulai
dihadapkan pada pilihan-pilihan politik. Itu hal wajar dan bahkan patut
disyukuri sehingga proses pendewasaan gerakan juga dapat diolah dan dilatih.
Dalam menghadapi pilihan-pilihan politik itu, peran pemimpin jadi penting.
Pemimpin buruh diharapkan mempertimbangkan masukan para kolega, termasuk para
pengkritiknya, aspirasi anggota, serta memiliki kesadaran hati nurani sebagai
pemimpin.
Pemimpin menjadi
pemimpin karena ia bisa dan berani memutuskan. Pemimpin tidak selamanya harus
mengikuti masukan orang lain, tetapi ia juga tidak boleh melupakan perannya
yang utama, yaitu mendidik dirinya sendiri serta kolega dan anggota, untuk
makin dewasa dan cerdas secara politik.
Persoalannya, setiap
pilihan, apalagi yang menyangkut kepentingan publik (seperti buruh dan
rakyat), bisa salah bisa juga benar. Banyak faktor yang menentukan sejarah
kita. Dan, dari pilihan-pilihan itu–baik atau buruk, tepat atau keliru–kita
belajar jadi lebih bijaksana juga secara politik.
Untuk menjadi kekuatan
politik alternatif yang diperhitungkan dan dibutuhkan negeri ini di
waktu-waktu mendatang, tak ada pilihan, buruh kembali akan (harus) bersatu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar